Siti Aisyah Debat Majelis Hakim

Siti Aisyah Debat Majelis Hakim
MENJALANI SIDANG: Siti Aisyah (tiga dari kiri) pendiri Rumah Mengenal Al-Quran saat menjalani sidang lanjutab di PN Mataram, Senin kemarin (5/7). (M.Haeruddin/Radar Lombok)

MATARAM— Pengadilan Negeri (PN) Mataram  kembali menyidangkan perkara  penodaan agama  dengan terdakwa  Siti Aisyah selaku pendiri dan pemilik  Rumah Mengenal Al-Quran  di Jalan Bung Karno Kota Mataram.

Sidang yang digelar Rabu kemarin (5/7) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). JPU Sahdi mengagendakan saksi sebanyak lima orang saksi, namun saat itu yang hadir hanya dua orang yakni dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) NTB dan salah seorang guru yang siswanya  diajak oleh terdakwa ke Rumah Mengenal Al-Quran.

Sekretaris MUI NTB, H  Abdurrahman dalam kesaksianya menyampaikan, sebelumnya terdakwa sempat mendatangi kantor MUI untuk menyerahkan surat dan ajaran- ajaran terkait Rumah Mengenal Al-Quran. ”Ternyata setelah saya buka surat itu berisi tentang ajaran yang secara tegas tidak mengakui sunnah dan ajaran yang bersumber dari Rasulullah Muhammad SAW dan cukup Alquran sebagai pedoman,”ujarnya.

Melihat hal itu, pihaknya kemudian berkoordinasi dengan jajaran MUI untuk dilakukan pembinaan kepada terdakwa. Namum belum sempat melakukan pembinaan ternyata di tengah masyarakat, isu tersebut sudah mulai ramai dan muncul gejolak.”Setelah saya sampaikan ke komisi fatwa (MUI) ternyata di masyarakat sudah ada gejolak dan oleh Pemerintah Kota serta petugas keamanan sudah menurunkan atribut milik terdakwa,”ujarnya.

Abdurahman bersama pengurus MUI lainya mendatangi Polda NTB. Saat itu terdakwa sudah berada di Polda. Di Polda, pihak MUI juga telah berdiskusi kepada terdakwa dan dari hasil tersebut dinyatakan bahwa terdakwa  menyebarkan  aliran sesat. “Terdakwa juga saat kita ajak salat dia bilang sudah, karena terdakwa salat tidak menggunakan gerakan yang lazimnya kita lakukan oleh kaum muslim,”ujarnya.

Baca Juga :  Gatot Brajamusti Menangis di Persidangan

Disampaikan juga, saat di Polda NTB terdakwa menyebut agama Islam tidak ada, yang ada hanya agama Allah. Begitu juga dengan pembacaan dua kalimah syahadat.  Menurut terdakwa, bahwa ia tidak meyakini pembacaan dua kalimah syahadat karena tidak diajarkan dalam Alquran. Semua hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bokhari dan Imam Muslim, semuanya  bohong dan para ulama dituduh menyembunyikan Alquran.”Kami selanjutnya mengimbau kepada terdakwa namun terdakwa tetap ngotot dan meyakini bahwa apa yang terdakwa sampaikan itu benar adanya,”ungkapnya.

Karena saat itu tidak ada jalan keluar sementara sudah ada gejolak di tengah masyarakat, pihak MUI  lalu  membuat laporan resmi ke aparat kepolisian.”Saya kemudian membuat laporan resmi untuk selanjutnya  ditangani oleh  aparat kepolisian saat itu,”ujarnya.

Saksi lainnya yang merupakan guru di MAN I Mataram menyampaikan, terdakwa mengirimkan selebaran kepada  siswanya  tentang sebuah berita bahwa ahli kitab Alquran atau ulama telah menyembunyikan isi dari Alquran yang sebenarnya. “Sekitar tujuh siswa saya yang menerima surat tersebut dan setelah murid saya kesana ternyata tidak ada satupun tulisan Alquran,”ujarnya.

Ia tambah heran karena setelah siswanya  pulang dari tempat tersebut mengatakan  diberikan uang oleh terdakwa.”Saya kaget melihat siswa tersebut dan setelah saya lihat sangat banyak penyimpangan. Bahkan terdakwa sangat menyesatkan dan ini tidak bisa dibiarkan,”ujarnya.

Saat terdakwa di Polda NTB, dia juga sempat mengingatkan kepada terdakwa agar kembali ke ajaran yang benar, namun terdakwa tetap ngotot bahwa apa yang diyakini saat ini adalah kebenaran yang sebenarnya. “Bahkan tadi saya tanya terdakwa, dia tetap ngotot dan mengatakan bahwa apa yang diajarkan benar, padahal terdakwa tidak bisa membaca Alquran dan hanya membaca teks saja,”ujarnya.

Baca Juga :  Sidang Kasus Emak Caca, Korban Dijanjikan Keuntungan 50 Persen

Mendengar kedua saksi tersebut, terdakwa tidak sedikitpun melakukan bantahan. Hakim ketua yang memimpin sidang, Didik Jatmiko  sempat menyarankan agar terdakwa belajar membaca Alquran sebenarnya, namun terdakwa malah ngotot dan mengatakan bahwa Allah SWT menguasai segala bahasa.”Saya fokus saja membaca dengan bacaan Indonesia karena Allah Maha Tahu segala bahasa dan biarkan saja orang mau berkata biar Allah menjadi saksi,”ujarnya.

Bahkan setiap perkataan  majelis hakim selalu ditanggapi oleh terdakwa. Bagi terdakwa jika dia mempelajari Alquran menggunakan bahasa Arab, maka dirinya tidak bisa fokus sementara menurutnya bahwa agama itu mempermudah hambanya. “Kalau saya pakai bahasa Arab kan percuma karena saya tidak mengerti maknanya, jadi biarkan saja Allah yang mengetahui segalanya,”ujarnya. Sikap terdakwa ini yang mendebat majelis hakim membuat pengunjung sidang senyum-senyum.

Pada bulan November 2016 bertempat di sebuah rumah toko di Jalan Bung Karno terdakwa mendirikan Rumah Mengenal Al-Quran. Terdakwa  menyampaikan syiar berita-berita dengan cara mengedarkan selebaran dan undangan kepada beberapa instansi pemerintah dan sekolah-sekolah di wilayah Kota Mataram yang mengajak untuk hadir ke Rumah Mengenal Al-Quran yang ia didirikan.Atas kejadian tersebut terdakwa kemudian dinyatakan sesat dan dilaporkan oleh MUI NTB ke Mapolda NTB. (cr-met)

Komentar Anda