Sidang Korupsi Pajak Setwan Lotim, Ahli Sebut Ada Kerugian Negara Akibat Kelalaian Bendahara

SAKSI: Saksi dari Inspektorat Lotim dijadikan saksi ahli dalam korupsi penyelewengan pajak reses anggota DPRD Lotim. (ROSYID/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Sidang lanjutan korupsi penyelewengan pajak reses anggota DPRD Lotim tahun 2019-2020, dengan terdakwa Zulfaedy, kembali digelar Kamis (30/11). Kali ini jaksa penuntut menghadirkan saksi ahli dari Inspektorat Lotim, Herrudi.

Kesempatan itu, Herrudi menyebut timbulnya kerugian negara Rp 343 juta akibat dari ulahnya terdakwa, yang tidak menyetorkan pajak reses anggota dewan ke kas daerah. “Kalau tidak disetorkan (pajak reses) itu merupakan kelalaian dari seorang bendahara,” sebut Herrudi, selaku Ketua Tim auditor perhitungan kerugian negara, di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, kemarin.

Fungsi bendahara itu melekat, yaitu melakukan pemungutan pajak, menyetorkan dan menyimpan. Dua tahun itu, DPRD mendapatkan kucuran anggaran sebesar Rp 58 miliar dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lotim.

Kegunaan anggaran itu untuk reses yang dilakukan bulan Februari, Mei dan Oktober pada dua periode tersebut. Setiap reses anggarannya mencapai rp 2 miliar. “Jumlah anggota DPRD Lotim 50 orang. Jadi, masing-masing anggota menerima Rp 40 juta,” katanya.

Berdasarkan hasil pemeriksaan para anggota dewan, uang pajak reses itu sudah dipotong di depan. Yang melakukan pemotongan ialah bendahara. “Itu sesuai pernyataan para anggota dewan,” ungkapnya.

Baca Juga :  Empat PJU dan Dua Kapolres Jajaran Polda NTB Berganti

Seharusnya, uang pajak reses itu disetorkan ke kas daerah dalam waktu 1×24 jam. Akan tetapi, terdakwa tidak melakukan hal tersebut. Berdasarkan pemeriksaan, uang pajak tidak disetorkan dengan alasan digunakan utuk keperluan kantor DPRD Lotim. “Dia (terdakwa) hanya menyebutkan untuk keperluan kantor, tanpa ada keterangan tambahan,” bebernya.

Penggunaan uang pajak reses untuk keperluan kantor tersebut, merupakan tindakan yang sudah menyalahi aturan. Terlebih lagi, uang pajak tersebut dipinjamkan.

“Tidak boleh (keperluan kantor). Kalau untuk keperluan kantor kan, sudah ada anggarannya. Apalagi pinjam-pinjam. Tidak boleh. Itu harusnya langsung disetor,” tegasnya.

Sebelum kasus ini ditangani aparat penegak hukum, Inspektorat Lotim sudah memberikan waktu kepada terdakwa selama 60 hari untuk mengembalikan temuan tersebut ke kas daerah. Akan tetapi, hingga batas waktu yang sudah ditentukan, terdakwa tetap tidak mengembalikannya.

“Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) Inspektorat terhadap temuan senilai Rp128 juta, kita sudah minta untuk dikembalikan,” katanya.

Baca Juga :  Polda NTB Dalami Laporan Prof Asikin

Selain temuan dari Inspektorat, di LHP BPK pun ada temuan terkait uang pajak yang dipotong oleh terdakwa. Namun tidak disetorkan ke kas daerah sebesar Rp184 juta. Terhadap temuan itu, Zulfaedy sudah menyetorkan uang ke kas daerah sebesar Rp 25 juta.

“Hanya yang temuan BPK saja yang sudah dikembalikan meski belum sepenuhnya, tetapi untuk temuan Inspektorat belum dilakukan,” bebernya.

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan Inspektorat Lotim, tahun 2019 pajak yang tidak disetorkan terdakwa sebesar Rp 284 juta, dan 2020 Rp 159. Terkait adanya perbedaan angka perhitungan kerugian itu, disebabkan karena adanya pajak yang sudah disetorkan terdakwa ke kas daerah. “Ada pajak yang sudah disetorkan, sesuai dengan dokumen yang diberikan jaksa,” ujarnya.

Inspektorat Lotim melakukan perhitungan kerugian negara dalam kasus tersebut atas dasar adanya permintaan dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Lotim. Metode perhitungan yang dilakukan, diyakini sesuai dengan ketentuan dan prosedur.

“Kami kumpulkan alat bukti. Baik bukti berupa setor pajak, pemeriksaan tersangka, anggota DPRD, dan pejabat lainnya (di DPRD),” tandasnya. (sid)