Setahun, Angka Perceraian Tembus 1.273 Kasus

MENGURUS: Masyarakat yang sedang mengurus berbagai keperluan di Pengadilan Agama (PA) Lombok Tengah, Kamis (19/1). (M Haeruddin/Radar Lombok)

PRAYA – Pengadilan Agama (PA) Lombok Tengah mencatat angka kasus perceraian di daerah tersebut masih cukup tinggi. Ironisnya angka perceraian ini didominasi oleh istri yang menggugat cerai suaminya. Salah satu penyebab utamanya adalah faktor ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan berbagai persoalan lainnya.

Panitra Muda Hukum Pengadilan Agama Lombok Tengah, Salman mengungkapkan, permasalahan perceraian terbilang masih tinggi. Ironisnya yang mengajukan perceraian hampir 80 persen adalah perempuan dan parahnya lagi rata-rata yang melakukan gugatan ini adalah perempuan berusia di atas 25 tahun dan di bawah 40 tahun. “Penyebab perceraian ini karena adanya faktor ekonomi, KDRT, selingkuh dan yang menggugat hampir 80 persen adalah istri. Peningkatan tidak bisa kita elakan, terlebih dengan adanya pandemi Covid-19 yang membuat perekonomian makin merosot kemudian ada yang berangkat kerja ke Malaysia dan membuat adanya perselingkuhan,” ungkap Salman.

Untuk tahun 2021, perceraian mencapai 1.434 kasus. Terdiri atas cerai talak yang dilakukan oleh suami 270 kasus dan cerai yang digugat oleh istri 1164 kasus. Sementara untuk tahun 2022 lalu mengalami penurunan meski tidak signifikan pada angka 1.273. Terdiri atas cerai talak yang dilakukan suami 237 kasus dan cerai gugat yang dilakukan istri 1036 kasus. ‘’Jadi setiap hari itu ada saja yang mendaftar untuk gugat cerai ini karena aktor ekonomi, cemburu, bahkan ada suami nikah tanpa pengetahuan istri, perselingkuhan dan KDRT serta berbagai permasalahan lainnya,” terangnya.

Salam menyebutkan, yang paling banyak adalah para perempuan yang ditinggal merantau suaminya ke Malaysia. Istrinya di rumah kemudian menggugat suaminya dengan berbagai alasan, salah satunya adalah soal nafkah. ‘’Per hari saja bisa sampai lima orang yang mendaftar gugatan perceraian ini. Bahkan sehari kita bisa menyidangkan 20 sampai 24 kasus perceraian meski tidak semua gugatan ini berakhir dengan putusan perceraian tapi kadang bisa berdamai,” tambahnya.
Pihaknya tidak menjelaskan secara detail apakah masih tingginya kasus perceraian ini akibat dari masih banyaknya angka pernikahan dini, terlebih kasus perceraian ini didominasi oleh para pengantin yang masih berusia muda. Di satu sisi banyak juga masyarakat yang mengajukan dispensasi perkawinan. “Rata-rata usia yang mengajukan perceraian ini di bawah 40 tahun. Sebelumnya juga tahun 2021 ada 295 yang mendapatkan dispensasi perkawinan. Sedangkan tahun 2022 hanya 47 yang artinya bahwa sebenarnya dengan kita intens dalam memberikan penyuluhan, maka masyarakat sudah menyadari kaitan dengan pernikahan di bawah umur ini,” terangnya. (met)

Komentar Anda