TANJUNG – Sengketa lahan seluas 51 hektare di Dusun Lias Desa Genggelang Kecamatan Gangga belum menemukan titik terang.
Pemkab Lombok Utara selaku mediator antara masyarakat dengan Kemenkum HAM (Lapas Mataram) belum bisa mencarikan solusi. Padahal, tenggat waktu yang diberikan kepada tim terpadu pemerintah daerah untuk mencari usulan-usulan alternatif sampai tanggal 14 April lalu. “Memang persoalan ini membutuhkan waktu yang panjang. Karena pelepasan hak itu pemkab yang akan mengusulkan,” aku Kabag Hukum Setda lombok Utara Raden Eka Kusuma, Rabu (26/7).
Dijelaskan, dalam PP 27 tentang aturan pelepasan hak atas tanah itu Kemenkum HAM berkoordinasi dengan pemda. Jadi, tidak langsung ke masyarakat melainkan ke pemda terlebih dahulu. “Nanti pemda yang akan meminta ke Kemenkum HAM soal hibah itu,” katanya.
Meski belum ada titik terang, pemerintah daerah berterima kasih kepada Kemenkum HAM. Karena, tidak ada upaya penekanan dilakukan oleh pihak Kemenkum HAM terhadap warga masyarakat. “Kita berteirma kasih kepada Kementerian HAM karena tidak ada tekanan yang dilakukan kepada warga yang menempati lahan itu. Selama proses belum selesai upaya mediasi tetap akan dikedepankan dan pemda akan memfasilitasinya,” ucapnya.
Menurutnya, pemda mempertaruhkan nama baik karena ingin masyarakat bisa menempati lahan itu. “Soal berapa jumlah lahan yang akan dihibahkan dari total lahan itu kita belum mengarah ke pembicaraan itu. Yang terpenting sekarang pemda berusaha agar pihak Kemenkum HAM bersedia menghibahkan lahan itu untuk masyarakat. Berapapun jumlahnya nanti belakangan akan dibicarakan,” tandasnya.
Untuk diketahui, total warga yang menempati lahan seluas 51 hektare itu sebanyak 91 kepala keluarga. Jumlah lahan yang dikuasai warga bervariasi. Saat ini warga diminta untuk tidak terpengaruh bujuk rayu para makelar tanah ataupun yang mengatasnamakan lembaga dengan tujuan mengambil keutungan. “Kita ingin warga yang menempati lahan di sana untuk tetap tenang. Karena pihak Kemenkum HAM juga tidak menekan masyarakat untuk meninggalkan lahan itu sendiri,” terangnya.
Sengketa lahan kemenkum HAM dengan warga sudah sejak dulu terjadi. Kemenkum HAM mengacu pada hak guna pakai hibah dari gubernur NTB tahun 1974. Sedangkan tahun 1980 warga masuk membuka lahan tersebut untuk dikelola hingga sekarang. “Intinya Komnas HAM ingin membantu masyarakat hingga persoalan ini diselesaikan dengan jalan mediasi. Tentu dengan tidak keluar dari aturan-aturan yang berlaku agar tidak terjadi persoalan lagi di kemudian hari,” paparnya.
Sebetulnya, kata Eka untuk penyelesaian itu sudah ada gambaran. Ada PP yang mengatur soal pelepasan aset negara ada prosedurnya. “Yang penting warga bisa mendapatkan solusi yang baik. Dan lapas juga bisa ada di Lombok Utara karena di sini juga belum ada lapas,” pungkasnya. (flo)