Sengkarut Pelebaran Jalan Nasional Lombok Utara

TERPOTONG: Bangunan toko di Tanjung, Lombok Utara tak lagi representatif menjadi tempat usaha setelah lebih dari 70 persen badan bangunan terpotong untuk pelebaran jalan nasional Pemenang-Bayan-Sembalun yang dibangun 2023-2024. (ZULKIFLI/RL)

Proyek pelebaran jalan nasional Pemenang-Bayan-Sembalun di Kabupaten Lombok Utara (KLU), Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 2023-2024, masih menyisakan masalah. Warga terdampak belum mendapatkan keadilan sepenuhnya. Kendatipun sudah ada putusan cepat pengadilan.

ZULKIFLI-LOMBOK

Suara gergaji mesin menjadi tanda dimulainya proyek pelebaran jalan nasional Pemenang-Bayan-Sembalun di KLU.

Satu per satu, pohon cemara raksasa usia puluhan tahun, di pinggir jalan depan Lapangan Tioq Tata Tunaq Tanjung itu, dibabat demi kepentingan pelebaran jalan sepanjang 41,65 km itu. Begitu juga pertokoan, kantor pemerintah, sekolah dan lahan warga terdampak, diratakan.

Tanjung, Ibu Kota KLU menjadi yang paling terdampak. Khusus untuk jalan sepanjang 1,8 km di Tanjung dibuat jalur dua. Lebar aspal yang tadinya 4,5-5 meter diubah menjadi 14 meter. Masing-masing jalur 7 meter. Selebihnya dilebarkan tetap satu jalur jadi 7 meter hingga Bayan.

Total ada 1.147 bidang lahan terkena dampak mulai dari Tanjung hingga Bayan. Terdiri dari lahan warga sebanyak 824 bidang, lahan Pemerintah KLU 28 bidang, lahan Pemerintah Provinsi NTB 3 bidang, lahan wakaf 27 bidang, lahan BUMD 7 bidang, dan lahan desa 10 bidang. Kemudian ada 249 bidang milik warga dengan status diagunkan ke bank, sengketa, termasuk lahan yang pemiliknya belum diketahui.

Di luar 249 bidang lahan itu, Pemerintah KLU bersama Satuan Kerja (Satker) Pelaksanaan Jalan Nasional (PJN) Wilayah I Provinsi NTB memastikan bahwa semua sudah diselesaikan proses ganti rugi melalui negosiasi alot.

Pemerintah KLU menyediakan anggaran pembebasan lahan di jalur dua Tanjung sebesar Rp26 miliar untuk 130 bidang lahan. Cukup besar, karena pusat kota dan padat pertokoan. Sementara Satker PJN Wilayah I Provinsi NTB menyediakan anggaran Rp18,6 miliar untuk pembebasan lahan satu jalur dari Tanjung hingga Bayan.

Adapun terhadap 249 bidang lahan yang belum terbayarkan, Satker PJN Wilayah I Provinsi NTB mengajukan konsinyasi atau penitipan ganti rugi ke Pengadilan Negeri Mataram pada November-Desember 2023. Mengingat tiga perusahaan pemenang tender sudah mulai mengerjakan proyek senilai Rp281 miliar untuk kontrak tahun jamak 2023-2024.

Anggaran proyek strategis nasional (PSN) yang masuk kategori proyek pengembangan pariwisata Indonesia atau Indonesia tourism development project (ITDP) itu bersumber dari pinjaman Bank Dunia pada program loan international bank for reconstruction and development (IBRD).

Fadli (34), seorang pemilik lima lokal toko di Tanjung, mengungkapkan keluhannya terkait ganti rugi lahan. Dari tiga toko miliknya seluas 94 meter persegi, terkena pelebaran 74 meter persegi dan dihargakan Rp 190 juta. Selain itu, dua toko lain yang luasnya sekitar 49 meter persegi juga terkena dampak pelebaran sekitar 27 meter persegi dan mendapat ganti rugi Rp 85 juta.

Fadli mengaku bahwa ganti rugi yang diterima tidak menguntungkan secara bisnis. Bangunan lima toko yang tersisa tidak lagi representatif sebagai tempat usaha, karena panjang dan lebar masing-masing bangunan toko menjadi hanya sekitar 1,5 meter x 2,5 meter akibat terpotong pelebaran jalan.

“Dulu ada yang menyewa toko saya. Sekarang tidak ada lagi. Dulu juga toko-toko ini saya gunakan untuk jual sembako, tetapi sekarang tidak bisa karena luasnya yang terlalu kecil dan tidak layak. Toko-toko yang rusak akibat pelebaran jalan ini juga belum diperbaiki. Total ganti rugi yang diterima tidak cukup untuk membangun ulang toko beserta aksesorisnya,” ungkap Fadli, Senin (25/11).

Fadli juga menceritakan, beberapa bulan sebelum pelebaran jalan ia telah menjual satu toko miliknya seharga Rp 150 juta kepada orang lain. Namun, saat pembayaran ganti rugi, toko tersebut hanya dihargakan Rp 105 juta, dengan menyisakan lahan dan bangunan yang sedikit. Meskipun demikian, orang itu tetap harus menerima pembayaran tersebut karena menghadapi pemerintah bisa lebih rumit.

“Mau tidak mau, saya dan orang yang beli itu harus menerima pembelian lahan untuk pelebaran jalan ini. Kalau tidak menerima, ganti rugi akan dititipkan ke pengadilan, dan itu bisa lebih sulit lagi nanti. Capek ngurus,” kata Fadli.

Proyek pelebaran jalan ini memang membawa dampak positif bagi perekonomian daerah, tetapi di sisi lain, warga seperti Fadli harus menghadapi kesulitan dan kerugian yang cukup besar akibat proyek tersebut.

Kendati demikian, Fadli tetap bertahan. Ia tetap mempertahankan sisa bangunan lima toko warisan orang tuanya itu. Bagaimanapun satu toko masih bisa digunakan untuk usaha jok motor. Toko seluas 1,5 meter x 2,5 meter itu cukup sesak dengan tutup jok dan mesin jahit dengan dibantu satu karyawan. Sisa toko yang ada digunakan sebagai tempat istirahat malam hari. Beruntung omzet usaha jok motornya tidak terpengaruh signifikan. Mengingat saingan masih minim.

TAK ADA PILIHAN: Fadli bertahan dengan toko jok motornya berukuran 1,5 meter x 2,5 meter di Tanjung, Lombok Utara. Bangunan tokonya terkena pelebaran jalan nasional Pemenang-Bayan-Sembalun yang dibangun 2023-2024. Ia bertahan karena tak ada pilihan tempat usaha lain. (ZULKIFLI/RL)



Selain masalah harga dan dampak ekonomi yang timbul setelahnya, ketidakjelasan pembayaran justru dialami warga lainnya. Salah satunya Nirdip. Ia mengaku kasus pembayaran lahannya berproses di Pengadilan Negeri Mataram, melalui proses konsinyasi atau penitipan ganti rugi.

Ia bukannya tidak menyetujui, namun sertifikat lahannya masih di bank. Bank tidak mau meminjamkan sertifikat sebagai salah satu syarat pengambilan ganti rugi. Sertifikat baru bisa diambil setelah lunas.

Oleh karena itu ditempuh konsinyasi. Ganti rugi lahan yang diputuskan pengadilan bisa diambil saat pinjaman di bank lunas, dengan syarat menunjukkan sertifikat lahan.

Nirdip mengaku ada 6 bidang lahannya yang terkena, di kiri kanan  jalan di Dusun Beraringan, Desa Kayangan, Kecamatan Kayangan. Luasannya 52 meter persegi. Putusan ganti rugi dari pengadilan sesuai dengan appraisal yakni Rp19.202.964.  

Nirdip berharap pemerintah memberikan kemudahan dalam proses administrasi. Bisa mengambil uang ganti rugi itu tanpa harus menunggu utang di bank lunas. Mengingat pinjaman cukup besar, masih beberapa tahun lagi. Tentu uang itu bisa membantu mencicil utang. “Pemerintah seharusnya memberikan kemudahan kepada kami. Bisa saja dibuatkan surat atau bentuk lain agar uangnya bisa ke kami. Kami juga rakyat melonggarkan mereka dengan membangun jalan di sana. Bayangkan, jalan sudah dibangun, uang belum kita terima,” katanya.

Harapan masyarakat lanjutnya adalah pemerintah dapat memberikan kelonggaran dalam proses administrasi dan pembayaran ganti rugi. Mengingat harga lahan terus naik. Tentu lahan seluas 52 meter persegi dengan harga Rp19.202.964 yang diputuskan pada Januari 2024 itu akan berbeda harganya beberapa tahun ke depan, saat pengambilan ganti rugi di pengadilan. “Makanya kami berharap ada solusi yang lebih efisien dan cepat untuk menyelesaikan masalah ini. Berikan uang itu ke kami meskipun sertifikat masih di bank,” pungkasnya.

Diketahui putusan konsinyasi di Pengadilan Negeri Mataram terbilang cepat. Rata-rata hanya butuh kurang dari sebulan dari pendaftaran ke putusan. Itu sesuai Pasal 123 UU Cipta Kerja yang mengatur tentang penitipan ganti rugi lahan. Di mana Pengadilan Negeri wajib memutuskan permohonan penitipan ganti kerugian dalam waktu maksimal 14 hari kerja setelah permohonan dinyatakan lengkap dan teregistrasi

Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram, Kelik Trimargo yang juga salah satu hakim yang menyidangkan 249 perkara konsinyasi ini mengaku, putusan memang harus cepat. Itu karena proyek pelebaran jalan nasional sedang jalan. Pemerintah dan pelaksana proyek butuh kepastian hukum untuk pengerjaan. Nilai ganti rugi yang diputuskan sama dengan hasil appraisal. “Mau tidak mau, suka tidak suka harus diterima,” jelasnya.

Apalagi proyek ini untuk kepentingan bersama, meningkatkan perekonomian di daerah. Kalaupun misalnya ada yang kasasi ke Mahkamah Agung dipersilakan. “Tetapi sejauh ini tidak ada. Semua yang hadir saat sidang menerima,” terangnya.

Baca Juga :  Cemburu, Pria Asal Inggris Mengamuk dan Menganiaya Pacar di Gili Meno
RAWAN LONGSOR: Salah satu sudut jalan nasional Pemenang-Bayan-Sembalun di Bayan, Lombok Utara yang tebingnya dikeruk untuk pelebaran jalan. Tampak ada bangunan di atasnya yang sudah terlihat potongan fondasi. Serta pohon yang terlihat akarnya. Rawan longsor. (ZULKIFLI/RL)



Diketahu dari total 249 perkara yang masuk, 16 di antaranya berstatus pemilik belum diketahui. Terhadap perkara ini, sidang tetap berjalan.  “Nanti kalau tiba-tiba pemiliknya datang, silakan bisa mengambil ganti rugi di pengadilan sesuai putusan,” terangnya.

Besaran ganti rugi lanjutnya tetap sama. Kendatipun diambil dalam  beberapa tahun ke depan. Tidak terpengaruh peningkatan harga tanah. “Ganti rugi tetap sama. Sesuai putusan pengadilan,” terangnya. 

Kelik menambahkan, peradilan konsinyasi ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Perma Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri dalam Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Perma ini di antaranya mengacu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. “Hingga November 2024 ini, dari total 249 perkara konsinyasi itu, yang sudah mengambil ganti rugi di pengadilan sebanyak 57,” pungkasnya.

Sementara itu Anggota Komisi I DPRD KLU Raden Nyakradi yang membidangi pertanahan, mengungkapkan sejumlah ketimpangan dalam proses penilaian dan pembayaran ganti rugi lahan.

Salah satu masalah utama adalah ketidaksesuaian antara nilai ganti rugi yang ditawarkan dengan nilai sebenarnya dari lahan dan bangunan yang dimiliki warga. Warga merasa bahwa nilai yang ditawarkan terlalu rendah dan tidak memperhitungkan berbagai faktor seperti usia bangunan, kondisi bangunan, serta dampak sosial yang ditimbulkan akibat kehilangan lahan.

“Warga merasa dirugikan karena nilai ganti rugi yang mereka terima tidak sesuai dengan nilai sebenarnya dari aset mereka. Proses penilaian juga dianggap tidak transparan dan tidak melibatkan warga secara aktif,” terangnya.

Misalnya saja salah satu kasus di pertokoan Tanjung, warga mengeluhkan bahwa penilaian tidak memperhitungkan nilai bangunan tambahan seperti sumur, septic tank, dan aksesoris lainnya.

Selain itu, warga juga menyoroti dampak sosial dari proyek ini. Mereka merasa kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, dan nilai sosial dari lahan yang telah mereka miliki selama bertahun-tahun. “Ini bukan hanya soal uang, tetapi juga soal keadilan dan penghargaan terhadap hak-hak sebagai warga,” ungkapnya.

Raden Nyakradi berharap pemerintah daerah dan pusat dapat segera mencari solusi atas permasalahan ini. “Kami meminta agar dilakukan peninjauan ulang terhadap proses penilaian dan pembayaran ganti rugi. Warga harus diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi mereka,” tegasnya.

 

BPK Ungkap Temuan Proyek Pelebaran Jalan Nasional Pemenang-Bayan-Sembalun

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengungkapkan sejumlah temuan pada proyek pelebaran jalan nasional Pemenang-Bayan-Sembalun senilai Rp671.190.188,88.

Salah satu permasalahan signifikan adalah kekurangan volume pada tiga paket pekerjaan itu.

Baca Juga :  NJOP Lahan Investasi Nganggur akan Naik Lagi
Temuan BPK RI pada proyek jalan nasional Lombok Utara pada LHP 2023.



Paket pekerjaan pelebaran jalan Pemenang-Bayan 1 dilaksanakan oleh PT Metro Lestari Utama dengan nilai kontrak Rp94.834.540.000. Pemeriksaan BPK mengungkapkan kekurangan volume pekerjaan Laston Lapis Aus (AC-WC) Rp14.286.592,91.

Kontrak tahun jamak ini memiliki jangka waktu pelaksanaan selama 420 hari kalender sejak 29 Maret 2023 hingga 21 Mei 2024. Pada saat pemeriksaan pada 20 Mei 2024, pekerjaan masih berjalan dan dalam tahap penyelesaian, mencapai 62,298 persen dan telah dibayarkan Rp61.413.467.000,00.

Paket pekerjaan pelebaran jalan Pemenang-Bayan 2 Dilaksanakan oleh PT Sinarbali Binakarya dengan nilai kontrak Rp93.030.945.000,00. Terdapat kekurangan volume pekerjaan Laston Lapis Antara (AC-BC) Rp25.443.245,89. Kontrak tahun jamak ini memiliki jangka waktu pelaksanaan selama 480 hari kalender sejak 29 Maret 2023 hingga 20 Juli 2024. Pada saat pemeriksaan pada 20 Mei 2024, pekerjaan masih berjalan dan dalam tahap penyelesaian, mencapai 56,29 persen dan telah dibayarkan sebesar Rp55.845.283.000,00.

Paket Pekerjaan Pelebaran Jalan Pemenang-Bayan-Sembalun Dilaksanakan oleh PT Bahagia Bangunnusa dengan nilai kontrak Rp93.399.986.000,00. Terdapat kekurangan volume pekerjaan Laston Lapis Antara (AC-BC) dan Laston Lapis Aus (AC-WC) Rp609.389.801,50. Kontraknya 360 hari kalender sejak 29 Maret 2023 hingga 22 Maret 2024, dengan adendum yang memperpanjang waktu pelaksanaan hingga 23 Juni 2024. Pada saat pemeriksaan 21 Mei 2024, pekerjaan masih berjalan dan dalam tahap penyelesaian, mencapai 61,509 persen dan telah dibayarkan sebesar Rp59.969.515.000,00.

Selain itu pembayaran melebihi aktual progres pekerjaan paket pelebaran Jalan Pemenang-Bayan 1. Pembayaran melebihi aktual progres pekerjaan sebesar Rp22.070.548,58. Permasalahan ini terjadi pada item galian tanpa cold milling machine dan beton fc’ 20 Mpa.

Permasalahan-permasalahan tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran atas realisasi belanja Rp671.190.188,88, yang terdiri dari kekurangan volume pekerjaan sebesar Rp649.119.640,30 dan pembayaran melebihi aktual progres pekerjaan sebesar Rp22.070.548,58.

Menurut BPK, hal ini terjadi karena kurang optimalnya pengendalian dan pengawasan oleh Kepala Satker PJN Wilayah I Provinsi NTB serta kurang cermatnya PPK 1.2 dan Pengawas Lapangan dalam melakukan pengawasan.

Menanggapi temuan ini, Kepala Satker PJN Wilayah I NTB di dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK menyatakan sependapat dengan hasil pemeriksaan dan akan menindaklanjutinya sesuai rekomendasi BPK. Rekomendasi tersebut termasuk meningkatkan pengawasan, memberikan sanksi kepada PPK dan pengawas lapangan, dan memastikan kelebihan pembayaran sebesar Rp671.190.188,88 disetorkan ke kas negara atau memperbaiki hasil pekerjaan dengan mengembalikan ke spesifikasi awal yang ditentukan dalam kontrak.

Kepala Satker PJN Wilayah I NTB, Herlambang, mengungkapkan terkait temuan yang ada, pihaknya telah melakukan penyesuaian dan perbaikan pekerjaan. Mengingat saat temuan keluar, proyek juga masih berlangsung. “Kita sudah memperbaiki sesuai spesifikasi awal yang ditentukan dalam kontrak,” terangnya, Rabu (4/12).

Adapun terkait tuntutan pemilik lahan yang sertifikatnya di bank, agar bisa menerima ganti rugi yang dititipkan di pengadilan, ia mengaku tidak bisa membantu lebih jauh kalau urusan dengan pihak bank belum diselesaikan. “Uang itu tetap aman di pengadilan, tetapi proses dengan bank yang harus diselesaikan terlebih dahulu,” jelas Herlambang.

Kalapun misalnya ada perubahan nilai lahan yang bisa terjadi dalam beberapa tahun ke depan, tentu tetap acuannya adalah harga yang sudah diputuskan oleh pengadilan.

Terkait pohon di sepanjang jalur proyek turut terdampak. Diakui memang ada banyak pohon yang terkena dampak. Namun jumlahnya tak terdata sepanjang jalan 41,65 km itu. “Kita tidak mendata, karena tidak ada pembayaran di kontrak untuk pohon yang terkena. Begitu kita potong kita bawa ke TPA,” ujar PPK Satker PJN Wilayah I NTB Ajitomo Wibowo.

Herlambang berharap semua pihak mendukung proyek pelebaran jalan nasional ini. Mengingat masih ada sisa 7 km yang belum dilebarkan dan butuh pembebasan lahan di daerah padat penduduk itu. Bagaimanapun proyek pelebaran jalan ini diharapkan dapat meningkatkan konektivitas dan aksesibilitas di wilayah KLU, memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang signifikan bagi masyarakat setempat. (*)