Selamat Setelah Dapat Botol dan Kayu

Satu dari sekian korban selamat dalam insiden tenggelamnya kapal pengangkut  TKI illegal dari Johor, Malaysia-Batam  di perairan Teluk Mata Ikan, Nongsa, Batam, Rabu  lalu (2/11), itu adalah Nurhalidah. Umurnya masih belia, yakni 16 tahun.

 


ADIANSYAH, Nongsa


 

Ombak besar yang menghantam kapal itu, sontak membuat penumpang cemas. Doa dan tangis bersahutan. Penumpang semakin dibuat cemas, karena angin sedang kencang-kencangnya, apalagi saat yang bersamaan hujan sedang turun.

Percikan air laut dan hujan mengisi perut kapal. Tak lama, kapal itu miring dan akhirnya telungkup. Seluruh penumpang yang semula di atas kapal terjatuh ke dalam air. Sekuat tenaga, para penumpang berenang ingin menyelamatkan diri.

Kisah ini, dituturkan Nurhalidah. Korban selamat dalam insiden tenggelamnya kapal TKI yang ditumpangi 101 penumpang di perairan Tanjung Bemban, Rabu (2/11) dini hari. Umurnya masih 16 tahun. Dia merupakan warga Desa Puncak Jeringo Kecamatan Suela Kabupaten Lombok Timur.

"Kalau ingat itu saya jadi takut. Lihat laut juga (takut)," kata Nurhalidah, saat ditemui di Pusat Rehabilitasi Nilam Suri Nongsa belum lama ini.

Dalam pengakuannya, dirinya hampir saja meninggal. Bagaimana tidak, selama dua jam terombang-ambing dan berenang di laut berombak. Kaki dan tangannya lemas, energinya kalah kuat dengan hempasan ombak perairan Tanjung Bemban yang saat itu tidak bersahabat. 

Baca Juga :  Zakaria, Sang Maestro Nasional Tari Rudat dari Lombok Utara

Dia tenggelam, yang nampak hanya kepalanya.Beruntung, beberapa saat kemudian, dia langsung ditolong korban lain yang tidak jauh dari posisinya yang memegang botol air mineral besar. Setelah berhasil diangkat, penolong tersebut bersama-sama memegang botol tersebut. ''Dia tarik saya. Kita pegang botol berdua," tuturnya.

Tidak lama setelahnya, korban lain yang mengapung dengan sebatang kayu mendekat. Kayu dan botol akhirnya dipakai ketiganya untuk tetap terapung. Para korban tetap berusaha mencari pertolongan. Di tengah kemampuan yang tersisa, mereka melambaikan tangan. Ada juga yang mengibas kaos sebagai tanda minta tolong. Ada kapal berukuran besar yang melintas tak jauh di depan mereka, namun permintaan tolong tidak dihiraukan awak kapal. ''Kita lambai-lambai, tak berhenti mereka," katanya.

Usaha mereka berbuah hasil, kapal-kapal kecil nelayan di sekitar lokasi, melihat lambaian tangan mereka, kapal-kapal nelayan pun mendekat lalu memberi pertolongan. ''(Nelayan) bawa dulu yang sudah nggak kuat, dulu. Setelah itu balik lagi jemput yang lain," ujar anak ketiga dari enam bersaudara ini.

Faktor ekonomi menjadi alasan Nurhalidah nekat mengadu nasib di Negeri Jiran, Malaysia. Dia masuk Malaysia, September 2015 lalu melalui Terminal Ferry Batam Center. Kala itu dia baru berumur 15 tahun. Dia baru saja tamat SMP. Sebelum memutuskan berangkat, dia mengklaim mendapat izin dari orangtuanya yang merupakan petani.

Baca Juga :  Jaran Kamput, Kesenian Rakyat yang Hampir Punah

Desakan ekonomi, memaksa dirinya meng-iyakan ajakan menjadi pembantu rumah tangga oleh seorang wanita yang dia sebut, ibu Nur, warga Lombok Tengah. Saat ditanya siapa yang membawa ke Malaysia, dengan polos dia menjawab. "Pak Budi namanya, orang Malaysia," ucapnya.

Dia tidak sendiri, saat itu dia berangkat bersama seorang rekannya asal Lombok Tengah yang tidak sempat dia tahu namanya. Akhirnya, dia menjadi pembantu rumah tangga di Ipoh. Ipoh adalah ibu kota negara bagian Perak di Malaysia.  ''Tak tahu namanya, kami dipisah di rumah agen," ucapnya lagi.

Selama bekerja, dia mengaku nyaman, dia diperlakukan oleh majikannya dengan baik. Gajinya yang 700 ringgit per bulan itu, juga selalu dibayar majikan. Bahkan, majikannya memberi izin dirinya untuk pulang, padahal kontrak kerjanya masih tersisa satu tahun.

Pasca kejadian tersebut dia tak ingin lagi ke Malaysia. Selain itu, dia tidak lagi ingin naik kapal yang melalui jalur tidak resmi. "Ini pertama aku ke Malaysia jadi TKI, pertama naik kapal (jalur ilegal) seperti ini, tak mau lagi," ucapnya.  (*)

Komentar Anda