MATARAM—Kerja sama Pemprov NTB dengan PT Lombok Plaza terkait proyek pembangunan NTB Convention Center (NCC) terus menuai sorotan banyak pihak. Salah satu narasumber yang menangani urusan aset menyebutkan, bahwa sejak awal kerja sama antara Pemprov NTB dan PT Lombok Plaza ini dinilai tidak beres, dan menimbulkan banyak kecurigaan.
Kepada Radar Lombok, narasumber yang enggan dikorankan namanya ini mengungkapkan, jika Pemprov NTB menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan PT Lombok Plaza pada 19 Oktober 2016, di masa kepemimpinan Gubernur TGH Muhammad Zainul Majdi (TGB). Penandatanganan PKS tersebut, juga disahkan oleh Kepala Biro Umum Pemprov NTB saat itu, Iswandi.
Dalam perjanjian tersebut, Pemprov menyerahkan lahan seluas 3,2 hektare yang terletak di Jalan Bung Karno, Mataram kepada PT. Lombok Plaza. Kerja sama ini menggunakan skema Bangun Guna Serah (BGS) atau Built Operate Transfer (BOT) yang akan berlangsung selama 30 tahun.
Pada dasarnya, melalui skema BOT, PT Lombok Plaza diharapkan membangun, mengoperasikan, dan kemudian menyerahkan aset yang dibangun kepada Pemprov setelah jangka waktu yang telah disepakati berakhir. Namun permasalahan mulai muncul saat implementasi perjanjian ini berlangsung.
Meski perjanjian tersebut, seharusnya berlangsung selama 30 tahun, PT Lombok Plaza secara mengejutkan menyerahterimakan bangunan yang sudah dibangun sesuai kontrak, yaitu Gedung Laboratorium Kesehatan (Labkes) dan kantor Palang Merah Indonesia (PMI) kepada Pemprov NTB pada hari yang sama setelah PKS ditandatangani.
Padahal dalam tender proyek pembangunan gedung New Central Complex (NCC) senilai Rp 360 miliar yang dimenangkan oleh PT Lombok Plaza, kedua bangunan tersebut tidak pernah disebutkan. “Anehnya bangunan tersebut diserahterimakan pada hari dan tanggal yang sama dengan penandatangananan kontrak, serah terima lahan,” ungkap sumber yang tidak ingin disebutkan namanya ini, Kamis (26/9).
Tak ayal ini menimbulkan kecurigaan terkait proses perjanjian itu, mengingat seharusnya PT Lombok Plaza berkomitmen membangun fasilitas baru dalam kurun waktu yang telah disepakati. Namun kenyataannya tidak ada rencana pembangunan baru dari pihak investor, yang kemudian menggugah berbagai spekulasi tentang integritas kerja sama ini.
Selain masalah serah terima bangunan yang tidak sesuai, uang jaminan pelaksanaan pekerjaan sekitar Rp 21 milliar yang harusnya saat ini menjadi milik Pemprov, juga tidak pernah benar-benar dibayarkan oleh PT Lombok Plaza.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kesepakatan kerjasama ini bisa terjadi dan apakah ada unsur kelalaian atau kepentingan tersembunyi di balik proses ini. “Nyatanya uang tersebut tidak pernah ada, atau memang sudah ada yang mencairkan. Pemprov dirugikan,” ujarnya curiga.
Yang lebih mengejutkan lagi, saat ini bangunan Laboratorium Kesehatan dan Kantor Palang Merah Indonesia (PMI) sudah dirobohkan. Hal ini semakin menambah deretan keanehan dalam kerja sama antara Pemprov NTB dan PT Lombok Plaza. Dimana bukannya ada pembangunan baru, justru aset yang ada dihancurkan tanpa adanya ganti rugi yang jelas atau rencana pengembangan lebih lanjut.
Dari proses penyerahterimaan bangunan yang janggal, uang jaminan pelaksana yang tidak pernah diterima Pemprov, hingga pembongkaran gedung yang telah ada, semua elemen ini menunjukkan adanya ketidakberesan dalam perjanjian tersebut.
Terpisah, Kepala Biro Hukum Setda NTB Lalu Rudy yang dikonfirmasi terkait proses perjanjian kerjasama antara Pemprov dan PT Lombok Plaza yang dituding mencurigakan ini enggan memberikan komentar lebih jauh. Dengan alasan kasus ini sedang ditangani pihak Kejaksaan Tinggi. “Karo Hukum tidak mau berkomentar masalah ini,” timpal Rudy.
Namun eks Kepala Bagian Bantuan Hukum Setda NTB ini tidak menampik kalau sejak 2016 lalu, Pemprov memang tidak pernah menerima uang kontribusi dari PT Lombok Plaza. Adapun total kewajiban PT Lombok Plaza yang belum dibayarkan ke Pemprov hingga 8 tahun sejak PKS mencapai Rp 7 milliar. “Totalnya sampai sekarang itu kewajiban dia selama 8 tahun hampir Rp 7 milliar yang belum dibayar kontribusi untuk kita,” sebutnya.
Untuk itu, Pemprov pun berencana menggugat PT Lombok Plaza terkait dugaan wanprestasi dalam pengelolaan lahan pembangunan NCC. Gugatan ini diajukan menyusul ketidakmampuan PT Lombok Plaza memenuhi kewajiban kontrak mereka, yang telah berjalan sejak tahun 2016, termasuk pembayaran kontribusi tahunan kepada Pemprov. “Nanti kita ajukan gugatan perdata, kita ambil lahan baru kita putus kontrak,” ujarnya.
Sedangkan eks Kepala Biro Umum Pemprov yang juga merupakan Kepala Bappeda NTB, Iswandi ketika dikonfirmasi perihal dirinya yang diperiksa Kejaksaan Tinggi terkait kasus dana jaminan proyek pembangunan NCC yang dilaksanakan PT Lombok Plaza, memilih irit bicara. “Tanya saja sana (Kejaksaan Tinggi, red),” singkat Iswandi.
Demikian saat ditanyakan mengenai hasil pemeriksaan oleh Kejati NTB, mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) ini lebih memilih diam, sembari menghindari wartawan. (rat)