Saksi Bongkar Borok Ispan

Saksi Bongkar Borok Ispan
BERSAKSI: PPK Dinas Pariwisata Lombok Barat, I Gde Aryana Susanta saat bersaksi dalam kasus dugaan pemerasan kontraktor oleh mantan Kadispar Lombok Barat, Ispan Junaidi.(DERY HARJAN/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Sidang perkara dugaan pemerasan terhadap salah seorang kontraktor proyek pembangunan destinasi wisata di Lombok Barat kembali berlanjut di PN Tipikor Mataram, Selasa (7/1).

Mantan Kepala Dinas Pariwisata Lombok Barat, Ispan Junaidi kembali didudukkan di kursi pesakitan sebagai terdakwa dalam kasus itu. Terdakwa hadir dengan didampingi penasihat hukumnya. Sidang kali ini dipimpin hakim Sri Sulastri dengan agenda pemeriksaan saksi.

Ada beberapa saksi yang dihadirkan, salah satunya I Gde Aryana Susanta selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) pada Dinas Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat. Sidang yang semulanya diagendakan sekitar pukul 10.00 Wita sempat molor beberapa jam lamanya, karena ketua majelis hakim ada kegiatan yang tidak bisa ia tinggalkan. Meski begitu baik pihak terdakwa, jaksa penuntut umum dan saksi dengan setia menunggu.

Sidang pun akhirnya dimulai sekitar pukul 14.45 Wita.
Saksi I Gde Aryana langsung diambil sumpahnya sebelum memberikan keterangan. Selanjutnya baru majelis hakim memintai keterangan Saksi I Gde Arya selaku pihak yang banyak berhubungan dengan terdakwa maupun korban. “Jelaskan ke kami apa yang saksi ketahui,” pinta hakim Sri Sulastri.

Usai diminta, saksi kemudian memeberkan awal mulanya kejadian ini. I Gde Arya mengatakan, bahwa perbuatan yang dilakukan terdkwa bermula pada saat adanya 3 paket pengerjaan dana alokasi khusus (DAK) dalam bentuk fisik. Yaitu, proyek penataan kawasan wisata Pusuk Lestari yang nilainya Rp 1.588.633.000 dikerjakan CV Titian Jati. Selajutnya proyek penataan kawasan wisata Sesaot yang nilainya Rp 1.065.798.546 dikerjakan oleh CV Bing Bang. Proyek penataan wisata Buwun Mas senilai Rp 1.090.305.199 dikerjakan oleh CV Twikrama.  

Sekitar bulan Agustus, ada kegiatan kegiatan pree contracton meeting (PCM) di kantor Dinas Pariwisata Lombok Barat. Selesai kegiatan tersebut, I Gde Aryana Susanta selaku PPK menginformasikan kepada tiga pemilik CV tersebut untuk bertemu terdakwa di kantornya. Ketiganya yaitu Erwan Daryanto dari CV Twikrama, Topan Apriantara dari CV Bing Bang, dan Muhammad Tauhid dari CV Titian Jati.

Selang beberapa hari setelah diberitahukan informasi tersebut, ketiga orag tersebut kemudian bertemu terdakwa di kantornyya. Dalam pertemuan tersebut terdakwa kemudian menyampaikan kepada ketiga kontraktor proyek tersebut untuk menyerahkan fee sebanyak 8,5 persen dari nilai kontrak proyek. Namun ketiga kontraktor tersebut menolak dengan alasan tidak sanggup dengan jumlah sebanyak itu. Tetapi terdakwa menggatakan, hal itu sudah berlaku di semua dinas.

Sekitar bulan September 2019 setelah uang muka CV Bing Bang seiumlah Rp 280.000.000, dicairkan. “Saya kemudian diminta pimpinan (terdakwa) menghubungi Topan Apriantara untuk meminta dia segera menyerahkan fee sebesar 8,5 persen dari nilai kontrak sebesar Rp 1.065.798.546,” ungkapnya.

Setelah saksi menghubungi Topan, dia kemudian mengatakan bahwa hanya menyanggupi sebesar 6 persen dari nilai kontrak. Sehingga uang yang diserahkan hanya Rp 63.000.000. “Uang itu diserahkan ke saya di Lesehan Bebek Pondok Galih Lombok Barat. Selanjutnya saya bawa ke kantor kemudian saya serahkan ke beliau dan diterima langsung,” bebernya.

Selanjutnya, atas perintah terdakwa, saksi I Gede Aryana Susanta mengambil uang dari Erwan Darwanto di Hotel Paradiso. Dari nilai kontrak sebesar Rp 1.090.305.199, Erwan Darwanto hanya menyerahkan uang sebesar Rp 50.000.000 dari fee 8,5 persen yang diminta terdakwa. Sisanya ia berikan keesokan harinya kepada terdakwa langsung di ruangannya.

Selanjutnya untuk Muhammad Tauhid dengan sendirinya datang ke ruangan terdakwa. Di sana, ia memberitahukan terdakwa bahwa dirinya tidak sanggup membayar 8,5 persen dari nilai kontrak. Alasannya pekerjaan di Pusuk sangat berat sehingga memerlukan biaya tambahan seperti pengangkutan material dan air. “Terdakwa kemudian tidak mau menandatangani termin pembayaran,” ungkapnya.

Atas hal itu terjadilah tawar menawar hingga akhirnya terjadi kesepakatan 5 persen dari nilai proyek. Usai Muhammad Tauhid menyanggupi 5 persen, barulah terdakwa mau menandatangani pengajuan termin pertama.  Selanjutnya beberapa hari setelah itu, Muhammad Tauhid menemui terdakwa di ruang kerjanya kemudian menyerahkan uang sebesar Rp 72.000.000. “Saat Tauhid datang dia bertemu saya lebih dulu dan memberitahukan bahwa uangnya sudah siap. Waktu itu saya sedang menelepon, sehingga Tauhid mungkin mengrira saya sedang sibuk. Ia kemudian dengan sendiri menyerahkan uangnya kepada terdakwa,” ungkapnya.

Bersamaan dengan penyerahan uang tersebut, Tim Kejaksaan Negeri Mataram datang dan melakukan operasi tangkap tangan.
OTT dilakukan setelah sebelumnya pihak jaksa menerima informasi dari masyarakat terkait adanya pemerasan yang dilakukan terdakwa langsung mengamankan terdakwa di ruang kerjanya.

Selanjutnya dilakukan penggeledahan dan ditemukan sebuah tas ransel punggung berwarna hitam yang tersimpan di lemari rak bagian bawah. Setelah dibuka di dalamnya terdapat amplop warna cokelat berisi uang sebesar Rp 75.000.000 bertuliskan Pusuk Lestari di bagian atasnya, 2 buah amplop berisi uang masing-masing Rp 5.000.000, dan keresek hitam berisi uang Rp 15.350.000. “Saya tahunya itu setelah membaca berita di koran,” ungkap I Gde Arya.

Disinggung mengenai apakah saksi ikut menikmati uang yang diterima terdakwa, I Gde Arya mengaku sama sekali tidak pernah menerima sepeserpun. “Menerima tidak pernah, meminta pun tidak berani,” ungkapnya.

Saksi membeberkan di dalam persidangan bahwa terdakwa bisanya hanya memerintah dan marah-marah kalau perintahnya tidak dilaksanakan. Ia pun sebagai bawahannya terdakwa, apapun perintah yang diberikan tetap dilaksanakan. “Saya tidak berani membantah,” ungkapnya.

Dari beberapa keterangn saksi, terdakwa melalui penasihat hukumya mengajukan beberapa pertanyaan. Hanya saja karena pertanyaan yang diajukan telah secara jelas diterangkan saksi, hakim menolaknya. “Sudah tadi diterangkan saksi. Jangan diulang-ulang,” kata hakim Sri Sulastri mengingatkan.

Hakim melanjutkannya ke permintaan tanggapan terdakwa atas keterangam saksi. “Atas beberapa keterangan saksi, ada yang dibantah,” tanya hakim.

Terdakwa Ispan Junaidi kemudian mengatakan bahwa dari keterangan saksi banyak yang tidak benar.
Ispan Junaidi membantah bahwa dirinya pernah menerima uang dari para kontraktor. “Saya tidak pernah mengambil uangnya,” sangkal Ispan.

Terhadap bantahan Ispan Junaidi, hakim hanya mengangguk-ngangguk sambil mengingatkan terdakwa.
“Ya, tidak apa-apa kamu membantah. Itu hak saudara. Tetapi nanti kita lihat. Jika terbukti maka hukumanmu bisa lebih berat karena tidak jujur dalam persidangan,” kata hakim mengingatkan. (der)

Komentar Anda