Ruwetnya Urusan Administrasi, Korban Gempa Bosan Menunggu

KORBAN GEMPA BOSAN MENUNGGU
MANGKRAK : Pembangunan Rumah RTG di Desa Gunung Malang, kecamatan Pringgabaya, Mangkerak disebabkan karena apliktor terbelit dengan aturan ketat dari fasilitator. (M GAZALI/RADAR LOMBOK)

RADAR LOMBOK – RUWETNYA urusan administrasi menjadi salah satu kendala pembangunan rumah korban gempa ini. Awalnya, BPBD kabupaten/kota tidak tahu bagaimana harus mencairkan dana gempa ini. Sehingga akhirnya mereka harus digenjot aparat keamaman untuk kemudian berlari mengejar tugasnya. Tapi persoalannya pemerintah tak menghadapi satu dua orang. Sebaliknya, masyarakat yang terkungkung dalam kebingungan juga lebih terpaku lagi. Mereka tak tahu harus berbuat apa dengan urusan administrasi yang dianggapnya cukup ruwet. Maklum, sebagian masyarakat masih ogah berurusan dengan persoalan administrasi.

Hal ini terjadi di semua daerah kabupaten/kota. Di Kota Mataram misalnya, warga menganggap syarat untuk menerima bantuan cukup sulit. Mulai dari pembentukan kelompok masyarakat (pokmas), lalu diajukan ke aplikator hingga mendapatkan bahan material bangunan.

BACA JUGA: Masih Ada Warga yang Tinggal di Tenda

Aplikator kadang-kadang bertentangan dengan kondisi lingkungan warga. Artinya, posisi dan ukuran bangunan rumah warga kadang tidak sesuai dengan material yang disiapkan aplikator. Warga terpaksa harus menunggu ada pembuatan material lainnya jika sudah masuk pokmas. Ruwetnya perjalanan administrasi itu kadang membuat warga bosan menunggu. Tak jarang mereka harus merogoh kocek sendiri untuk membangun rumah. Andaikata pun mendapat bantuan, tak ada jaminan bagi warga penerima untuk tidak nombok. ‘’Kalau saya tunggu janji pemerintah, kapan saya bisa tidur nyenyak. Terpaksa jual mobil, jual emas istri untuk nombok bangun rumah,’’ tutur Suhaidi, warga Lingkungan Pengempel Indah Kelurahan Bertais Kecamatan Sandubaya.

Ruwetnya administrasi ini juga dirasakan warga Kabupaten Lombok Timur. Akibatnya, pembangunan rumah tahan gempa (RTG) sangat lamban. Terlebih, pembangunan RTG ini ditargetkan rampung akhir April mendatang. Tapi kondisi di lapngan baru 2 persen dikerjakan di daerah itu.

Bagaimana tidak, banyak rumah warga yang hanya fondasinya saja yang sudah dibangun. Setelah itu mangkrak karena fasilitator selalu memberatkan aplikator. Jika keinginan fasilitator itu dituruti, maka warga bantuan yang didapatkan warga tidak akan cukup. ‘’Terlalu ruwet fasilitaror ini. Masak rumah ukuran kecil seperti ini, kendalaman lebar fondasi seperti mau bangun rumah lantai dua,’’ ujar Masri, Ketua Pokmas Dusun Aik Manis, Desa Gunung Malang Kecamatan Pringgabaya.

KORBAN GEMPA BOSAN MENUNGGU
BELUM JADI : Rumah Korban gempa di Lingkungan Pengempel Indah Kelurahan Bertais Kecamatan Sandubaya belum semuanya jadi. (SUDIRMAN/RADAR LOMBOK)

Masri mengaku, mangkraknya bangunan ini ditinggal begitu saja. Warga jadi bunging sendiri. Tidak ada yang datang memberikan kepastian, kapan rumah mereka yang cukup lama menggangur akan mulai dikerjakan. Kendala itu menyebabkan bantuan perbaikan yang telah masuk ke rekening pokmas belum berani digunakan. ‘’Kalau terus dipersulit seperti ini, kapan pengerjaan akan bisa selesai,’’ tanyanya.

Lain halnya dipertanyakan bendahara pokmas Elang Putih Dusun/Desa Gunung Malang, Irawan. Dia mempertanyakan soal kejelasan bantuan dari pemerintah. Karena belum ada satu pun korban gempa di kampungnya yang sudah mendapatkan. Konon, di rekeningnya sudah berisi uang tapi tidak bisa dicairkan.

Kondisi ini juga yang menyebabkan Irawan tidak berani menjalin kerja sama dengan aplikator. Dia takut, kerja sama itu akan berbuah sia-sia. Pelajaran itu diambil Irawan dari pokmas di desanya yang sudah menjalin kerja sama. Tapi akhirnya, bangunan rumah mereka mangkrak karena uangnya tidak kunjung dicairkan. ‘’Dusun sebelah sudah kerja sama dengan aplikator. Bahkan material sudah didatangkan, tapi sudah hampir satu bulan mangkrak,’’ keluhnya.

Baca Juga :  Jumlah Rumah Rusak Akibat Gempa Bertambah Signifikan

Kondisi ini membuat sebagian warga tak sabar menunggu. Administrasi tak kunjung selesai. Warga terus didata berulang kali tapi hasilnya nihil. ‘’Terpaksa kita bangun sendiri, meski seadannya. Anak, cucu saya banyak. Sudah sering kali dijanjikan akan dibangun bulan ini. Kita bosan jadinya,’’ kesal warga lainnya, Amaq Jumenah.

BACA JUGA: Bupati Lotim Usahakan Korban Gempa Diberikan Bantuan

Persoalan administrasi ini juga melanda warga Kabupaten Lombok Utara (KLU). Mereka yang terkena dampak terparah juga belum bisa merasakan manisnya bantuan pemerintah itu. Tiga hal yang menjadi penyebab utama lambannya pembangunan rumah korban gempa ini. Yaitu ribetnya pengurusan administrasi, informasi kejelasan dari pemerintah lamban, dan kurangnya keterlibatan pemerintah daerah membantu percepatan tersebut.

Tak heran, jika warga di daerah ini juga bingung. Seperti yang dihadapi Musa, warga Dusun Menggala Timur, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang. Awalnya perencanaannya cepat namun nyatanya banyak aturan sehingga membuat sulit. Akibatnya, Musa bersama anak dan istrinya masih tinggal di hunian sementara (huntara) berdinding kayu, beratap terpal. Jika hujan, ia dan keluarganya terpaksa harus berdiri sambil menunggu air hujan menyerap.

Musa sendiri mengaku telah mendapatkan buku rekening, tapi belum tahu namanya berada di urutan keberapa dalam surat keputusan (SK) bupati. Fondasi rumahnya sendiri sampai sekarang masih ada hanya nampak kerusakan semata. Progres pembangunan rumah bantuan stimulan pemerintah itu progresnya bisa dikatakan tidak ada. “Kita bingung dengan peran pemda, tidak ada informasi yang jelas,” kata pria paruh baya ini sambil melinting rokok buatannya.

Belum didebitnya uang bantuan ini tak terlepas juga dari persoalan administrasi. Pokmas Gedeng Melbau Dusun Lendang Galuh, Desa Sigar Penjalian, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara misalnya, mereka masih menyesuaikan ketimpangan data. Banyak penerima yang tidak sesuai namanya dengan di KTP, sehingga harus diperbaiki. “Kendalanya, kita kumpulin dulu seluruh anggota untuk pengumpulan rekening. Kita menunggu kumpulnya semuanya, setelah kumpul apakah dibuat rekening kelompok atau bagaimana,” terang Muhammad Subuhan selaku ketua pokmas.

Untuk penentuan jenis rumah sudah diputuskan mengambil rumah instan baja (Risba), rencana biayanya sudah selesai, aplikator sudah dihubungkan. Jika persyaratan administrasi sudah tuntas pembangunan bisa cepat. Administrasinya sebenarnya tidak ribet, kendalanya itu di masyarakat karena masih ada yang menginginkan uang tunai sehingga dijelaskan lagi. “Kalau fasilitator rutin turun. Dalam seminggu itu dua kali turun,” jelasnya.

Baca Juga :  Korban Gempa Mengaku Dipersulit Urus Dokumen Kependudukan

Fasilitator Fisik Desa Mumbul Sari Kecamatan Bayan, Lalu Ahsani Takwin  mengungkapkan, lambannya pembangunan rumah bantuan stimulan untuk korban gempa pada proses pengurusan administrasi. Ada beberapa tahapan administrasi yang harus dituntaskan dan harus berhati-hati. Yaitu, pendebitan rekening individu ke rekening kelompok, menyusun RAB, detail enggering design (DED), melampirkan berkas-berkas pendukung lainnya seperti fotokopi KTP dan buku rekening individu. “Kendala kita ada pada pengurusan berkas,” ungkapnya.

Sebelum mendebitkan buku rekening, tim fasilitator harus memastikan kembali bahwa korban yang menerima bantuan itu rumahnya benar-benar mengalami rusak, dan sudah dibersihkan puing-puing bangunannya. Di lapangan dapat ditemukan rumahnya masih berdiri namun mengurus tahap pencairan maka tidak bisa, sebab hal itu bakal menjadi laporan hukum. “Jadi, kami harus benar-benar menuntaskan dulu administrasi lapangan harus sesuai dengan kondisi lapangan dengan rekening diterima. Kalau tidak maka kami yang berhadapan dengan hukum,” katanya.

BACA JUGA: Diguncang Gempa, Pariwisata Gili Tetap Aman

Untuk menuntaskan berkas itu, satu tim fasilitator harus menuntaskan antara 200 KK bahkan lebih dari itu, maka pemberkasan administrasi tidak bisa dilakukan cepat. Belum lagi, ketika melakukan pendebitan buku rekening harus ke BRI Cabang Tanjung, sementara warga yang berada di lokasi jauh tentu membutuhkan tenaga dan waktu untuk mengakses menuju BRI. Sebab di Lombok Utara, kantor BRI hanya di Tanjung saja. Kemudian, fasilitator juga harus meminta tandatangan basah Kepala BPBD Lombok Utara selaku PPK juga diakses di Kantor Pemda Tanjung. “Di dua penentu itu kami harus menunggu berjam-jam bersama tim fasilitator lainnya,” paparnya.

Ketika fasilitator tiba di BRI Tanjung, tidak langsung cair. Pihak BRI harus memastikan tandatangan penerima bantuan harus sesuai dengan tandatangan di KTP. Di lapangan, masyarakat yang tidak lazim bertandatangan, kadang ada juga yang tidak sesuai sehingga fasilitator harus memperbaikinya. Balik lagi juga tandatangan ke PPK. “Jika sudah lengkap dan dipastikan tidak ada masalah baru kami bisa dicairkan,” katanya.

Ia berharap pemerintah membuat one gate pelayanan, di sana ada BRI, PPK, dan fasilitator di setiap kecamatan. Memang ada solusi dari Bank BRI adanya mobil pelayanan keliling, tentu sama artinya karena fasilitator harus ke Tanjung juga meminta tandatangan PPK. Kemudian, untuk menyusun RAB, memang Rekompak kekurangan fasilitator teknisnya dan memang agak lambat, sebab tergantung permintaan masyarakat. DED disesuaikan berdasarkan RAB. Inilah peran fasilitator mendikusikan bersama masyarakat. Pada saat penyusunan RAB, jika terdapat kelebihan dari anggaran yang ada maka Pokmas harus bertanggungjawab membangun kekurangan itu secara swadaya dengan membuat berita acara. “Kita memang kekurangan fasilitator teknis, maka satu tim fasilitator berbagai macam latar belakang pendidikan, tapi teknis wajib ada,” terangnya. (sudirman/gazali/hery mahardika)

Komentar Anda