
MATARAM – Apa jadinya ketika mimpi besar membangun pusat konvensi megah di jantung Nusa Tenggara Barat dengan visi “NTB Bersaing”, justru menjadi pintu masuk bagi praktik korupsi berjamaah.
Proyek NTB Convention Center (NCC) yang merupakan salah satu proyek prestisius di lahan seluas ±32.000 m² tersebut digagas sejak 2012 melalui skema kerja sama Bangun Guna Serah (BGS) kini menyeret nama-nama penting di lingkaran Pemerintah Provinsi NTB.
Di tengah ambisi menjadikan NTB sebagai tuan rumah berbagai even berskala nasional hingga internasional, justru terjadi dugaan penyimpangan yang merugikan negara sebesar Rp15,2 miliar.
Dalam sidang perdana di Pengadilan Tipikor Mataram, mantan Sekretaris Daerah NTB, Rosiady Husaeny Sayuti, didakwa menjadi aktor kunci dalam menerima aset bermasalah dari PT. Lombok Plaza selaku mitra swasta pelaksana proyek.
Berdasarkan surat dakwaan, PT. Lombok Plaza ditetapkan sebagai mitra pada tahun 2013 dengan komitmen investasi sebesar Rp360 miliar dan kontribusi Rp50 miliar. Dalam dokumen MoU, perusahaan wajib menyetor dana awal 5%, membangun ulang fasilitas pelayanan publik yang digusur seperti Labkesda dan gedung PKBI, serta membayar kontribusi tahunan Rp750 juta selama tiga tahun.
Namun fakta di lapangan berkata lain. Relokasi bangunan kesehatan dilakukan, tetapi kualitas dan spesifikasinya jauh di bawah standar. Bangunan Labkesda yang semestinya bernilai lebih dari Rp12 miliar hanya direalisasikan senilai Rp5 miliar.
Bahkan tidak memenuhi standar teknis dari Kementerian Kesehatan. Detail Engineering Design (DED), Feasibility Study (FS), hingga kajian lingkungan yang menjadi prasyarat kerja sama juga tidak pernah disusun.
Yang lebih mencengangkan, perjanjian kerja sama tetap ditandatangani oleh Rosiady pada 19 Oktober 2016, meskipun PT. Lombok Plaza tidak pernah menyetor dana awal, kontribusi tahunan, maupun jaminan pelaksanaan senilai Rp21 miliar.
Alih-alih menegakkan aturan, pejabat tertinggi ASN NTB saat itu justru menutup mata. Aset yang belum diverifikasi nilai dan mutunya, diterima dan disahkan seolah tanpa cela. “Gedung pengganti yang diterima hanyalah dua lantai dari rencana awal dan tidak memenuhi standar mutu, waktu, maupun biaya,” ungkap perwakilan JPU Kejaksaan Negeri Mataram Ema Mulyawati.
Di hari yang sama dengan penandatanganan kontrak, Rosiady juga menandatangani berita acara serah terima bangunan dari PT. Lombok Plaza kepada Pemerintah Provinsi NTB senilai hanya Rp6,5 miliar, jauh dari yang disyaratkan dalam dokumen kerja sama.
Proyek pembangunan NCC pun tak kunjung terealisasi hingga kini. Sementara negara telah dirugikan dan publik kehilangan akses terhadap fasilitas kesehatan yang direlokasi secara semerawut.
Skema BGS yang seharusnya meringankan beban APBD justru berubah menjadi alat manipulasi aset negara. Pemerintah provinsi yang semestinya awas terhadap setiap pelanggaran prosedur justru tampak permisif terhadap mitra swasta yang tidak kompeten.
Kini, sang mantan sekda harus duduk di kursi pesakitan. Jaksa menuntut ia bertanggung jawab penuh atas kerugian negara dan pelanggaran atas serangkaian regulasi pengelolaan barang milik daerah.
Skandal ini menjadi peringatan keras: bahwa di balik jargon pembangunan, terselip celah yang rentan disusupi kepentingan pribadi jika pengawasan tak dijadikan prinsip utama dalam setiap kebijakan. (rie)