MATARAM — Anggota Komisi III Bidang Keuangan DPRD NTB, Nashib Ikroman menuding pemerintah provinsi (Pemprov) telah berlaku zalim dalam pengelolaanDana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) kepada para petani tembakau yang ada di pulau Lombok. Terutama tiga kabupaten sebagai daerah penghasil tembakau terbesar di NTB yakni Lombok Timur, Lombok Tengah dan Lombok Barat.
Pasalnya, dari evaluasi yang dilakukan Komisi III, banyak realisasi pencairan program yang anggaran bersumber dari DBHCHT tidak banyak dinikmati para petani tembakau. Padahal penggunaan dana DBHCHT diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.07/2017 tentang Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi DBHCHT.
“Ini kan zalim namanya,” kritik politisi Partai Perindo NTB, usai menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) sejumlah OPD jadi mitra Komisi III, di kantor DPRD NTB, kemarin.
Dia mengatakan, dari evaluasi dilakukan pihaknya, hampir sebagian besar realisasi program yang bersumber anggaran dari DBHCT, justru dinikmati oleh kabupaten kota yang bukan sebagai daerah penghasil utama dan terbesar tembakau di NTB.
Sedangkan, daerah yang jadi penghasil utama tembakau relatif minim menikmati realisasi program bersumber dari anggaran DBHCT tersebut.
Sebab itu, dia menilai apa yang dilakukan oleh Pemprov dalam pengelolaan DBHCT itu sangat aneh, dengan mengabaikan para petani tembakau yang berada di daerah penghasil untuk menikmati program tersebut.
“DBHCHT itu berasal dari keringat siang dan malam petani tembakau. Tapi giliran terealisasi dari pusat, malah petani tembakau sangat minim merasakan. Yang ada program DBHCHT dirasakan oleh bukan dari daerah penghasil,” ungkapnya.
Dia mencontohkan, misalnya bagaimana realisasi program jalan tani yang anggaran bersumber dari DBHCT pada tahun anggaran 2024. Itu sebagian besar dinikmati kabupaten kota ada di pulau Sumbawa.
Sedangkan tiga kabupaten penghasil utama yang ada di pulau Lombok, memperoleh realisasi program lebih kecil. Seharusnya berbagai program yang anggaran dari DBHCT, harus sebesar-besarnya dikembalikan dan dinikmati para petani tembakau yang ada di daerah penghasil.
“DBHCT ini harus dinikmati para petani tembakau. Karena ini jerih payah para petani tembakau,” ucap anggota DPRD NTB dapil Lombok Timur selatan tersebut.
Selain itu, Acip, sapaan akrabnya, dari hasil evaluasi dilakukan komisi III, ditemukan ada kewajiban pekerjaan yang gagal bayar di sejumlah OPD Pemprov pada tahun 2024.
Angkanya mencapai Rp50 miliar lebih. “Itu sebagian besar merupakan proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2024,” ujarnya.
Dia membeberkan, sebaran paket proyek DAK yang belum tuntas hingga 31 Desember 2024 berada di Dinas Kominfotik, Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan hingga Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud). Yang paling besar angkanya berada di Dinas Dikbud. “Jika BPKAD belum melakukan pembayaran hingga tenggat waktu 31 Desember 2024, itu artinya realisasi fisik DAK belum tuntas,” ucapnya.
Sebab itu, Acip kritisi pernyataan Asisten III Setda NTB, Wirawan Ahmad, yang klaim tahun 2025 Pemprov bebas utang karena APBD sudah sehat. Padahal ada praktik keuangan di APBD 2025 yang akan menanggung utang proyek yang belum tuntas pada tahun 2024.
Menurutnya, DAK itu berbeda dengan dana lainnya, karena uangnya siap sedia di BPKAD. “Jika ada proyek 2024 dibayarkan di tahun 2025, itu tanda APBD 2025 memang tidak berkualitas. Aneh. Jika ada pejabat berani sebar hoax ke publik,” tandasnya.
Anggota komisi II Bidang Pertanian DPRD NTB Megawati Lestari juga menyoroti program jalan tani pada tahun anggaran 2025 ini hampir sebagian besar ada di pulau Sumbawa.
Program jalan tani itu dikelola Dinas Pertanian. Program jalan tani ini anggaran bersumber dari DHBCT.
Sedangkan kabupaten penghasil utama tembakau yang ada di pulau Lombok, justru memperoleh program jalan tani yang lebih kecil.
Seperti Lombok Tengah dan Lombok Timur. “Kok justru kabupaten penghasil utama tembakau yang ada di pulau Lombok memperoleh lebih kecil, dibandingkan kabupaten yang ada di pulau Sumbawa,” tandasnya. (yan)