Raperda RTRW Kota Mataram Terancam

Kota Mataram
RTRW : Inilah kondisi Kota Mataram dilihat dari ketinggian yang kekurangan lahan pertanian berkelanjutan dan belum memenuhi 20 persen RTH publik sesuai RTRW. (AZWAR ZAMHURI/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Rencana revisi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Mataram, terancam tidak bisa dilanjutkan. Pasalnya, Pemerintah Provinsi NTB belum bisa menemukan solusi atas berbagai persoalan terkait raperda tersebut.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi NTB, Wedha Magma Ardhi mengungkapkan, revisi Raperda RTRW Kota Mataram tidak bisa dilanjutkan. “Jika rekomendasi kementerian ATR tidak bisa dilaksanakan, maka tidak bisa akan disahkan raperda pemkot. Tidak ada niat kita menghambat atau persulit,” terangnya kepada Radar Lombok, Jumat kemarin (6/4).

Dipaparkan, terdapat dua masalah krusial yang belum bisa diselesaikan oleh Pemkot Mataram. Pertama terkait dugaan pelanggaran alih fungsi lahan, dan kedua masalah Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang tidak bisa dipenuhi. Pemkot Mataram kurang cepat merespon masalah tersebut. Mengingat, terlalu berat masalah yang harus diselesaikan. “Kami lihat persoalan-persoalan itu secara tersirat ada kesulitannya pemkot. Sampai sekarang juga belum bisa dijelaskan indikasi pelanggaran dan soal RTH,” ungkapnya.

Gubernur NTB, TGH M Zainul Majdi sebenarnya sejak beberapa waktu lalu telah memberikan rekomendasi untuk raperda tersebut. Namun fakta di lapangan, banyak hal yang harus diselesaikan dan sangat krusial berdasarkan catatan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Saat ini, raperda revisi RTRW Kota Mataram sedang dibahas secara mendetail. Terutama terkait lahan pertanian yang terkikis habis di kota Mataram. “Ada dugaan pelanggaran tata ruang terjadi di Kota Mataram. Luas sawah yang ada saat ini sekitar 1600 hektar, padahal di dalam perda itu seharusnya sekitar 1800 hektar. Jadi ada minus 200 hektar, itu fakta lapangan berdasarkan data BIG (Badan Informasi Geospasial),” beber Ardhi.

Atas fakta tersebut, tentu saja jelas telah terjadi pelanggaran alih fungsi lahan. Pemprov kemudian meminta Pemkot Mataram untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Mengingat, hal itu menjadi perhatians serius Kementerian ATR. Dalam RTRW, wilayah yang seharusnya masuk lahan pertanian atau persawahan, justru telah beralih fungsi saat ini. “Terhadap pelanggaran-pelanggaran itu, apakah memiliki izin atau tidak. Yang keluarkan izin kan Kota Mataram, bukan pemprov. Sikapnya bagaimana sebenarnya pemkot ini, ada sanksi gak diberikan ke pelaku pelanggaran. Itu belum kita dapat penjelasan dari pemkot,” sambung Ardhi.

Ardhi sendiri pernah melihat surat keterangan Walikota Mataram TGH Ahyar Abduh, yang menyebutkan tidak ada pelanggaran tata ruang. Namun fakta di lapangan tidak bisa dibantah. “Itu yang buat lama raperda ini. Kita kan gak mau kalau nanti jadi masalah hukum,” ucapnya.

Selain itu, masalah RTH juga hingga saat ini belum bisa dipenuhi Pemkot Mataram. Padahal, sudah menjadi amanah undang-undang, harus ada 20 persen di kota untuk RTH publik. Sementara saat ini, pemkot hanya bisa menyediakan sekitar 1000 hektar saja.

Berdasarkan aturan, lanjutnya, jumlah RTH di Kota Mataram sekitar 1200 hektar. Itu artinya, masih kurang lagi sekitar 200 hektar lahan untuk RTH. “Masalah dugaan pelanggaran alih fungsi lahan belum jelas. Karena kalau ada alih fungsi, maka harus disiapkan lahan pengganti. Terus di mana lahan pengganti itu, kan gak jelas. Begitu juga dengan RTH belum ada solusi. Jadi kita tidak ada niat untuk menghambat investasi di Kota Mataram,” tegasnya.

Terkait dengan raperda revisi RTRW Kabupaten Lombok Utara (KLU), Ardhi sendiri mengaku belum pernah melihat berkasnya. ‘’Kita pastikan, pemprov tidak mungkin bersikap menghambat investasi di kabupaten/kota,’’ pungkasnya.

Ditimpali Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi NTB, Ridwan Syah yang dikonfirmasi Radar Lombok menyampaikan hal yang sama. “Untuk KLU masa iya kita yang  berkepentingan dengan Global  Hub kok kita tahan. Semangat kita sama yaitu percepat proses sesuai aturan untuk keperluan apapun, terutama untuk investasi,” jawabnya.

Ditegaskan, UU mengatur dengan jelas bahwa yang mengatur persetujuan perda adalah kewenangan pusat. Sementara pemprov hanya memberikan rekomendasi saja. “Sama dengan Raperda RTRW Kota Mataram, provinsi mendukung kok. Memang ada tarik menarik sedikit soal luasan lahan pertanian berkelanjutan sesuai rekomendasi dari Kementrian Pertanian, itu masalahnya,” kata Ridwan Syah. (zwr)

Komentar Anda