Pungli Prona tanpa Perdes

PUNGLI PRONA : Terdakwa kasus Pungli Prona, Nursimah, menjalani sidang perdananya belum lama ini (Dok/Radar Lombok)

MATARAM– Sidang kasus pungutan liar (Pungli) program Prona sertifikat tanah dengan terdakwa Kades Sekotong Barat, Nursimah, kembali digelar di Pengadilan Tipikor (PT) Mataram, Senin (3/4) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi-saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Jaksa menghadirkan tiga orang saksi yakni Ketua BPD Sekotong Barat, staf desa serta satu orang warga peserta Prona.

Abdul Patah selaku Ketua BPD dalam kesaksiannya menyampaikan bahwa dirinya menerima informasi dari Kades bahwa desanya menerima jatah sertifikasi sebanyak 400 sertifikat tanah. Pihak desa kemudian melakukan sosialisasi dengan mengundang warga. Saat pertemuan terdakwa meminta agar masing-masing pemohon sertifikat menyerahkan Rp 500 ribu. Terdakwa beralasan kalau uang tersebut diperuntukkan bagi pembangunan gedung Taman Kanak-kanak.

[postingan number=3 tag=”pungli”]

Ia bahkan mengingatkan kepada terdakwa agar kalau melakukan pungutan atau pemotongan harus berlandaskan peraturan desa sehingga tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. “ Saya pernah kasih tau terdakwa agar setiap keputusan harus ada Perdesnya,” ungkapnya.

Nursimah didakwa dengan tiga dakwaan yakni dakwaan primer, dakwaan subsider dan lebih subsider.

Dalam dakwaan primer, terdakwa didakwa bersalah sebagaimana diatur dalam pasal 12 huruf e Undang- undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi.

“ Perbuatan terdakwa juga dalam dakwaan subsider sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 11 Undang- undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,” ungkap Budi Tridadi  membacakan dakwaan pada sidang perdana lalu.

Sementara dalam dakwaan lebih subsider perbuatan terdakwa dianggap melanggar pasal  12A ayat (2) jo pasal 12 hurup e Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Terdakwa selaku Kades Sekotong Barat periode 2013-2019 mendapat jatah program sertifikasi Prona dari BPN Lombok Barat. BPN mengundang terdakwa dan Kades lainnya yang mendapat program tersebut untuk diberikan arahan. ”Dalam arahan tersebut terdakwa diberikan sebanyak 426 sertifikat dan beberapa persyaratan- persyaratan yang harus dilakukan oleh pemohon,”ungkapnya.

Persyaratan bagi warga yang memohon sertifikat seperti bukti perolehan hak atas tanah  yaitu berupa kwitansi atau surat jual beli di bawah tanda tangan atau akta jual beli, termasuk surat waris bermaterai 6000, foto copy SPPT dan SPPT PBB, Surat Keterangan Tanah dari Kades bahwa tanah memang dikuasai oleh peserta atau pemohon, pernyataan dari peserta pemohon bahwa sudah memasang tanda batas dan memperoleh persetujuan dari pemilik tanah sandingan. Untuk menindaklanjuti hal itu, terdakwa melakukan sosialisasi dengan mengundang seluruh Kadus dan BPD, serta pejabat desa lainnya pada tanggal 25 Januari.

Dalam perjalanannya, warga yang mau mendapatkan sertifikat tanah diberikan syarat tambahan. Terdakwa memerintahkan Kadus memungut uang masing-masing Rp 500 ribu per pemohon. Pungutan tersebut bisa diselesaikan dua tahap, tahap pertama Rp100 ribu dengan alasan pembelian  materai, map dan lain-lain. Tahap kedua Rp 400 ribu dibayar setelah sertifikat jadi dan diterima pemohon (warga_red). Dimana dana terakhir Rp.300 untuk desa, sisanya Rp 100 ribu untuk Kadus.

Nursimah didakwa menguntungkan diri sendiri atau orang lain.”Padahal terdakwa mengetahui bahwa memungut uang dari masyarakat dalam kegiatan Prona dilarang dalam peraturan perundang-undangan karena program ini gratis,” ungkap jaksa.

Data Radar Lombok, terdakwa kena OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh Tim Saber Pungli NTB pada tanggal 14 Desember 2016. Pada waktu itu petugas berhasil mengamankan uang Rp 10 juta yang diduga hasil Pungli, serta sejumlah dokumen.(cr-met)