Program Beasiswa NTB Jadi Temuan Kerugian Negara, Faktanya Mencengangkan

MOTIVASI : Gubernur NTB, Dr. H. Zulkieflimansyah saat melepas dan memberikan motivasi kepada para penerima Beasiswa NTB, Sabtu (3/10/2020). (Ist/radarlombok)

MATARAM–Salah satu program unggulan Zulkieflimansyah dan Sitti Rohmi Djalilah (Zul-Rohmi), yaitu Beasiswa NTB menjadi program paling banyak jadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mulai dari sebelum keberangkatan mahasiswa hingga sudah berada di negara tujuan.

Direktur Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) Provinsi NTB, Irwan Rahadi mengakui jika program beasiswa NTB banyak menjadi temuan BPK. “Oh nggih. Ada yang dikembalikan, karena kondisi-kondisi teknis selama proses berlangsung yang memang di luar prediksi kita,” ucap Irwan kepada Radar Lombok, Kamis (27/5).

Koran Radar Lombok telah menerima Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi NTB tahun 2020. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) menjadi paling banyak disorot. Selain adanya temuan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), program beasiswa NTB lebih banyak lagi menjadi temuan. “Untuk pemgembalian (kerugian negara, red) sudah dilakukan,” ungkap Irwan.

Berdasarkan LHP BPK, temuan dalam program beasiswa NTB di antaranya pembayaran biaya kontribusi ke LPP NTB yang nilainya Rp 1,88 miliar. Nilai tersebut didapatkan berdasarkan jumlah penerima beasiswa yang lulus seleksi sebanyak 155 orang dikalikan besaran biaya per penerima beasiswa senilai Rp12.150.000. Dikbud belum menerima rincian anggaran penggunaan atas biaya kontribusi program beasiswa tersebut.

Anggaran miliar itu untuk pelatihan, sosialisasi, honorarium pegawai LPP, rehab gedung rumah bahasa, belanja barang keperluan pelatihan, biaya listrik dan wifi, ATK dan operasional lainnya seperti pengelolaan website dan media sosial LPP NTB. Fakta yang ditemukan BPK, diketahui bahwa Dikbud telah melaksanakan Belanja Rehabilitasi Gedung Wisma Giri Putri di tahun 2020 senilai Rp 199.450.000.

Di samping itu, Dikbud juga mengeluarkan belanja listrik, air, dan wifi selama tahun 2020 untuk operasional Gedung Wisma Giri Putri senilai Rp 35.811.082. Untuk pelaksanaan kegiatan pelatihan, disebutkan pula ada honorium bagi narasumber. Tapi ketika BPK melakukan konfirmasi kepada salah satu narasumber, ternyata narasumber tersebut tidak menghadiri kegiatan LPP NTB dan tidak menerima honorarium.

Oleh karena itu, BPK menyebut terdapat potensi nilai tidak wajar atas pembayaran biaya kontribusi senilai Rp 1,88 miliar. Kemudian ada kelebihan pembayaran biaya pemeliharaan dan operasional senilai Rp 31,2 juta. Kemudian realisasi kegiatan pelatihan senilai Rp 323.100.000 tidak dapat diyakini kebenarannya.

Baca Juga :  Sejumlah Anggota DPRD NTB Buat Tagihan Hotel Palsu, Ada Juga Melebihkan Tagihan

Hal yang tidak kalah mencengangkan, anggaran beasiswa NTB sebesar Rp 29,2 miliar juga banyak menjadi temuan. Pelaksanaannya juga tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. BPK menemukan ada dua mahasiswa inisial IM dan AG yang tidak memenuhi syarat tapi diluluskan.

Belum lagi masalah uang biaya hidup yang ternyata tidak adil. Bahkan kelebihan pembayaran biaya hidup atas nama SY senilai Rp 29 juta. SY merupakan dosen pada Universitas Teknik Sumbawa (UTS) yang sedang menempuh pendidikan S3 di Taiwan.

Terdapat pula pemberian biaya reschedule tiket dan biaya bagasi yang dibayarkan kepada mahasiswa senilai Rp 2.398.000 yang tidak sesuai ketentuan. “Iya betul. Ada tiket yang dibelikan dengan bagasi, padahal tidak bisa dilakukan. Kelebihan pembiayaan bagasi itu yang dikembalikan,” terang Irwan Rahadi mengakui.

Temuan-temuan di atas masih belum ada apa-apanya. Masih berdasarkan LHP BPK, banyak mahasiswa yang telah mengundurkan diri dan belum berangkat ke negara tempat universitas tujuannya sampai dengan 31 Desember 2020, namun telah dibayarkan biaya hidup, biaya karantina, biaya penelitian, tuition fee, dan biaya transport.

Misalnya saja mahasiswa inisial Y, telah diberikan uang senilai Rp 7,5 juta untuk biaya hidup selama Januari sampai Juni 2020. Padahal mahasiswa tersebut sudah pulang ke Indonesia dari tahun 2019. Kemudian inisial MM dibayarkan Rp 30 juta untuk biaya hidup di Polandia, padahal mahasiswa tersebut belum berangkat ke negara tujuan. Inisial IRA diberikan uang Rp 68 juta untuk biaya hidup di Polandia, padahal mahasiswa tersebut belum berangkat ke negara tujuan.

Ada pula mahasiswa inisial MUH telah menerima uang Rp 24 juta untuk biaya hidup selama Januari sampai Juni 2020. Faktanya mahasiswa tersebut telah pulang ke Indonesia pada bulan Februari 2020. Selanjutnya diberikan uang biaya hidup masing-masing senilai Rp 31 juta atas nama IA, AS, dan T, yang menempuh pendidikan di Rusia. Faktanya ketiga mahasiswa tersebut masih berada di NTB.

Baca Juga :  Holiday Resort Lombok akan Gelar Fashion Show

Begitu pula dengan BMA dan HF telah menerima uang masing-masing Rp 35 juta juga jadi temuan. Termasuk tuition fee atas nama MM dan IRA telah dibayarkan ke pihak universitas senilai Rp 150 juta, padahal mahasiswa tersebut belum berangkat ke Polandia. Terdapat belanja untuk transportasi mahasiswa Rusia inisial IA, AS, dan TAU yang telah ditransfer oleh Bendahara Pengeluaran Dikbud senilai Rp 90 juta, dan masih banyak temuan lainnya.

Irwan Rahadi kembali menegaskan, berbagai temuan BPK tersebut sudah ditindaklanjuti. Termasuk melakukan pengembalian kerugian negara. “Alhamdulillah sudah, sudah selesai,” katanya.

Sebelumnya, program Beasiswa NTB diminta untuk dihentikan oleh DPRD NTB. Pasalnya, program tersebut dinilai tidak jelas dan orientasinya bukan untuk kepentingan publik maupun daerah. Bahkan, DPRD secara resmi merekomendasikan program beasiswa untuk dihentikan.

Anggota Komisi V DPRD NTB, H Bukhori menyampaikan, hingga 2020 masyarakat yang telah dikirim ke luar negeri melalui program beasiswa mencapai 551 orang. Pada tahun 2019 sebanyak 313 orang, dan tahun 2020 sebanyak 238 orang. “Hasil dari program beasiswa tidak efektif memecahkan masalah publik, karena kurang berbasis kebutuhan publik,” ujar Bukhori.

Rekomendasi agar program tersebut dihentikan, bukan hanya karena tidak efektif. Tapi juga bukan prioritas Pemerintah Provinsi NTB. Apalagi saat ini pandemi Covid-19 memengaruhi pendapatan daerah. Sementara program beasiswa membutuhkan dana yang besar. Saat ini daerah dituntut membuat program berbasis skala prioritas dan berbasis kebutuhan publik atau nilai publik (public value). “Sudah selayaknya kita perlu berfokus pada urusan yang diberikan oleh undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, yang menyebutkan urusan pemerintah provinsi adalah pengelolaan pendidikan SMA/SMK/SLB. Sedangkan urusan pendidikan tinggi merupakan urusan pemerintah pusat,” ucapnya. (zwr)

Komentar Anda