MATARAM – Pengambilalihan perkara yang melibatkan oknum polisi inisial IMS dalam kasus korupsi pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Lombok Tengah, Cabang Batukliang oleh Polda NTB dinilai tidak objektif oleh pakar hukum dari Universitas Mataram (Unram) Prof. Amiruddin, karena awalnya kasus ini ditangani penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Lombok Tengah. “Kan jeruk makan jeruk akhirnya,” kata Prof. Amiruddin saat ditemui di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Senin (5/6).
Pengambilalihan itu, menurutnya tidak boleh dilakukan oleh Polda NTB. Karena pada dasarnya, yang pertama melakukan penyelidikan ialah Kejari Lombok Tengah. Sehingga, polisi tidak boleh mengambilalih penanganannya. “Yang terlibat polisi, yang periksa polisi, tidak bisa objektif itu. Ini kita membicarakan tentang objektivitas ya,” ujarnya.
Menurutnya, penanganan perkara yang melibatkan oknum polisi tersebut sudah bagus ditangani kejaksaan. “Kalau jaksa yang melakukan paling tidak objektif, tidak melihat siapa-siapa,” sebutnya.
Dalam kasus ini, Kejari Loteng sudah menetapkan dua orang tersangka. Yakni Jauhari, mantan Account Officer yang bertanggung jawab atas pengelolaan pembukuan keuangan dan Kepala Pemasaran Agus Fanahesa.
Proses hukum keduanya pun kini tengah berjalan di tingkat kasasi Mahkamah Agung. Dari putusan pengadilan tingkat pertama, Jauhari dan Agus Fanahesa divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.
Hakim dalam putusan menetapkan untuk tidak membebankan uang pengganti kerugian negara kepada keduanya, melainkan hakim membebankan kerugian negara kepada IMS. Dengan adanya penetapan itu, hakim pun menetapkan agar seluruh barang bukti dikembalikan kepada penuntut umum untuk dipergunakan dalam perkara lain atas nama IMS yang sudah dalam tahap penanganan penyidikan jaksa.
Dari putusan pengadilan tingkat pertama itu, Kejari mengajukan upaya hukum banding. Alasannya karena kedua terdakwa turut menikmati kerugian negara masing-masing Rp 1 juta sesuai dengan tuntutan.
Namun hasil dari putusan tingkat banding Pengadilan Tinggi (PT) Mataram, hakim menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama dengan tidak membebankan uang pengganti kerugian negara kepada keduanya.
Berkaitan dengan uang pengganti, hakim tingkat banding sepakat dengan pengadilan tingkat pertama. Bahwa yang akan mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 2,38 miliar tersebut ialah IMS. Karena IMS yang menikmati keseluruhan uang kerugian negara yang muncul.
Dengan putusan itu, jaksa kembali mengajukan upaya hukum kasasi pada Mahkamah Agung (MA). Alasannya sama saat mengajukan upaya hukum banding.
Dalam dakwaan Agus Fanahesa dan Jauhari, jaksa menguraikan bahwa perkara kredit fiktif pada BPR Cabang Batukliang ini muncul dari adanya tunggakan pembayaran. Tunggakan tersebut terungkap akibat adanya pencatutan nama 199 Anggota Ditsamapta Polda NTB dengan kerugian Rp 2,38 miliar.
IMS mencatut ratusan nama anggota polisi lainnya untuk melakukan peminjaman kredit saat menjabat sebagai Bendahara Direktorat Sabhara (Dit Sabhara) Polda NTB. Oleh karena itu, IMS yang kini diketahui bertugas di Polres Bima Kota berperan sebagai pihak yang menikmati dari pinjaman Rp 2,38 miliar. Nilai pinjaman tercatat dalam pengajuan kredit periode 2014-2017.
Berkaca dari putusan itu, Amiruddin yang merupakan guru besar hukum pidana di Unram menyebutkan bahwa harus sesuai dengan amar putusan. “Polisi tidak boleh. Kalaupun dikembalikan, kembalikan ke penyidik jaksa bukan ke penyidik polri,” ucapnya.
Kalaupun pengambilalihan yang dilakukan Polda dengan alasan penanganan lebih efisien, mengingat yang terlibat oknum polisi dan yang menjadi korban adalah polisi, hal itu tidak boleh dilakukan. “Kalau saya mengatakan tidak serta merta seperti itu (pengambilalihan). Alasan efisiensi itu bukan alasan yuridis, harusnya alasannya itu tetap pada alasan yuridis, alasan undang-undang,” tegasnya.
Pengambilalihan perkara dari kejaksaan ke polri pun tidak ada dalam aturan hukum. Terkecuali yang mengambil alih ialah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perkara yang diambil alih itu pun tindak pidana korupsi yang nilai kerugian negaranya tinggi, dan menjadi perhatian masyarakat. “Itu bisa KPK ambil alih, ada ketentuannya di KPK. Tetapi kalau di kepolisian saya tidak tahu, coba cari di peraturan Kapolri (Perkap)-nya. Kalau tidak ada di Perkap berarti dia bertindak sewenang-wenang namanya,” tandasnya. (cr-sid)