POTENSI TERAMATI HILAL 1 RAMADHAN 1443 H DI PULAU SERIBU MASJID

Penulis Rizqa Adhary Tegar Putri, S.Tr (Observer di BMKG Stasiun Geofisika Mataram)

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia (sumber: pewresearch.org) maka untuk menandai waktu ibadah menjadi perhatian penting. Dalam Islam, penanggalan yang menentukan waktu ibadah dan hari raya menggunakan kalender Hijriah. Kalender Hijriah dimulai pada tahun ketika terjadi peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah. Meski demikian, sistem yang mendasari perhitungan dalam Kalender Hijriah telah ada sejak zaman sebelum Islam.

Jika dicermati, bahwasanya tanggal-tanggal pada Kalender Hijriah akan tidak sama dengan bulan sebelumnya. Sebagai contoh, Hari Raya Idul Fitri tidak pernah jatuh pada tanggal yang sama dari tahun ke tahun. Atau, contoh lain adalah jumlah hari puasa tahun ini bisa lebih cepat beberapa hari daripada jumlah hari puasa tahun lalu.

Kalender Hijriah dibuat berdasarkan peredaran Bulan (siklus sinodis Bulan) atau disebut dengan Kalender Qomariyah. Kalender Hijriah memiliki waktu 12 Bulan dalam satu tahun, kurang lebih 354 hari dengan penamaan bulan dan hari yang berbeda dengan Kalender Masehi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penanggalan Kalender Hijriah lebih pendek jika dibandingkan dengan Kalender Masehi, dimana Kalender Matahari ditentukan dari peredaran matahari.

Penyebab dari selisih waktu tersebut dikarenakan oleh pergantian bulan baru pada Kalender Hijriah berdasarkan pada kenampakan hilal. Dimana Hilal merupakan bulan sabit pertama yang diamati di permukaan bumi setelah konjungsi dan matahari terbenam. Waktu Konjungsi/Ijtima’ adalah peristiwa ketika bujur ekliptika bulan sama dengan bujur ekliptikan Matahari dengan pengamat diandaikan berada di pusat bumi.

Dalam penentuan awal bulan Hijriah terdapat dua metode yang digunakan, yaitu Hisab Hilal dan Rukyat Hilal. Hisab Hilal adalah metode penentuan awal Bulan Hijriah berdasarkan perhitungan posisi hilal saat matahari terbenam di suatu lokasi dengan menggunakan formula/perhitungan khusus. Adapun Rukyat Hilal merupakan metode pengamatan hilal baik tanpa alat bantu (hanya melihat dengan mata) maupun dengan alat bantu, seperti teleskop.

Fase-fase Bulan

Bulan sebagai benda langit yang mengorbit bumi, dimana sumber cahaya bulan dihasilkan dari pantulan sinar matahari maka bentuk bulan yang terlihat akan berubah-ubah dari bumi. Perubahan bentuk Bulan yang tampak dari Bumi ini disebut dengan fase-fase bulan. Dari sejumlah fase bulan, terdapat empat fase utama, yaitu fase bulan baru, fase setengah awal (perempat pertama), fase purnama (full moon), dan fase setengah purnama akhir (perempat akhir).

Bentuk orbit bulan saat bulan mengelilingi bumi adalah ellips. Akibatnya pada suatu saat bulan akan berada pada posisi terdekat dari bumi, yang disebut sebagai perigee, dan pada saat lain akan berada pada posisi terjauh dari bumi, yang disebut sebagai apogee. Periode revolusi bulan pada bidang orbitnya dihitung dari posisi fase bulan baru ke fase setengah purnama awal ke fase purnama ke fase setengah purnama akhir dan kembali ke fase Bulan baru disebut sebagai periode sinodis, yang secara rata-rata ditempuh dalam waktu 29,53059 hari (29 hari 12 jam 44 menit 03 detik).

Baca Juga :  Opini WTP KLU Diraih dengan Kerja Profesional

Parameter Pengamatan Hilal

Rukyatul Hilal dilaksanakan pada saat Matahari terbenam tepat tanggal 29 kalender Hijriah pertama kali setelah terjadi Ijttima’ atau dalam istilah astronomi adalah konjungsi. Kegiatan rukyat dapat dilakukan dengan menggunakan alat teleskop/teropong ataupun dengan mata telanjang. Ijtima’ merupakan suatu kondisi ketika Bulan dalam peredarannya mengelilingi bumi berada di antar bumi dan matahari, dan posisinya paling dekat ke matahari. Ijtima’ juga merupakan penanda akhir bulan dalam kalender Hijriah yang didasarkan pada siklus sinodi Bulan dalam mengelilingi bumi.

Kondisi ini terjadi satu kali setiap Bulan Qomariah, sehingga jelas bahwa Ijtima’ berlaku untuk setiap tempat di permukaan bumi, permukaan bulan dan matahari. Waktu Ijtima’ untuk suatu Bulan Qomariah sama di seluruh dunia. Bila pada waktu Ijtima’ Matahari terbenam, maka di tempat tersebut juga bulan tepat sedang terbenam. Sehingga dapat diartikan, pada saat terbenam bulan (Hilal) berada pada ketinggian nol derajat, maka di tempat tersebut ketinggian hilal nol derajat.

Acuan pengamatan hilal telah dirumuskan dalam suatu keputusan yang telah disepakati oleh MABIMS (Menteri-Menteri Agama Negara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapore). Keputusan tersebut disahkan pada tanggal 08 Desember 2021 dengan hasil sebagai berikut:

  1. Ketinggian Hilal minimal 3 derajat, dinyatakan sebagai ketinggian pusat piringan bulan dan horizon teramati untuk pengamat di permukaan;
  2. Elongasi Hilal sebesar 6.4 derajat, yakni jarak sudut antara pusat piringan Bulan dan pusat piringan Matahari untuk pengamat di permukaan Bumi;

Hasil dari keputusan tersebut telah menjadi dasar dalam penanggalan kalender Hijriah dengan metode rukyat. Selain tiga parameter diatas, dalam mengamati kenampakan bulan (Hilal) terdapat beberapa factor astronomi yang menjadi pertimbangan, yaitu Konjungsi, fraksi illuminasi Bulan, jarak waktu terbenam antara matahari dan bulan (Lag), dan titik koordinat pengamatan. Jika pengamat menyaksikan kenampakan Hilal, maka pengamat tersebut akan disumpah oleh hakim dari pengadilan agama setempat.

Pengamatan Hilal 1 Ramadhan 1443 H di Pulau Lombok

Berdasarkan UU No. 31 Tahun 2019 BMKG menjadi salah satu instansi pemerintah yang memilik tupoksi dalam pengamatan geofisika, yaitu adalah pengamatan tanda waktu dan penentuan posisi bulan dan matahari. BMKG menjadi institusi pemerintah yang memberikan pertimbangan secara ilmiah kepada stakeholder dalam penetuan awal Bulan Qomariyah. BMKG hadir untuk memberikan Informasi preliminary yang diperoleh dari perhitungan astronomis atau disebut sebagai metode hisab. Data yang dihasilkan dari metode hisab tersebut digunakan sebagai acuan dalam Rukyat Hilal, serta melaksanakan Rukyat Hilal di 28 lokasi di Indonesia, salah satunya adalah di Kota Mataram.

Baca Juga :  Kita Semua Ingin Palestina Merdeka, tapi Justru Melakukan Hal Bisa yang Menghambatnya

Sejak mulai beroperasi, Stasiun Geofisika Mataram telah menjalin kerja sama dengan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi NTB dan kalangan akademisi dalam melakukan pengamatan hilal. Penentuan lokasi pengamatan hilal perlu mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya sudut azimuth bulan dan matahari pada saat Konjungsi. Hal ini penting diperhatikan agar pandangan ufuk barat tidak terhalang oleh bangunan ataupun kondisi alam, seperti pepohonan, bukit, dan gunung. Keberadaan Gunung Agung yang berada di sebelah barat Pulau Lombok menjadi kendala dalam pengamatan hilal.

Menurut Taruna, dkk (2017) dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh estimasi altitude puncak Gunung Agung sebesar 2,07° pada azimuth 294,66° pada lokasi pengamatan Pantai Loang Baloq dengan nilai error 0,15°. Peluang teramatinya hilal di pulau Lombok perlu mempertimbangkan lokasi pengamatan. Jika informasi hisab yang dikeluarkan oleh BMKG untuk pengamatan di pulau Lombok diperoleh azimuth matahari di luar dari azimuth Gunung Agung 294,66° dan estimasi ketinggian hilal lebih dari 2,07° maka masih ada peluang teramatinya hilal. Namun, kondisi cuaca saat pengamatan turut mempengaruhi hasil dari teramatinya hilal.

BMKG telah merilis data Hisab Hilal untuk pelaksanaan Rukyatul Hilal 1 Ramadhan 1443 H dimana waktu konjugsi/ijtima’ terjadi pada hari Jumat, 1 April 2022 pukul 14:24:15 WITA. Kemudian, ketinggian Hilal diperoleh 1°56’6″ dan Elongasi 3°1’37”, sementara umur bulan/hilal ialah 3 jam 55 menit 56 detik. Dari data Hisab Hilal tersebut dapat disimpulkan bahwa Hilal 1 Ramadhan 1443 H pada hari Jumat, 1 April 2022 berpotensi tak teramati. Namun, hasil tersebut perlu divalidasi dengan melaksanakan Rukyat Hilal.

Data yang diperoleh dari kedua metode pengamatan Hilal, yaitu Metode Hisab dan Metode Rukyat menjadi dasar pertimbangan dalam Sidang Isbat oleh Kementerian Agama yang akan diselenggarakan pada hari Jumat, 1 April 2022. Keputusan dalam Sidang Isbat menjadi penentu umat Islam dalam melaksanakan Ibadah Puasa Ramadhan 1443 H. Semoga bagaimanapun keputusan dalam sidang Isbat menjadi pembuka yang baik dalam memulai Ibadah Puasa Ramadhan 1443 H. (*)

Komentar Anda