Politisasi ASN Sulit Dihindari

DISKUSI: FGD digelar Bawaslu NTB dalam menyonsong pilkada serentak 2018 Yan/Radar Lombok DISKUSI: FGD digelar Bawaslu NTB dalam menyonsong pilkada serentak 2018 (Yan/Radar Lombok)

MATARAM—Aparatur Sipil Negara (ASN) dan calon kepala daerah satu sama lain saling membutuhkan. ASN memerlukan investasi politik yang dihadapi calon Kada untuk menunjang percepatan karir. Sementara calon Kada memerlukan ASN untuk memobilisasi suara dukungan.

Demikian poin disampaikan dalam  Focus Group Discussion (FGD) digelar Bawaslu NTB, Kamis kemarin (23/3), dengan tema, Membangun Netralitas ASN dalam Pemilu dan Pilkada. “Dari hasil evaluasi kita, pelanggaran dilakukan ASN dengan keterlibatan dalam politik praktis di Pilkada tidak mengalami penurunan,” kata Komisioner Bawaslu NTB Bidang Pengawasan dan Pencegahan, Bambang Kariono.

Ia tak mengetahui pasti apakah tidak berkurang pelanggaran dilakoni ASN dengan terlibat dalam praktis di Pilkada, akibat fungsi pencegahan tidak berjalan efektif. Pelanggaran dilakoni ASN pun terus terjadi dari pilkada ke pilkada. Bawaslu pun sudah optimal dalam melaksanakan fungsi pencegahan. Namun kenyatannya, praktek pelanggaran dilakoni ASN tidak kunjung berkurang bahkan relatif tren mengalami peningkatan.

[postingan number=3 tag=”politik”]

Menurutnya, Bawaslu tidak bisa bekerja sendiri dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pengawasan. Namun memerlukan support dan dukungan berbagai pihak untuk meminimalisir praktek pelanggaran politik yang dilakoni ASN atau birokasi. “Kita melihat ASN acap kali sangat sulit memposisikan diri, dengan tidak mendukung salah satu calon,” kata Bambang Kariono.

Baca Juga :  Perceraian ASN Kota Mataram Didominasi Akibat Perselingkuhan

Meskipun sudah ada Undang-Undang (UU) ASN mengatur larangan dan bagi ASN terlibat dalam kegiatan politik praktis. Namun prakteknya UU ASN tersebut belum memberikan efek jera bagi pelaku.

Bahkan, dalam berbagai dinamika kontestasi pilkada keterlibatan ASN dalam politik praktis memberikan warna tersendiri bagi dinamika politik yang ada. Kendati, dalam UU ASN diatur larangan bagi kepala daerah melakukan mutasi 6 bulan baik sebelum dan sesudah pilkada. Namun kenyataan, sangat sulit menghindari ASN atau birokrasi dari upaya politisasi. ASN atau perangkat birokasi menjadi sesuatu sangat menarik untuk ditarik dalam ranah politik. Dengan kelebihan dan perangkat dimilikinya ASN sangat efektif dalam memobilisasi dukungan bagi calon kada.

“Ini menjadi mata rantai tidak mungkin bisa dihapus. Namun hanya bisa diminimalisir,” ucap Ketua Bawaslu NTB, Muhammad Khuwailid.

Ia membeberkan ada beberapa tipe keterlibatan birokrasi atau ASN dalam politik praktis di pilkada. Yakni, memberikan dukungan, aktif berkampanye, dan paling ekstrem dengan menggunakan kewenangan dan otoritas dimilikinya untuk memobilisasi dukungan memenangkan calon kepala daerah.

“Hal ini sungguh menjadi kegelisahan kita bersama,” imbuhnya.

Komisioner KPU Ilyas Sarbini mengungkapkan, meskipun sudah ada nota kesepahaman atau MOU di tingkat pusat antara Bawaslu, KPU, Kemen PAN RB, dan KASN terkait pencegahan dan pengawasan keterlibatan ASN dalam politik praktis. Namun hal itu belum bisa terejawantahkan di daerah. Penyelenggaraan pilkada itu menjadi otoritas dan kewenangan di daerah. “MoU ini perlu ditindaklanjuti di daerah,” ungkapnya.

Baca Juga :  Gaji 13 dan 14 Tunggu SE Kemenkeu

Pengamat Politik NTB, Agus. M.Si menambahkan, ada 5 hal sangat efektif dalam memobilisasi dukungan di pilkada. Yaitu, ASN atau birokrasi, kebijkan publik, ormas, parpol dan pemodal.

“ASN ini sesungguhnya sangat seksi bagi calon kada di Pilkada,” tambah mantan komisioner KPU Provinsi NTB itu.

Bahkan, Agus pun menyebutkan, bahwa jabatan murni di birokrasi hanya sampai di esselon III. Jabatan esselon II lebih kental muatan politisnya.

Menurut Agus, paling berbahaya adalah keterlibatan ASN secara administratif dengan menggunakan kewenangan dan otoritas memobilisasi dukungan bagi calon kepala daerah. Misalnya, dengan memanfaatkan dana bansos. Terutama bagi kepentingan calon kada berlatar belakang petahana.

Lebih maju lagi dikatakan Direktur Lesa Demarkasi, Hassan Massat. Ia mengatakan, sering kali KPU dan Bawaslu tidak bernyali menghadapi hal tersebut. Lebih parah lagi, KPU dan Bawaslu tak berdaya menghadapi intervensi politik dari pemerintah daerah.

“Karena anggaran KPU dan Bawaslu dari pemda. Ketika KPU dan Bawaslu macam-macam, maka anggaran akan dipolitisasi oleh pemda. Akhirnya KPU dan Bawaslu tidak bisa berkutik,”  pungkasnya. (yan)

Komentar Anda