MATARAM – Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi NTB, Didi Sumardi, menanggapi polemik pengajuan hak interpelasi oleh sejumlah anggota DPRD NTB. Ia menilai perbedaan pandangan dalam internal dewan, serta respons beragam dari publik merupakan dinamika yang wajar dalam proses demokrasi.
“Yang terpenting adalah bagaimana memastikan fungsi pengawasan oleh DPRD tetap berjalan optimal,” ujar Didi Sumardi, kemarin.
Menurut politikus dari Golkar ini, DPRD memiliki banyak instrumen dalam menjalankan fungsi pengawasan, seperti melalui komisi, gabungan komisi, panitia khusus, hak interpelasi, hak angket, hingga hak menyatakan pendapat. Dengan beragamnya pola pengawasan tersebut, hak interpelasi bukanlah satu-satunya cara untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah daerah.
“Saya melihat bahwa baik yang pro maupun yang kontra terhadap hak interpelasi ini memiliki semangat yang sama, yaitu mendorong efektivitas pengawasan DPRD. Perbedaannya hanya pada pola atau mekanisme yang dianggap paling tepat,” jelasnya.
Didi Sumardi menjelaskan bahwa perdebatan mengenai hak interpelasi lebih banyak berkutat pada aspek teknis dan prosedural, belum menyentuh substansi. Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan serta tata tertib dewan, hak interpelasi hanya dapat diajukan terhadap kebijakan atau pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah yang bersifat penting, strategis, dan berdampak luas bagi masyarakat.
Namun, dalam kasus ini, objek yang menjadi dasar pengajuan interpelasi adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) yang merupakan kebijakan pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Regulasi terkait DAK sepenuhnya ditentukan oleh kementerian, sehingga menimbulkan perdebatan apakah hal ini termasuk dalam kategori kebijakan strategis yang berdampak luas bagi daerah. “Ini menjadi catatan penting dalam mendudukkan persoalan secara tepat, apakah interpelasi relevan atau ada mekanisme pengawasan lain yang lebih sesuai,” kata Didi.
Ia menilai bahwa pengawasan terhadap DAK lebih relevan dilakukan melalui mekanisme komisi yang bertugas memastikan daerah menjalankan kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika persoalan ini melibatkan lebih dari satu komisi, opsi yang lebih tepat adalah membentuk panitia khusus (pansus) untuk menindaklanjuti pengawasan terhadap DAK.
“Bila pengawasan terhadap DAK diserahkan kepada komisi atau dibentuk pansus, hal itu memiliki dasar yang kuat. Jika dijalankan dengan baik, mekanisme ini akan mampu menangani masalah DAK sekaligus menjawab harapan dewan dan publik,” tambahnya.
Didi juga menegaskan bahwa pimpinan DPRD NTB memiliki perhatian penuh terhadap upaya pengawasan ini. Mereka ingin memastikan bahwa fungsi dan tugas pokok DPRD berjalan di atas koridor hukum dan prosedur yang benar.
“Saya melihat bahwa konsentrasi pimpinan dewan adalah bagaimana memastikan tugas dan fungsi DPRD berjalan dengan baik sesuai aturan yang berlaku,” ujarnya.
Terkait upaya pengawasan terhadap DAK, Didi menyebut bahwa Komisi V DPRD NTB telah menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB beberapa waktu lalu, bersamaan dengan pembahasan dokumen Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) 2024.
Namun, karena persoalan DAK tidak termasuk dalam materi LKPJ, maka disepakati bahwa akan ada alokasi waktu khusus untuk mendalami isu ini secara komprehensif.
“Langkah ini menunjukkan bahwa pengawasan tetap berjalan, tanpa harus menggunakan hak interpelasi sebagai satu-satunya mekanisme. Yang terpenting adalah bagaimana pengawasan dilakukan secara efektif dan sesuai dengan regulasi yang ada,” tutupnya. (rat)