MATARAM — Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dit Reskrimum) Polda NTB telah menetapkan dua orang tersangka, dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tujuan negara Libya yang dipulangkan beberapa waktu lalu.
“Iya, sudah menetapkan dua orang tersangka,” kata Kabid Humas Polda NTB, Kombes Pol Arman Asmara Syarifuddin, Jumat kemarin (21/7).
Untuk identitas tersangka, belum berkenan dibocorkan. Namun tersangka kini sudah ditahan di Mapolda NTB. “Tersangka sudah ditahan. Tersangkanya asal Sumbawa. Besok lengkapnya pas konferensi pers ya,” ujar Arman.
Diketahui, dalam kasus dugaan TPPO ini korbannya dua orang perempuan inisial SM asal Lotim dan JL asal Sumbawa. Mereka resmi melapor ke Polda NTB Senin (3/7) lalu, bersama pendamping hukumnya.
Mizanul Jihad selaku perwakilan pendamping hukum korban, saat melapor ke Polda NTB mengatakan, dasarnya melapor karena diduga ada tindak pidana dalam proses pengiriman dari kedua Pegawai Migran Indonesia (PMI) tersebut.
Mereka direkrut oleh perorangan pada tahun 2022 dari Sumbawa, dan diberangkat ke Jakarta. Tiba di Ibu Kota, di sana mereka dibagikan paspornya. Mizanul Jihad tidak mengetahui Kantor Imigrasi mana yang mengeluarkan paspor korban.
“Saya belum lihat paspornya. Tapi mereka diberikan paspornya ketika berada di Jakarta, di penampungan. Lalu mereka diberangkatkan ke Turki, setelah itu ke Libya,” terangnya waktu itu.
Dikatakan, awalnya kedua korban dijanjikan bekerja ke Arab Saudi, akan tetapi batal. Selanjutnya mereka dijanjikan ke negara lain, yaitu Turki sebagai asisten rumah tangga. “Awalnya menggunakan visa berwisata, namun sampai di sana apa yang dijanjikan tidak sesuai,” ucapnya.
Tiba di Turki, mereka malah dikirim ke Libya oleh salah satu agen yang ada di Turki. Selama bekerja di Libya sekitar 7 bulan di majikan yang sama, mereka diperlakukan kasar oleh majikannya. “Selama bekerja di Libya, mereka diberikan gaji. Tetapi yang menjadi permasalahan ialah perlakuan dari majikannya yang sering memperlakukannya secara kasar,” sebutnya.
Perlakuan secara kasar yang diterima korban, tidak dijelaskan secara rinci. Karena ia sendiri belum mengetahui pasti kekerasan fisik seperti apa yang diterima para korban. “Seperti dipukul lah, kita tidak tahu secara pastinya. Ketika ada sedikit permasalahan, gampang mereka dipukul,” bebernya.
Salah satu dari korban yang inisial J, diakui Mizahul Jihad tidak bisa membaca dan menulis. Sehingga korban hanya menerima beres. “Jadi, dia itu menerima beres. Setelah selesai terus mereka diberangkatkan,” katanya.
Dalam perekrutannya, mereka tidak mengeluarkan uang. Melainkan mereka yang diberikan uang oleh sponsor tersebut. Keduanya diberikan uang masing-masing Rp 4 juta. “Rp 1 juta diberikan di sini, dan Rp 3 juta di Jakarta. Itu uang pemberangkatan dari sponsornya,” pungkasnya. (sid)