MATARAM – Tahun ini program pokok-pokok pikiran (Pokir) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTB, banyak yang numpuk di Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) NTB. Bahkan alokasi anggaran untuk merealisasikan aspirasi anggota legislatif tersebut, mencapai Rp 37,5 miliar.
Anggaran tersebut dititip untuk penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) di Distanbun NTB. Namun yang jadi persoalan adalah tidak semua anggaran yang banyak itu diatur dinas. Pada kegiatan tertentu, Distanbun sebatas merealisasikan program sebagai OPD teknis yang menangani.
“Jadi sekitar 97 persen dana DBHCHT adalah usulan (Pokir DPRD, red). Jadi banyak urusan kita (kegiatan Distanbun, red) belum tergarap terkait penggunaan dana DBHCHT. Tapi masih dominan usulan oleh masyarakat lewat DPRD yang disebut Pokir,” ungkap Kepala Distanbun NTB, Muhammad Taufik Hidayat, kepada Radar Lombok, kemarin.
Distanbun NTB sebenarnya menerima alokasi anggaran DBHCHT sebesar Rp 40 milliar. Dari jumlah itu, hanya Rp 3 milliar yang benar-benar untuk program kegiatan Dinas Pertanian. Sementara sisanya DBHCHT itu dimanfaatkan untuk Pokir DPRD NTB. “Faktanya seperti itu, banyak proposal masyarakat yang masuk ke kami, tapi sampai saat ini belum bisa kita realisasikan semua. Karena dari alokasi itu kita hanya dapat sisa dari Pokir,” jelasnya.
Anggaran Pokir Dewan untuk DBHCHT dipecah menjadi sejumlah kegiatan. Diantaranya untuk pembangunan jalan usaha tani dan pembangunan jalan irigasi pertanian. Sedangkan intervensi dari Distanbun untuk penerima program DBHCHT ini sangat minim. Sebab, penetapan BNBA (By Name By Adress) atau CPCL (Calon Petani Calon Lokasi) yang memuat tentang nama-nama penerima bantuan adalah anggota DPRD tersebut.
Berdasarkan hasil verifikasi data yang dilakukan Distanbun NTB, hal itu justru membuat sasaran penerima bantuan program DBHCHT sering berada diluar desa penghasil tembakau. Padahal DBHCHT itu digunakan untuk mendanai program atau kegiatan desa penghasil. Karena desa penghasil inilah yang berkontribusi untuk bea cukai tembakau. “Kalau kita sebaiknya dana DBHCHT itu kita kembalikan lagi ke berbasis desa penghasil,” tegasnya.
Di NTB sendiri ada sekitar 414 desa penghasil tembakau. Tapi dari usulan penerima DBHCHT yang masuk ke Pokir Dewan sebagian besarnya berada diluar desa penghasil. “Ada juga satu desa yang dapat dua tiga titik (bantuan DBHCHT). Ada juga desa yang tidak dapat,” sebutnya.
“Bisa ada yang kena atau bisa ada yang tidak kena. Ada diluar desa penghasil. Kalau sasarannya tepat, karena sama, usaha tani atau irigasi pedesaan. Tapi desa penerima tidak beririsan dengan desa penghasilnya,” sambungnya.
Maka dari itu, Distanbun NTB melakukan verifikasi lebih dulu terhadap usulan penerima bantuan DBHCHT. Mulai dari verifikasi data kelompok, lokasi, hingga mengecek apakah petani yang bakal menerima bantuan ini sudah masuk Simultan atau tidak.
Karena pemerintah ingin agar penyaluran bantuan dari anggaran DBHCHT ini menyasar ke seluruh desa penghasil. Kalau sudah terpenuhi daerah penghasil, baru ke desa penyangga. “Karena belum terverifikasi semua. Kalau ada hasil verifikasi, baru ketahuan bahwa ini bukan daerah penghasil. Tapi usulannya kami sudah terima. Di label (nama penerima bantuan, red) dari sana (DPRD) kita tinggal input di OPD (Dinas Pertanian, red),” tegasnya.
Sebagai OPD, Distanbun sambung Taufik, kapasitasnya hanya menerima alokasi DBHCHT tersebut. Adapun alokasi anggaran itu lebih banyak untuk merealisasikan aspirasi anggota dewan. “Bukan pasrah, karena sudah seperti itu. Kalau ada sisa dari itu (Pokir, red), baru bisa membiayai yang menjadi urusan OPD. Misalnya yang dikirim Rp 40 milliar, di label Rp 37 milliar, ya sisanya baru untuk membiayai proposal-proposal yang masuk di OPD kita,” pungkasnya. (rat)