Mempertahankan hafalan 30 Juz Alquran, dibandingkan menghafal itu lebih sulit. Apalagi disibukkan dengan rutinitas pekerjaan sehari-hari. Namun bagi Zuhaidi Firdaus, Staf PNS Bagian Hukum dan Humas Sekretariat DPRD Lombok Barat (Lobar), dia berhasil mempertahankan hafalan 30 Juz yang dulu dituntaskannya saat Kelas II Madrasah Aliyah (MA) di Pondok Pesantren (Ponpes) Yusuf Abussatar Kediri Lobar.
ZULKIFLI – GIRI MENANG
BAGI orang yang baru kenal dengan Zuhaidi, mungkin tidak akan menyangka bahwa pria 32 tahun ini merupakan penghafal 30 Juz Alquran. Apalagi pembawaannya santai dan cukup humoris.
Namun siapa sangka, dia merupakan alumni kedua Ponpes Yusuf Abussatar Kediri sekitar tahun 2003. Bahkan sejak lulus hingga kini, dirinya masih tetap mengabdi di ponpes yang berdiri sejak 1995 tersebut sebagai Staf Pengajar Bidang Tahfizul Qur’an atau penyimak, penerima hafalan santri/santriwati MA.
“Jadi pulang dinas sekitar setengah lima, langsung saya ke pondok untuk mengajar, menerima setoran hafalan. Saya sengaja mengambil jam kedua, agar tidak mengganggu pekerjaan dinas,” ungkap pria asal Kediri ini, Selasa kemarin(30/5).
Seorang hafidz atau penghafal Alquran kata Zuhaidi, sangat banyak cobaan dan hambatan yang dilalui. Sebagai contoh dirinya yang membutuhkan waktu dari kelas VI MTS hingga kelas XI MA atau tiga sampai empat tahun untuk menghafal 30 Juz. Di tengah proses menghafal, cobaan bermacam-macam, mulai dari sakit, malas, bosan dan stres ketika hafalan tidak mencapai target dan sebagainya. Rasa malas, bosan atau stres sendiri kalau tidak dilawan, itu akan menjadi persoalan untuk meningkatkan hafalan.
Karena itu biasanya ketika sedang malas, bosan atau stres, maka sejenak istirahat. Ketika sudah tenang, baru kemudian melanjutkan. Sembari menguatkan tekad untuk menuntaskan hafalan.
Cobaan dan hambatan semacam itu lanjutnya, tidak jauh berbeda dengan yang dihadapi santri/santriwati saat ini. Maka ketika merasa seperti itu, mereka pun diminta beristirahat, mencari udara segar.
Kemudian karena saat ini ada lapangan olahraga, mereka juga diminta berolahraga dahulu. Tetapi dengan berbagai cara yang dilakukan, ada saja santri/santriwati yang semangatnya tidak kembali, maka terkadang di antara mereka ada yang keluar. Baik secara baik-baik atau meminta izin.
“Jadi bisa saya katakan bahwa mereka yang menjadi penghafal Alquran itu adalah orang-orang terpilih. Tidak peduli dari awal mereka masuk itu karena keinginan orang tua atau keinginan pribadi. Karena meskipun keinginan orang tua, di dalam prosesnya itu ternyata si anak ini suka, dan nyaman menghafal,” jelas pria yang sudah memiliki dua anak ini.
Di Ponpes Yusuf Abdussatar sendiri lanjutnya, santri/santriwati diharapkan bisa menghafal 30 Juz selama tiga sampai empat tahun. Sehari itu setidaknya diberikan target satu muka atau setengah lembar.
Namun ada juga yang satu lembar atau lebih, tergantung kemampuan. Bila mana saat menyetor hafalan tidak mencapai target, maka mereka diberikan hukuman. Hukuman saat ini tidak ada lagi yang berkaitan dengan sanksi fisik, karena khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Melainkan lebih kepada edukasi. “Kalau tidak bisa menghafal, itu kita minta dia membaca Alquran satu jam, atau berjam-jam dengan disimak,” jelasnya.
Adapun proses santri/santriwati yang melakukan hafalan sebelumnya, tentu tidak dilepas begitu saja. Terlebih dahulu disimak dengan menggunakan teks Alquran. Mereka dibimbing untuk membaca dengan baik dan benar sesuai huruf dan tajwid. Begitu dirasa benar, mereka kemudian dipersilakan menghafal. Waktu menghafal sendiri dilakukan usai salat malam atau usai salat subuh yang merupakan waktu afdol untuk menghafal. Seterusnya diserahkan ke mereka. Baru sorenya, atau sehabis maghrib menyetorkan hafalan.
Berbicara masalah mempertahankan hafalan lanjutnya, memang sulit. Dikarenakan manusia itu sifatnya lupa. Apalagi direcoki rutinitas pekerjaan setiap hari. Belum termasuk prilaku keseharian dan ujian dunia yang berpotensi merusak ingatan hafalan.
Prilaku keseharian yang bisa merusak ingatan hafalan itu di antaranya tertawa terbahak-bahak. Mulut yang terbuka lebar, memberikan celah bagi setan untuk masuk. Kemudian ujian dunia itu sendiri seperti zina mata dan perbuatan dosa lainnya. “Jadi hal-hal semacam itu harus dihindari,” jelasnya.
Kemudian untuk mempertahankan hafalan sendiri, tentunya harus rajin membaca Alquran. Semalas-malasnya, setidaknya dia sendiri, dua lembar harus dibaca usai solat lima waktu. Jika satu Juz itu sembilan lembar, maka dalam sehari itu sudah satu Juz.
“Jadi ada targetnya lah berapa yang harus dibaca untuk mempertahankan hafalan. Kemudian tadi, hindari hal-hal yang bisa merusak ingatan hafalan,” tandasnya. (*)