Semua PJTKI di NTB Melanggar UU

H Wildan (Azwar Zamhuri/Radar Lombok)

MATARAM – Adanya dorongan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memperbaiki pelayanan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) disambut baik oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB.  Berbagai langkah konkrit dilakukan sebagai bentuk keseriusan melakukan pembenahan pelayanan. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transimigrasi Provinsi NTB, H Wildan menyampaikan, persoalan TKI sangat banyak. Berbagai aspek harus dibenahi, mulai dari Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), TKI itu sendiri dan pelayanan yang diberikan pemerintah.

Salah satu masalah klasik yang sampai saat ini terjadi terkait dengan TKI illegal. Sumber TKI illegal karena sejak awal masuk ke Malaysia memang masuk tidak prosedural. Namun banyak pula yang masuk ke Malaysia melalui jalur resmi, namun setelah disana lebih memilih bekerja secara gelap.

Diungkapkan Wildan, salah satu penyebab masih maraknya TKI illegal yang sebelumnya masuk melalui jalur resmi, karena semua Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI)  di NTB melanggar Undang-Undang (UU). “Kita tetap lakukan pengawasan, tapi PJTKI juga harus berbenah dan taat aturan,” ujarnya saat ditemui Radar Lombok di ruang kerjanya, Jumat kemarin (18/11).

Disampaikan, dalam UU Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, seluruh PJTKI berkewajiban memiliki kantor perwakilan atau petugas di negara tujuan. “Misalnya yang ke Malaysia, PJTKI itu wajib ada juga perwakilannya di Malaysia. Tapi itu tidak pernah dilaksanakan,” ungkap Wildan.

Jumlah PJTKI di NTB sangat banyak mencapai 140 perusahaan. Namun yang berkantor pusat di NTB hanya ada 11 perusahaan, sementara sebagian besar hanya kantor cabang saja yang pusatnya ada di luar daerah.

Adanya kantor PJTKI di negara tujuan sesuai dengan amanah UU memang penting. PJTKI yang mengirim TKI harus tetap melakukan pengawasan. Selain itu, ketika ada persoalan yang menimpa TKI bisa segera dibantu. “Ini kan banyak TKI yang kesana resmi, tapi ternyata TKI dibuat kecewa karena tidak sesuai yang diharapkan sehingga mereka kabur. Atau ada juga yang masa kontraknya habis, tapi tidak diperpanjang dan lebih memilih illegal. Kalau ada kantor perwakilan PJTKI di Malaysia saya yakin hal itu bisa diminimalisir,” ucap Wildan.

Merujuk pada UU Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, sangat banyak aturan yang dilanggar selama ini. Misalnya saja UU mengamanahkan pra penempatan TKI harus diberikan pendidikan dan pelatihan kerja dan uji kompetensi. Hal itu selama ini banyak yang dilanggar.

Kemudian, pada pasal 35 dalam UU tersebut, disebutkan perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan. Syarat yang dimaksud seperti berusia sekurang-kurangnya 18 tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 tahun.

Kemudian ada juga syarat berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat. Pada faktanya, sangat banyak TKI yang hanya lulusan Sekolah Dasar (SD).

Dilanjutkan Wildan, kedepan Pemprov NTB terus berupaya memperbaiki tata kelola pelayanan dan memberikan perlindungan pada TKI. Salah satu buktinya, belum lama ini telah dikeluarkan Surat Edaran (SE) Gubernur NTB tentang optimalisasi pengawasan dan pengendalian intern pelaksanaan proses penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI di NTB.

Tujuan yang ingin dicapai SE ini untuk membangun komitmen, dalam rangka peningkatan kinerja institusi/lembaga pemerintah. “SE itu harus dibaca oleh semua pejabat sampai Kades dan Kadus, mereka harus tahu juga kewajibannya,” ujar Wildan.

Dalam hal mempermudah pelayanan, Pemprov juga akan melaksanakan program KPK dan BP2TKI tentang Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSP) plus. Program tersebut biasa disebut Poros Sentra Layanan Pelatihan dan Pemberdayaan TKI Terintegritas.

LTSP Plus bukan hanya menyiapkan semua proses yang harus dilakukan TKI, tetapi juga diberikan pelatihan dan pemberdayaan. “Sebelum berangkat dan setelah pulang juga tetap diperhatikan, makanya cocok kita sebut LTSP Plus untuk TKI,” tutup Wildan.

Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) Provinsi NTB, H Muhammadun tidak menampik jika UU mengamanahkan PJTKI memiliki perwakilan di negara tujuan TKI. Namun ia tidak setuju jika PJTKI dianggap melanggar UU.

Dijelaskan, sejak lama seluruh PJTKI sudah ada perwakilannya di Kualalumpur, bernama Perwakilan Luar Negeri (Perwalu). "Itu kerja sama dengan organisasi di Malaysia jika ada masalah-masalah TKI. Keliru kalau dianggap setiap PJTKI harus ada perwakilannya, semua PJTKI menjadi satu di bawah naungan Perwalu itu. Perwalu itu yang wakili semua PJTKI," terang Muhammadun.

Terpisah, Wakil Ketua komisi V DPRD NTB, HMNS Kasdiono yang membidangi persoalan TKI masih gerah dengan pelayanan saat ini. Misalnya saja terkait LTSP Provinsi NTB yang dibentuk pertama kali di Indonesia, berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 32 Tahun 2008.

Dalam Pergub tersebut sudah sangat jelas, paspor pun bisa dibuat di LTSP. Bahkan telah dilakukan penandatanganan MoU, namun sampai saat ini buktinya belum bisa terwujud. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab banyaknya TKI illegal asal NTB dengan modus sebagai pelancong. “Triliunan TKI NTB menyumbang ke negara melalui remiten, tapi perhatian kita ke TKI masih jauh dari harapan. PJTKI ini juga berkewajiban memberikan penyuluhan, tapi itu tidak diindahkan, maunya untung saja,” sesalnya. (zwr)

Komentar Anda