MATARAM — Kasus pembakaran camp penambangan emas ilegal di Dusun Lende Bare, Lenong Batu Montor, Desa Persiapan Belongas, Sekotong, Lombok Barat, kini menjadi atensi Penjabat (Pj) Gubernur NTB, Hassanudin. Dimana pada rapat Forkopimda terkait ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG) di NTB, Pj Gubernur NTB langsung mengumpulkan instansi terkait, termasuk semua kepala daerah di NTB.
Pada rapat itu, kasus penambangan ilegal oleh tenaga kerja asing (TKA) di kawasan Sekotong, juga turut menjadi pembahasan. Bahkan Pj Gubernur NTB mengimbau agar kasus itu segera ditindaklanjuti.
Adapun terkait data TKA yang melakukan aktivitas tambang ilegal, dia menekankan untuk segera ditelusuri. Termasuk informasi dari mana dan bagaimana mereka (TKA) masuk, kemudian apa kegiatan, serta bagaimana statusnya, apakah sesuai bidang terkait. “Sedang mendata, sampai sekarang belum ada progres. Kalau ada, dia (instansi terkait) akan melapor,” kata Hassanudin, kemarin.
Pemprov juga memberikan masukan kepada masing-masing instansi terkait, agar menindaklanjuti secara seius kasus pembakaran camp penambangan ini. Hal tersebut demi kemaslahatan hidup orang banyak, utamanya masyarakat di kawasan tambang tersebut.
Dikatakan Hassanudin, keberadaan usaha pertambangan harus memberikan dampak yang positif. Terhadap usaha pertambangan yang belum memiliki izin, agar segera mengurus izinnya. Demikian bagi usaha tambang yang belum sesuai ketentuan, agar segera diatasi.
“Dampak yang sudah terjadi, jangan sampai masyarakat mengambil (tindakan) dan menghakimi sendiri. Semua adalah untuk kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Dengan adanya TKA tersebut, apakah berarti pemerintah kecolongan? “Kalau ada yang mau nyolong, kita sentil,” tegas Pj Gubernur.
Disampaikan, pengawasan TKA perlu peran dari masing-masing pihak. Dimana pihak yang bertanggung jawab mulai dari Polisi, Kejati, Imigrasi. Karena semua ini sudah ada sistem dan mekanismenya.
“Kalau dia belum ini (ada izin, red), pasti akan ada tindakan hukum. Kami ingatkan Pak Kapolda untuk memproses. Tindakan tersebut, menjadi suatu kepastian hukum untuk memberikan dampak-dampak posistif kepada masyarakat,” ujar Pj Gubernur.
Masih ditemukannya TKA yang bekerja di NTB, lebih karena pengawasan yang longgar. Maka dari itu, Pj Gubernur mengingatkan kepada stakeholder terkait, agar bekerja sesuai dengan tanggung jawab dan perannya masing-masing dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasannya.
“Kita semua harus melakukan fungsi-fungsi pengawasan sesuai dengan bidangnya. Semua sudah memberikan progres, dan akan menindaklanjuti,” tegas Hassanudin.
Pemerintah perlu kepastian, apakah aktivitas pertambangan di Sekotong itu sudah mengajukan perizinan atau belum, dan kalau belum, sampai dimana kendalanya. “Kita (pemerintah) sebagai aparat harus memberikan kepastian tersebut,” ujarnya.
Pemerintah tidak boleh menghambat izin usaha pertambangan. Sebaliknya regulasi itu untuk memastikan usaha pertambangan berjalan sesuai dengan lingkungan dan ketersediaan tenaga kerja. Terpenting adalah dari aspek manfaat harus bisa dirasakan oleh masyarakat di kawasan tersebut. “Ini tidak boleh terulang, dan harus kita selesaikan dengan baik,” pinta Pj Gubernur.
Sementara Kepala Dinas Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTB, I Gede Putu Aryadi, membantah jika penambang ilegal di Sekotong adalah TKA. Sebab, statusnya belum jelas, bahkan keberadaan TKA dimaksud hingga kini juga belum ada.
“Sudah dilaporkan ke gubernur, di Lombok Barat itu tidak ada TKA, maupun perusahaan yang memperkerjakan tenaga asing. Hanya satu di Lombok Barat yang dilaporkan ke provinsi. Kalau yang lain didata kami tidak ada,” tegas Aryadi.
Aryadi juga mengaku tidak tahu-menahu perihal 15 TKA yang melakukan aktivitas tambang ilegal itu apakah berstatus investor, sebagaimana yang disampaikan pihak Imigrasi. “Tidak ada, tidak tahu kalau itu (investor). Kalau di Disnaker tidak ada,” sebutnya.
Aryadi menjelaskan, jalur masuk TKA hanya satu, yaitu diajukan oleh perusahaan yang memiliki izin melalui RPTKA (Rencana Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing). “Itu diajukan oleh perusahaan yang memang resmi beroperasi dan punya izin. Termasuk spesifikasi jabatan apa yang dibutuhkan,” jelasnya.
Namun sejauh ini sambung Aryadi, tidak ada perusahaan yang beroperasi menggunakan TKA di Sekotong, Lombok Barat. Bahkan Pemprov pun tidak tahu-menahu perihal identitas penambang ilegal (TKA) yang sedang ramai dibahas tersebut.
“Kita juga tidak tahu, dan tidak terpantau. Perusahaannya tidak ada, bagaimana kita pantau. Bukan ranah kita. Kalau yang terpantau dinas tenaga kerja di Lombok Barat itu hanya satu. Nama perusahaanya mandiri istilahnya, dan menjadi kewenangan provinsi. Karena retribusinya dibayar ke provinsi menjadi PAD,” tegasnya. (rat)