Pimpinan Dewan Tidak Setuju Aset Pemprov Dihibahkan

TGH Mahalli Fikri (AZWAR ZAMHURI/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Pimpinan DPRD Provinsi NTB tidak setuju jika aset Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB, berupa lahan 10 hektar di PTP Puyung Kecamatan Jonggat dihibahkan untuk pembangunan kantor bupati   Lombok Tengah.

Wakil Ketua DPRD NTB  TGH Mahalli Fikri mengatakan,  pada dasarnya anggota DPRD akan selalu mendukung kebijakan Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi. Terlebih lagi itu untuk kebaikan dan kemaslahatan ummat. “Kalau memang baik ya tidak apa-apa, tapi tidak dengan hibah begitu saja,” ujarnya Kamis kemarin (1/12).

Banyak alasan yang membuat TGH Mahalli tidak setuju jika aset pemprov diberikan secara gratis ke Pemkab Lombok Tengah. Salah satu alasan utamanya karena Pemkab Lombok Tengah sendiri memiliki banyak aset. Seharusnya jika ingin membangun kantor bupati yang baru, bangunlah di lahan mereka sendiri.

Selain itu, apabila pemprov menghibahkan lahannya, maka nilai aset provinsi akan berkurang. Hal ini tentu saja tidak diinginkan demi kemajuan provinsi juga. “Kita inginnya agar aset pemprov tidak berkurang begitu saja, kan sudah banyak aset Pemkab Loteng,” katanya.

Baca Juga :  Kinerja Bank NTB Tumbuh Positif

Oleh karena itu, TGH Mahalli Fikri menyarankan agar lahan seluas 10 hektar tersebut tidak dihibahkan. Namun dilakukan dalam bentuk tukar-guling (ruislagh). “Harus tukar-guling kalau memang mau bangun kantor bupati di lahan pemprov,” tegasnya.

TGH Mahalli yakin gubernur akan mengeluarkan keputusan yang adil dan tidak merugikan pihak manapun. “Setahu saya surat permohonan dari Pemkab Loteng memang sudah diterima Pak Gubernur, tapi keputusannya belum keluar,” ungkap bakal calon Bupati Lombok Barat ini.

Terpisah, pakar hukum NTB, Dr Lalu Wira Pria Suhartana menjelaskan, apabila Pemprov NTB ingin menghibahkan lahan tersebut ke Pemkab Lombok Tengah, maka haruslah mendapatkan persetujuan DPRD. Hal tersebut telah diatur dalam perundang-undangan tentang pengelolaan aset daerah. Mengingat adanya keharusan persetujuan DPRD, itu artinya hibah tidak bisa dilakukan hanya dengan keputusan gubernur saja. “Sebenarnya tidak eksplisit ada kata wajib atau harus. Tapi karena hibah dilakukan setelah mendapat persetujuan,maka maknanya itu keharusan,” terang Wira.

Baca Juga :  Nilai Aset Triliunan, Pendapatan Minim

Wira yang juga Ketua Pusat Study Hukum dan Analisis Kebijakan (PUSAKA) NTB, selama ini juga mengamati seringnya pemprov melakukan pemindahtanganan aset. Namun terkait dengan rencana hibah lahan ke Pemkab Loteng, Wira tergelitik dengan pernyataan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah BPKAD) NTB, H Supran yang menyebut soal hibah merupakan masalah politik. “Yang menarik pendapat Kepala BPKAD bahwa ini soal politik,” celetuknya. (zwr)

Komentar Anda