Pilkada NTB Diperkirakan Bakal Ketat

MATARAM—Pilkada 2018 di sejumlah daerah, termasuk NTB diprediksi bakal berlangsung ketat. Berlakunya UU 10/2016 yang mengharuskan pejabat petahana, legislative dan TNI/Polri serta PNS mundur permanen tidak menjadi penghalang.

Pengamat politik IAIN Mataram, Dr Ahyar Fadli memperkirakan, pertarungan perebutan menuju NTB 1 dan NTB 2 bakal diramaikan bakal calon berlatar belakang kepala daerah. Meski, UU pilkada mengharuskan bupati/ walikota maju dalam pilkada NTB mundur permanen dari jabatannya,  tak akan menyurutkan nyali sejumlah kandidat bupati/ walikota berebut kursi NTB 1.

Misalnya, bakal calon Gubernur disebut-sebut siap maju seperti Walikota Mataram Ahyar Abduh, Bupati Lombok Tengah Suhaili FT, Bupati Lombok Timur, Ali BD serta mantan Danrem NTB Lalu Irham Srigede. "Justru dengan ada keharusan mundur bagi incumbent akan membuat kontestasi pilkada NTB bakal makin ketat," urainya, kepada Radar Lombok, Jumat kemarin (22/7). 

Dengan UU 10/2016 tersebut membuat para calon gubernur berkompetisi dan berkontestasi bakal memulai titik star yang sama. Karena tidak akan ada calon masih memangku jabatan. Sehingga bisa mencegah dan meminimalisir ada potensi dan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan kampanye dan pemenangan di pilkada NTB.

Dia menilai, UU pilkada sebelumnya nomor 1 tahun 2015 sangat menguntungkan bagi calon berstatus incumbent atau yang sedang menjabat. Meskpun, calon incumbent diwajibkan cuti selama berlangsung masa kampanye, fasilitas tetap melekat calon incumbent.

Menurutnya, cuti selama ini bagi calon incumbent tak cukup efektif dalam mencegah potensi penyelewangan dan penyalahgunaan kekuasaan bagi kepentingan pemenangan yang bersangkutan. Calon incumbent pun masih leluasa mengendalikan birokrasi, memanfaatkan APBD, fasilitas dan aset daerah atau negara untuk kepentingan kampanye maupun pemenangan di pilkada.

Akibatnya, calon kepala daerah berstatus incumbent akan lebih diuntungkan dari pada calon kepala daerah berstatus non incumbent. "Dengan kondisi semua calon gubernur harus mundur permanen dari jabatannya. Maka semua calon memiliki kekuatan sama," ucap Rektor IAIH Bagu, Lombok Tengah itu.

Pendapat berbeda dikemukakan pengamat politik Universitas Mataram, Satriawan Sahak. Dia berpandangan, dengan keharusan mundur bagi pejabat publik maju di pilkada, kemungkinan kandidat calon gubernur diperkirakan dua atau tiga pasangan calon saja. Lantaran, pejabat publik terutama kepala daerah yang sebelumnya berniat dan berhasrat maju di pilkada NTB bakal mundur secara teratur.

"Selain itu biaya politik mahal yang membuat kemungkinan para bakal calon banyak mundur," terangnya.

Namun justru, para calon gubernur/calon wakil Gubernur akan bertarung dan berkontetasi secara fair. Tidak akan ada kandidat yang bisa menyalahgunakan kekuasaan dimiliki. Baik birokrasi, pengelolaan keuangan APBD misalnya Bansos dan lainnya. (yan)