Dampak perubahan iklim sudah mulai dirasakan petani. Seperti di Kabupaten Lombok Utara (KLU), Provinsi NTB. Lahan pertanian yang tidak ditanami sepanjang tahun membuat penghasilan tidak mencukupi. Hal ini mendorong para wanita tani berinisiatif membantu suami menjadi pekerja migran Indonesia (PMI).
ZULKIFLI-LOMBOK UTARA
Pagi menyapa di Dusun Bagek Kembar, Desa Kayangan, Kecamatan Kayangan, KLU. Sekitar pukul 07.00 WITA, Mahidi (40) yang baru bangun, bersiap mencarikan rumput untuk dua ekor sapi yang dititipkan orang kepadanya.
Sementara dua anaknya yang masih TK (4) dan kelas 4 SD (9) juga bersiap berangkat sekolah. Dua anaknya ini diurus neneknya. Yang rumahnya sepelemparan batu dari rumah Mahidi. Mahidi yang sehari-hari beternak dan bercocok tanam ini membutuhkan bantuan mengurus kedua anaknya. Istrinya, Rahati (35) sudah hampir 8 bulan ini merantau ke Hongkong. Sejak Januari 2024.
Rahati memutuskan meninggalkan suami dan dua anaknya itu untuk memperbaiki nasib keluarga. Sawah warisan 32 are yang digarap suaminya hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka berdua berkeinginan punya kehidupan lebih baik. Apalagi ketika anak-anak nanti beranjak remaja. Ingin dibelikan sepeda motor dan bersekolah lebih tinggi.
Keinginan keduanya saat ini adalah punya toko di depan rumahnya. Lahan kosong sekitar 1 are di pinggir jalan kabupaten itu, ingin mereka bangunkan toko untuk usaha selepas pulang dari Hongkong nanti.
“Alhamdulillah, sudah beberapa kali mengirimkan uang. Tiga bulan sekali. Terakhir Rp15 juta. Itu sebagian untuk memperbaiki rumah dan tambahan membeli lahan kebun,” terang Mahidi.
Rahati berangkat ke Hongkong tanpa biaya awal. Biaya pemberangkatan Rp20 juta dan biaya hidup di penampungan di Jakarta Rp 3,5 juta. Itu dicicil dari 40 persen gaji selama 6 bulan. Gaji per bulan sekitar Rp10 juta. Sekarang biaya pemberangkatan sudah lunas. Jadi bisa lebih fokus mengirimkan uang.
Diakui Mahidi, sawah yang digarapnya memang cukup luas. Tetapi hasilnya tidak bisa maksimal sepanjang tahun. Apalagi tidak semua hasil panen dijual. Misalnya untuk masa tanam (MT) I (November-Februari) dengan air irigasi dan curah hujan cukup tinggi untuk ditanam padi.
Hasil 2 ton gabah padi tidak dijual. Melainkan disimpan untuk kebutuhan makan dan persiapan pesta adat sepanjang tahun. Ketika ada keluarga pesta adat. Biasanya keluarga yang lain membantu dengan menyumbang gabah atau beras. “Hanya sesekali dijual. Itu kalau butuh uang,” terangnya.
Sementara untuk MT II (Maret-Juni), mulai ditanami jagung, karena air irigasi dan curah hujan mulai berkurang. Selama 4 bulan. Hasil penjualan panen jagung sekitar Rp5 juta. Dengan modal Rp3 juta, untung bersih sekitar Rp2 juta. Keuntungan ini terkadang juga habis menutupi utang yang diangkat saat memenuhi kebutuhan sehari-hari selama menunggu masa panen. “Hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari,” terangnya.
Adapun MT III (Juli-Oktober), saat para petani lain tidak berani menanam, Mahidi memberanikan diri menanam jagung. Tetapi risikonya, dengan air irigasi dan curah hujan yang kian sedikit berdampak pada hasil panen jagung tidak maksimal. Kecil-kecil meskipun sudah waktunya panen. “Jadi sangat berdampak pak, perubahan iklim ini. Kita memaksa tanam. Tapi itu harus siap-siap kekurangan air,” jelasnya.
Mahidi (40) warga Dusun Bagek Kembar, Desa Kayangan, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi NTB menunjukkan tanaman jagungnya yang tak tumbuh baik dengan buahnya yang kecil, karena kekurangan air pada masa tanam III. (ZULKIFLI/RADAR LOMBOK)
Kondisi inilah yang mendorong Mahidi dan Rahyati memutuskan ingin mengubah nasib. Mahidi tetap berjuang di rumah sebagai petani dan peternak. Sementara Rahyati yang sehari-hari membantunya di sawah, kini bekerja sebagai buruh migran di luar negeri. “Alhamdlillah istri di sana kerja asisten rumah tangga (ART). Ketat di sana pak, tapi majikan baik,” beber pria yang mengaku tetap berkomunikasi via WA dengan istrinya itu.
Kepala Desa Kayangan Edi Kartono mengakui dampak perubahan iklim kian terasa. Kemarau berkepanjangan memicu pengurangan debit air irigasi. Bahkan di lahan kering, tidak berani bercocok tanam pada MT III. Takut gagal panen. Kalaupun bisa, biaya produksi tak sebanding hasil panen.
Dengan kondisi demikian, muncul masalah ekonomi dan sosial pada masyarakat petani. Terlebih kebutuhan keluarga terus meningkat. Sehingga tak jarang perempuan tani menerima tawaran bekerja ke luar negeri tanpa biaya awal atau sistem potong gaji setelah bekerja di luar negeri.
Di Desa Kayangan lanjut Edi, beberapa tahun terakhir ini pengajuan surat izin dari suami yang disahkan kepala desa, sebagai syarat berangkat meningkat drastis.
Tujuannya rata-rata Singapura, Hongkong dan Taiwan, karena gaji besar. Perempuan lebih banyak dicari menjadi ART. Berangkat tanpa biaya awal menggiurkan. Jadi banyak yang memilih pergi.
Alasan para wanita tani ini berangkat menjadi buruh migran, pastinya ekonomi. Melihat hasil pertanian yang tidak seberapa. Sementara sudah memiliki anak. Terlintas bayangan, apakah akan begini terus. Ada juga yang anak-anaknya sudah masuk SMA atau mau kuliah. Tentu butuh biaya besar, sehingga memilih jadi buruh migran. Belum lagi yang terlilit utang.
Diakui Edi, perubahan iklim memang sudah sangat terasa dampaknya di Desa Kayangan. Pada MT I, debit air normal bahkan curah hujan meningkat karena musim hujan. Kemudian MT II, debit air irigasi dan curah hujan mulai berkurang. Sementara pada MT III semakin berkurang sehingga jarang petani berani bercocok tanam.
Kalaupun ada yang bercocok tanam jagung maupun kacang pada MT III, siap-siap hasilnya tidak sesuai dengan biaya produksi. Apalagi jika harga panen jatuh.
Edi yang juga petani dengan 30 are lahan menceritakan, pada MT I 2023-2024, hasil panen jagungnya cukup bagus. Harga jagung pipil juga bagus. Berkisar Rp8 ribu per kilogram. Saat itu ia langsung menjual sekaligus di pohon senilai Rp8 juta. Dengan biaya produksi sekitar Rp3 juta, sudah bisa mengantongi untung bersih Rp5 juta.
Tetapi kondisi berbeda terjadi pada MT II 2024. Saat itu harga jatuh menjadi Rp4 ribu per kg. Tidak ada saudagar yang mau membeli di pohon. Terpaksa diproses sendiri. Mulai dari pemetikan, pengangkutan, pemipilan dan penjemuran.
Untuk pemetikan, biaya buruhnya Rp25 ribu per karung ukuran 100 kg. Kemudian biaya angkut per karung Rp20 ribu. Sementara pemipilan Rp10 ribu per karung dan penjemuran sekitar Rp500 per kwintal. Total tambahan biaya jadi Rp1,5 juta. Setelah jagung kering dengan kadar air tertentu barulah dijual ke saudagar. Dengan harga Rp4 ribu per kg, saat itu 1,25 ton jagung pipil berhasi dijual Rp5 juta. Dengan biaya produksi Rp3 juta, ditambah biaya tambahan Rp 1,5 juta. Hanya bisa untung Rp500 ribu.
Untuk itulah saat MT III, dengan kondisi debit air irigasi berkurang drastis termasuk curah hujan, maka hampir tidak ada yang berani bercocok tanam. Kalaupun ada yang berani dan menggunakan sumur bor yang disediakan pemerintah, itu juga harus menambah biaya produksi pembelian solar. Setidaknya dalam satu kali tanam, butuh 4 kali pengairan dengan sumur bor. Per sekali pengairan butuh Rp250 ribu biaya solar. Empat kali jadi Rp1 juta. Jika harga jagung bagus, kemungkinan bisa tertutupi. Tetapi jika buruk, tentunya tidak untung sama sekali.
Adapun untuk pupuk tidak terlalu kesulitan. Petani mengakalinya. Saat MT III tidak bercocok tanam. Tetapi petani tetap menebus pupuk subsidi untuk persiapan MT I dan II. Begitu juga jika ada petani kebun yang tak menggunakan pupuknya, itu dibeli oleh petani sawah. Harga pupuk subsidi berkisar Rp250 ribu per kwintal. Sementara nonsubsidi bisa mencapai Rp1 juta.
Dengan kondisi semacam ini, tidak bisa dipungkiri menjadi penyebab banyak di antaranya mengadu nasib menjadi PMI, utamanya perempuan yang banyak dicari menjadi ART. Namun ketika menjadi PMI, permasalahan sosial muncul. Anak yang masih kecil tidak mendapatkan perawatan langsung dari ibu. Anak yang tinggal bersama ayahnya kebanyakan dirawat oleh kakek neneknya.
Kemudian belakangan, PMI ini justru ada yang minta cerai dari suaminya. Uang tak dikirimkan ke suami. Melainkan ke orang tua si perempuan. Kemungkinan sudah merasa hidup enak dan tak mau hidup susah lagi dengan suami.
Data register Pemerintah Desa Kayangan mencatat, pada 2022 total ada 13 perempuan mengajukan pengesahan izin suami di kantor desa untuk menjadi Calon PMI (CPMI). Sementara 2023 melonjak drastis mencapai 100 orang. Kemudian hingga Agustus 2024 mencapai 14 orang.
Jumlah CPMI di Desa Kayangan Kabupaten Lombok Utara
No | Tahun |
Jenis Kelamin |
Total | |
Laki-Laki | Perempuan | |||
1 | 2022 | 5 | 13 | 18 |
2 | 2023 | 42 | 100 | 142 |
3 | Agustus 2024 | 6 | 14 | 20 |
Sumber Data: Pemerintah Desa Kayangan
Rentan Menjadi Korban Kekerasan
Kepala Bidang Tenaga Kerja pada Dinas Penananam Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Tenaga Kerja (DPMPTSP Naker) KLU Muhrim mengaku setiap tahun memang ada peningkatan PMI ke luar negeri. Termasuk PMI perempuan.
Rata-rata mereka terobsesi dengan cerita orang lain yang sudah sukses di luar negeri. Kemudian ada juga karena perceraian, sehingga membuang diri ke luar negeri.
Namun apapun alasannya kata Muhrim, silakan saja. Asalkan berangkat dengan legal dan sesuai prosedur serta memiliki job order yang jelas di sana. Untuk itu, perekrutan di tingkat bawah harus diperketat mulai dari keluarga.
Keluarga yang ditinggalkan harus mendapat salinan perjanjian kerja sama (PKS) antara calon PMI dengan perusahaan yang memberangkatkan. PKS ini berisi tujuan negara, kerja apa, penghasilan berapa dan lama kontraknya. Sehingga ketika terjadi permasalahan yang menimpa PMI di luar negeri, keluarga bisa menuntut.
Pihak pemerintah desa juga sebelum menerbitkan atau mengesahkan izin dari suami untuk menjadi PMI, harus mengetahui betul apakah perusahaan perekrut itu resmi dan aktif atau tidak. Jangan sampai surat yang digunakan mengurus paspor itu keluar begitu saja tanpa ada penyaringan dari pemerintah desa.
Surat itu rentan disalahgunakan memenuhi persyaratan awal membuat paspor. Kemudian dengan berbagai cara berangkat secara ilegal dari daerah lain. Muhrim meyakini jumlah PMI riil yang berangkat di suatu desa jauh lebih banyak dibanding yang tercatat resmi. Datanya bisa dibandingkan dengan jumlah pengajuan menjadi CPMI di desa.
Jumlah PMI Berangkat Secara Resmi di Kabupaten Lombok Utara
No | Tahun | Jenis Kelamin | Total | |
Laki-Laki | Perempuan | |||
1 | 2022 | 677 | 11 | 688 |
2 | 2023 | 790 | 22 | 812 |
3 | Juni 2024 | 268 | 8 | 276 |
Sumber Data: Disnakertrans NTB
Dinas dalam hal ini juga menyaring betul perusahaan yang memberangkatkan. Harus jelas jumlah job order-nya. Misalnya yang dibutuhkan sebagai ART hanya 20. Tidak boleh merekrut lebih dari itu. Rentan terjadi pemasalahan. Ketika merekrut melebihi kuota, biasanya mereka akan ditampung lama di Jakarta, menunggu job order lain terbit. Sehingga tentu menghabiskan banyak biaya dari calon PMI itu sendiri.
Kemudian yang perlu diperhatikan juga, PMI yang sudah berada di luar negeri, jangan suka kabur ke tempat lain tanpa prosedur, karena berpotensi menjadi ilegal. Permasalahan yang muncul menjadi beragam. Misalnya PMI perempuan sakit atau meninggal. Yang berakibat pada sulitnya pemulangan. Di samping itu, mereka menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Kemudian saat perempuan menjadi PMI, tentunya berdampak pada kurangnya perhatian terhadap anak. Bahkan ada anak yang mendapatkan kekerasan seksual. Parahnya yang melakukan adalah orang dekat. Seperti kasus yang terungkap Juli 2024. Pelaku kekerasan seksual adalah ayahnya inisial S (47) asal Kecamatan Pemenang, KLU. Ia menggauli putri kandungnya inisial AM (16). “Korban ini tinggal bertiga di rumahnya bersama dengan pelaku dan juga adiknya. Sementara ibunya bekerja di Arab Saudi,” beber Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) KLU Ni Putu Rumini.
Intervensi Pemerintah Tingkatkan Kesejahteraan Petani
Kepala Dinas Ketahanan Pangan Pertanian dan Perikanan (DKP3) KLU Tresnahadi mengaku pihaknya tidak bisa mencegah jika perempuan tani memutuskan membantu suami menjadi PMI dengan segala risikonya.
Namun untuk meningkatkan taraf kesejahteraan petani di tengah perubahan iklim ini. Tresnahadi mengaku tidak henti-hentinya mengimbau agar petani melakukan pergantian pola tanam. Misal MT I padi, MT II jagung atau kacang, dan MT III disesuaikan dengan kondisi air irigasi dan curah hujan. Bisa tanaman hortikultura yang lebih sedikit membutuhkan air. Hal ini untuk menyesuaikan ketersediaan air dan memutus mata rantai hama, agar panen bisa maksimal.
Di samping itu, saat ini di beberapa tempat sudah ada beberapa teknologi yang diaplikasikan untuk membantu petani dalam kebutuhan air. Misalnya sumur bor. Meski diakui kurang efisien. Biaya solar mahal.
Tetapi ada juga irigasi pipa. Di tempat-tempat tertentu menggunakan sistem pipa untuk irigasi sawah. Cara ini efektif dan efisien untuk mengalirkan air dari sumbernya menuju sawah-sawah petani. Sejauh ini baru diterapkan di dua kelompok.
“Kita berupaya agar diterapkan di tempat-tempat lain juga. Makanya kita lobi lagi ke pemerintah pusat, karena dananya terbatas dari APBD,” pungkasnya.
Mencermati kondisi tersebut, solusi di sektor pertanian menghadapi dampak perubahan iklim menjadi salah satu kunci menekan terjadinya PMI yang memiliki dampak ikutan seperti persoalan sosial dan sebagainya. Karena itu, hendaknya dapat menjadi perhatian serius pemerintah selaku pengambil kebijakan, serta stakeholder lainnya. (*)
Tulisan ini adalah fellowship kolaborasi dengan team riset Monash University dan SIEJ Sulawesi Selatan