Pernah Mendapat Penghargaan Dari Presiden

PENGHARGAAN : Nursandi menerima penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas karya film dokumenternya tentang Gunung Rinjani.

Sudah banyak karya yang dihasilkan Muhamad Nursandi dalam dunia perfilman. Melalui karya-karyanya ini dia tetap memegang kokoh nilai-nilai kedaerahan.

 

 


AZWAR ZAMHURI – MATARAM


 

Film Perempuan Sasak terakhir  yang dibuat pada tahun 2012  salah satu karya Sandi.   Sebuah film yang mengangkat kehidupan suku Sasak terutama para perempuannya. Film yang dihasilkan tidak  lepas dari sosial, budaya dan pariwisata.  “Buat film itu butuh biaya mahal, sangat mahal. Beda kalau kita buat film dokumenter,” ujarnya ketika bertemu Radar Lombok di kantor Gubernur, Senin kemarin (21/11).

Kepiawaian Sandi  menghasilkan karya film sangat mempengaruhi kehidupannya. Semua harus diatur dengan baik, tentang apapun dan dalam kondisi apapun. Idealisme pun tetap dijunjung tinggi. “Saya memang ingin berkarya yang bisa membuat Sasak atau Lombok dan NTB ini lebih dikenal lagi,” ucap pria kelahiran Lombok Timur ini.

Berbicara karya, telah banyak yang dihasilkan pria yang menggunakan nama Sandi Amaq Rinjani dalam berkarya ini. Bahkan, film dokumenter tentang Gunung Rinjani mendapat penghargaan dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) waktu menjadi Presiden.

Film Perempuan Sasak Terakhir sebuah film  yang jauh dari genre utama film-film komersial Indonesia  saat itu yang cenderung menjual horor dan sensualitas. Sebaliknya, film ini berbau filosofis dan berupaya membangunkan kesadaran bangsa Indonesia untuk mengingat dan menelaah kembali tradisi dan budaya Nusantara, salah satunya suku Sasak.

Mengambil seting kehidupan perempuan di perkampungan adat suku Sasak, Sandi, ingin menceritakan bagaimana posisi perempuan saat ini.Perempuan sebagai ibu, sebagai pengajar, tulang punggung keluarga, hingga  fungsi sosialnya dalam keluarga dan masyarakat. ‘’Di sini kami memotret tentang isu-isu perempuan seperti kekerasan, akses kesehatan hingga benturan budaya lokal dalam arus globalisasi saat ini,’’ ujar Sandi.

Sandi berpandangan, salah satu fungsi film Indonesia yang kini mulai hilang adalah kesadaran untuk mengangkat akar budaya Indonesia itu sendiri.‘’Setidaknya kita mulai dari hal yang kita bisa. Kami ingin menceritakan kembali tentang sejarah dan budaya serta kronik persoalannya melalui cerita keseharian masyarakat Sasak di Lombok,’’ tambahnya.

Film ini  mengungkapkan perempuan yang kurang mendapatkan edukasi, tindak kekerasan terhadap TKW, kematian ibu melahirkan hingga posisi marjinal perempuan dalam tatanan sosial. Semua itu tergambar jelas yang dibalut dengan adat, tradisi dan budaya suku Sasak.Film tersebut berhasil mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan. “Saya hanya ingin karya saya bermanfaat, bisa memberikan pelajaran bagi masyarakat,” katanya.

Banyak hal yang ingin diraih Sandi, namun saat ini jalan setapak demi setapak sedang ia lewati. Dalam keyakinannya, semua proses akan menghasilkan sesuatu yang baik. Meski, film Perempuan Sasak Terakhir, belum bisa mengembalikan modal. “Tidak mudah buat film yang bisa kembali modal, hanya beberapa saja di Indonesia ini,” ucapnya.

Saat ini di NTB, tidak lagi seperti dulu. Bukan hanya perfilman yang kurang diapresiasi, musik-musik pun sedang turun daun. Berbeda dengan kondisi beberapa waktu lalu. “Tapi saya ingin tetap berkarya, memajukan NTB lewat dunia perfilman,” katanya. (*)

Komentar Anda