Perkosa Santri, Oknum Pimpinan Ponpes Dituntut 19 Tahun Penjara

DITUNTUT: Oknum pimpinan ponpes saat menjalani sidang tuntutan di PN Praya, Selasa (1/7). (ISTIMEWA/RADAR LOMBOK)

PRAYA – Oknum pimpinan pondok pesantren (ponpes) di Kecamatan Pringgarata, Muhammad Tazkiran yang didakwa memperkosa para santriwatinya itu dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Lombok Tengah selama 19 tahun. Selain tuntutan penjara, yang bersangkutan juga dibebankan membayar denda Rp 1 miliar subside 6 bulan kurungan.

Kasi Intel Kejari Lombok Tengah, I Made Juri Imanu ketika dikonfirmasi membenarkan bahwa pihaknya telah membacakan tuntutan pidana terhadap terdakwa MT dalam perkara tindak pidana perlindungan anak yang digelar dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Praya secara tertutup. Menurutnya bahwa terdakwa MT yang merupakan pimpinan pada salah satu pondok pesantren (ponpes) di Kecamatan Pringgarata diduga melakukan persetubuhan terhadap anak di bawah umur yang juga merupakan santriwatinya. “Kemarin MT sudah dituntut pidana penjara selama 19 tahun dan pidana denda sebesar Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan,” ungkap I Made Juri Imanu, Kamis (3/7).

Karena terdakwa MT merupakan pimpinan ponpes yang memiliki relasi kuasa dengan korban sehingga korban dapat dengan mudah dibujuk rayu oleh terdakwa MT untuk bersetubuh. Sebelumnya terdakwa MT juga pernah memaksa korban untuk bersetubuh di ruang kelas di lokasi pondok pesantren. “Sebagaimana hal tersebut bersesuaian dengan fakta persidangan yang berkaitan dengan serangkaian alat bukti yang dihadirkan oleh penuntut umum dalam proses persidangan,” jelasnya.

Lebih jauh disampaikan, penuntut umum menilai bahwa perbuatan terdakwa MT telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan persetubuhan terhadap anak yang dilakukan oleh tenaga pengajar sebagaimana yang diatur dalam dakwaan alternatif kedua, melanggar Pasal 81 ayat (2) Jo (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana terakhir diubah dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Ke Dua Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

“Tuntutan ini diajukan sebagai bentuk komitmen kejaksaan dalam menegakkan hukum dan melindungi hak-hak anak sebagai korban tindak pidana seksual. Khususnya yang dilakukan oleh orang yang memiliki posisi atau relasi kuasa seperti pendidik. Sidang selanjutnya nanti akan dilanjutkan pada Selasa 8 Juli dengan agenda pembelaan terdakwa dan penasihat hukumnya (pledoi),” terangnya.

Dalam kesempatan itu, pihaknya mengajak masyarakat untuk terus mengawal kasus ini hingga tuntas, demi memastikan pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan hukum yang berlaku. Ia juga mengimbau kepada masyarakat, terutama orang tua untuk dapat selalu mengawasi terhadap setiap pergaulan dan interaksi sosial anak sebagai bentuk antisipasi terhadap potensi tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan seksual terhadap anak. “Untuk korban kekerasan atau ancaman kekerasan seksual kami juga mengimbau untuk jangan takut dan segan melaporkan kepada aparat penegak hukum setiap tindakan kekerasan seksual, baik yang dilihatnya ataupun dialaminya sendiri,” imbaunya. (met)