Menurut dia, sekarang ini pemerintah terlihat semakin mementingkan tenaga asing dari pada mengoptimalkan potensi SDM dalam negeri yang tidak kalah dengan asing-asing itu.
Di dalam negeri, sangat banyak dosen yang memiliki keahlian dan pengetahuan tidak kalah dari dosen luar negeri alias asing. Terlebih lagi, jika dosen yang diimpor tersebut secara keilmuan masih banyak tenaga dari indonesia. Maka, tentu regulasi tersebut melanggar undang undang, karena hanya akan menjadi blunder bagi perkembangan tenaga ahli di dalam negeri jika tidak dimanfaatkan.
Jika pemerintah tidak memiliki skala prioritas, maka secara akademis kampus dalam negeri termasuk gagal dalam meluluskan produk dosen yang bermutu.  Begitu juga jika dilihat dari sudut pandang politis, maka sama artinya proses pendidikan di Indonesia termasuk gagal dalam melakukan pembinaan dan pengembangan institusi Perguruan Tinggi di bawah koordinasi negara.
Selain itu, dampak dari rencana kebijakan Kementerian Ristek Dikti ini bisa memunculkan potensi kecemburuan sosial. Karena adanya perlakuan berbeda dari negara terhadap profesi yang sama antara dosen impor dan dosen lokal dengan gaji yang terpaut jauh.
Pasalnya, dosen asing rencananya akan digaji dari angka Rp40 juta hingga Rp63 juta perbulan. Dengan demikian secara sosial, Indonesia posisinya berada dalam bayang bayang asing.