Pepaosan, Warisan Rohani Mengandung Etika Moral

MATARAM—Setelah sempat mengalami kevakuman penyelenggaraan selama hampir enam tahun, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) NTB kembali menghidupkan, dan menggelar Festival Pepaosan, sebagai rangkaian Bulan Budaya Lombok Sumbawa (BBLS) 2016. Kegiatan berlangsung di Museum Negeri NTB, Sabtu (27/8), yang diikuti oleh 15 kelompok seni budaya dari seluruh kabupaten/kota di Pulau Lombok.

“Alhamdulillah, warisan seni budaya nenek moyang bangsa Sasak Lombok, Pepaosan ini akhirnya kembali dihidupkan, setelah hampir enam tahun lamanya vakum. Terakhir kegiatan seperti ini digelar di Gerung, Ibukota Kabupaten Lombok Barat. Usai itu tidak pernah lagi, dan baru tahun ini melalui BBLS kembali dilaksanakan oleh Disbudpar NTB,” kata Datu Artadi, salah satu Juri Festival Pepaosan.

Menurutnya, pelestarian Pepaosan atau seni membaca hikayat atau cerita yang tertulis dalam lontar peninggalan masa lalu masyarakat suku Sasak itu sangat penting, karena didalamnya terkandung nilai-nilai budaya. “Jadi, Pepaosan ini dapat dikatakan sebagai warisan rohani masyarakat Sasak Lombok di masa lalu, dimana dalam lontar-lontar  yang dibaca itu banyak mengandung nilai etika dan moral,” ujar Datu Artadi.

“Terpenting, dengan menghidupkan kembali Pepaosan, maka secara langsung berarti kita telah mengajarkan kepada generasi muda, untuk mengenal dan mencintai seni dan budayanya sendiri. Sehingga Pepaosan ini bisa terus lestari, sebagai warisan seni budaya adi luhung masyarakat suku Sasak Lombok,” tutur Datu Artadi.

Senada, Kepala Disbudpar NTB, HL Moh. Faozal dalam sambutan menyampaikan, bahwa keberadaan seni budaya di NTB, khususnya Sasak Lombok, harus tetap lestari untuk diwariskan dari generasi ke generasi. Caranya, tentu saja melalui upaya pertunjukan atau pagelaran seni budaya secara rutin. “Gelaran BBLS yang tahun ini menjadi penyelenggaraan tahun kedua oleh Disbudpar NTB, akan berupaya mengeksplore dan mengangkat berbagai seni budaya yang ada di NTB, termasuk Pepaosan ini tentunya,” jelasnya.

Baca Juga :  Table Top Asita NTB di Jatim Bukukan Transaksi 3,2 M

Tentunya sambung Faozal, kegiatan seni budaya ini harus mendapat dukungan dari berbagai pihak, baik itu masyarakat, seniman, budayawan, akademisi, pelajar, dan sudah pasti  pemerintah. Sehingga upaya bersama yang dilakukan ini akan membuat nilai-nilai luhur yang ditinggalkan orang tua bisa lestari.

“Pemerintah memang harus hadir dalam upaya-upaya pelestarian seni budaya seperti ini, yang oleh Disbudpar NTB dimanifestasikan melalui kegiatan BBLS. Jadi kalau ada segelintir orang atau kelompok yang mengkritisi, BBLS adalah pemborosan anggaran. Maka mereka harus melihat sendiri di lapangan, seperti apa kegiatan BBLS sebenarnya. Baru kemudian bisa menilai, apakah ini pemborosan atau tidak,” papar Faozal, sekaligus menanggapi kritik yang pernah dilontarkan salah satu anggota dewan tentang BBLS.

Berbagai pagelaran seni budaya warisan leluhur masyarakat Sasak Lombok seperti Pepaosan, Wayang Kulit Sasak, dan lainnya ini juga mengingatkan Faozal pada masa kecilnya di Swangi, Lombok Timur. “Kalau sudah mau boye wayang (nonton wayang), tiang (saya) ingat betul harus ponggok tipah (panggul tikar) untuk alas duduk. Dengan toak ite (orang tua kita) hanya membekali jajanan tolang bageq (biji buah asam), dan tebu. Itupun sudah sangat luar biasa,” ujar Faozal terkenang masa lalunya.

Baca Juga :  Tambatan Perahu Gili Lampu Dinilai Mubazir

Jujur saja sambungnya, dibandingkan masa kini menonton film di bioskop dengan pemeran Jet Lee, atau Jacky Chan sekalipun, masih lebih banyak pelajaran berharga yang dapat dipetik dari menonton wayang kulit sasak dengan para tokohnya seperti Selandir, Wong Menak, dan lainnya. “Serumit dan sesulit apapun berbagai masalah yang timbul dalam cerita wayang. Tetapi kalau sudah muncul tokoh Wong Menak, maka segala masalah itu akan selesai dengan berbagai kebijakan yang diberikan. Cerita dalam wayang ini yang perlu ditiru oleh para pemimpin kita,” tutur Faozal.

Selain itu, melalui pengembangan dan pelestarian seni budaya secara rutin, dan berkesinambungan, maka tata krama dan nilai-nilai kepatutan yang di jaman sekarang ini sudah banyak dilanggar oleh masyarakat, akan kembali tertata. “Jadi acara adat seperti Nyongkolan tidak akan lagi ada yang mabuk-mabukan, dan kemudian justeru mengganggu ketertiban. Demikian soal busana adat yang digunakan dalam Nyongkolan, agar bisa kembali seperti dalam pakem pakaian adat masyarakat Sasak,” harap Faozal.

“Penyadaran masyarakat yang berbudaya inilah yang melatarbelakangi penyelenggaraan BBLS oleh Disbudpar NTB. Pembangunan fisik penting, namun pembangunan sumber daya manusia (SDM) juga sangat penting. Jadi saya tegaskan sekali lagi, tidak ada yang namanya pemborosan untuk melaksanakan segala sesuatu yang berbentuk seni budaya,” tandas Faozal. (gt)

Komentar Anda