MATARAM – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Pemprov NTB) menanggapi desakan sejumlah pihak yang mengusulkan agar sengketa proyek pembangunan NTB Convention Center (NCC) diselesaikan melalui jalur perdata, dibandingkan tindak pidana korupsi (Tipikor). Namun Pemprov NTB menegaskan bahwa kasus ini tetap diproses secara hukum, dengan menunggu penyelesaian pidana yang ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB.
Kepala Biro Hukum Setda NTB, Lalu Rudy Gunawan, menegaskan bahwa jalur perdata tetap terbuka, tetapi unsur pidana dalam kasus ini tidak bisa diabaikan. Dimana penanganan kasus ini tetap berlanjut.
Saat ini Pemprov NTB masih menunggu hasil penyelidikan pidana dari Kejati NTB. Namun jika nantinya sengketa ini dibawa ke perdata, tetap ada kewajiban pembayaran uang pengganti kontribusi kepada Pemprov. “Tetap pidana,” tegas Rudy di Mataram, kemarin.
Ia menambahkan bahwa Pemprov NTB sudah memberikan kesempatan bagi PT Lombok Plaza untuk menyelesaikan kewajiban mereka melalui jalur perdata. Namun setelah tiga kali somasi, ternyata tidak ada itikad baik dari perusahaan tersebut.
“Kami (Pemprov) sudah berbaik hati dengan melakukan somasi tiga kali, agar kewajiban segera dibayarkan, tetapi tidak ada respons. Akhirnya sengketa ini harus diselesaikan melalui jalur pidana Tipikor Kejati NTB,” tegas Rudy.
Dalam kasus ini, Pemprov NTB mengalami kerugian hingga Rp 15,2 miliar. Kerugian tersebut, berasal dari kontribusi yang belum dibayarkan sejak 2016 hingga 2024 sebesar Rp 9 miliar lebih, serta selisih pembangunan yang mencapai Rp 6 miliar.
“Kami juga sedang menelusuri uang jaminan pelaksanaan sesuai kontrak, yaitu uang garansi sebesar Rp 21 miliar. Sampai sekarang, keberadaan dana tersebut belum jelas. Jika ditotal, nilai kerugian yang diderita Pemprov NTB bisa mencapai Rp 36 miliar,” tegas Rudy.
Pembangunan NCC bermula dari kerja sama Pemprov NTB dengan PT Indosinga Invetama Lombok, sebuah perusahaan milik warga negara asing asal Singapura yang berbasis di Bali. Pada saat itu, proyek senilai Rp 384 miliar ini menggunakan skema Build on Operate Transfer (BOT) selama 30 tahun. Dalam kesepakatan awal, Pemprov NTB dijanjikan kompensasi sebesar Rp 12 miliar.
Namun proyek ini terhenti setelah Direktur PT Indosinga, Lim Chong Siong, meninggal dunia. Akibatnya, kerja sama tidak berlanjut. Pada April 2013, Pemprov NTB kembali membuka tender dan memilih PT Lombok Plaza sebagai pemenang untuk melanjutkan pembangunan dengan nilai proyek Rp 360 miliar.
Sebagai pemenang tender, PT Lombok Plaza mengambil alih aset Pemprov NTB dan merobohkan bangunan yang telah dibangun oleh PT Indosinga, termasuk Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) dan kantor Palang Merah Indonesia (PMI). Namun, proyek ini kembali menghadapi kendala karena PT Lombok Plaza gagal memenuhi kewajibannya kepada Pemprov NTB.
Kasus ini semakin menjadi perhatian publik setelah Kejati NTB menetapkan mantan Sekretaris Daerah (Sekda) NTB, Rosiady Husaenie Sayuti, sebagai tersangka. Sejumlah akademisi menilai bahwa langkah Kejati NTB dalam kasus ini berlebihan (offside) karena seharusnya masuk dalam ranah perdata, bukan pidana korupsi.
Kasus ini pada dasarnya diklaim sebagai sengketa perdata yang kini disulap menjadi kasus Tipikor. Ada indikasi penyalahgunaan kewenangan dalam penegakan hukum.
Meski demikian, Pemprov NTB tetap berpegang pada jalur hukum yang sudah ditempuh dan memastikan bahwa proses hukum tetap berjalan. “Makanya kita tunggu dulu, biarkan APH bekerja. Kita minta PT Lombok Plaza bijak dalam menyikapi masalah ini dan tidak berkomentar tanpa memahami permasalahan hukum,” tutup Rudy. (rat)