Penyebab Marketer Tidak Mampu Beradaptasi dengan Kemajuan Teknologi

Oleh: Baiq Alfia Nur Chandra Mustika

Mahasiswi MBA di Fakultas Bisnis President University

Seiring berkembangnya teknologi, bisnis dan marketing mulai banyak mendiskusikan mengenai perkembangan bisnis digital dan bagaimana memanfaatkan perubahan teknologi untuk prospek kedepan perusahaan. Bahkan saat ini sering kita jumpai para praktisi berdisikusi mengenai pemanfaatan teknologi seperti AI (artificial intelligence), machine learning, personalization, dan analytics pada blog mereka yang bertujuan untuk membuat pengalaman customer menjadi lebih baik- atau bahkan untuk membuat produk atau jasa baru. 

Pentingnya beradaptasi dengan kemajuan teknologi untuk pengembangan bisnis dapat kita telisik dengan melihat startup ride-hailing nasional, Go-Jek, yang telah resmi menjadi startup pertama asal Indonesia yang menyandang gelar decacorn. Berdasarkan laporan lembaga riset CB Insights dalam The Global Unicorn Club, saat ini valuasi yang telah dimiliki Go-Jek telah menembus angka 10 juta Dollar Amerika dan bahkan telah  mmenduduki peringkat ke -19 secara global.

Akan tetapi, apakah penyusunan strategi marketing untuk beradaptasi dengan teknologi mendapatkan fokus yang besar dalam perusahaan? Dalam survey oleh CMO Survey pada bulan Agustus 2019 lalu, dilakukan sebuah survey terhadap pimpinan marketing Amerika Serikat untuk menjawab pertanyaan: “berapa banyak waktu yang anda habiskan untuk mengatur waktu kini versus mempersiapkan masa depan  pemasaran di  perusahaan anda?”.  Secara kesuluruhan, 341 responden mengatakan bahwa mereka menghabiskan 68.5 % dari waktu mereka untuk “mengatur masa kini” dan hanya 31.5% dari waktu mereka digunakan untuk “mempersiapkan masa depan.”

Christine Moorman dan Lauren Kirby, dalam tulisan mereka yang bertajuk “How Marketers Can Overcome Short-Termism” dalam Harvard Business Review, mengidentifikasi empat faktor pendorong yang membuat seorang marketer menjadi lebih fokus kepada masa kini daripada masa depan.

Tekanan untuk penghasilan jangka pendek, pendapatan triwulanan dari pasar saham memicu kebutuhan untuk memfokuskan kampanye pemasaran untuk mencapai kemenangan pelanggan langsung atau memperluas lini produk daripada membangun kemampuan baru atau menciptakan langganan terobosan atau bisnis bergaya platform.

Peran strategis yang terlalu sedikitdalam hasil Survei CMO Agustus 2019 yang menunjukkan bahwa pemasaran memimpin masuknya pasar hanya di 37 % perusahaan, pertumbuhan pendapatan hanya 36 %, dan pemilihan pasar hanya 20,6 %. Jika pemasar tidak diberikan kursi di meja pemimpin, mereka tidak akan memiliki kredibilitas untuk menginspirasi atau memimpin perubahan strategis.

Ambiguitas peran: selain itu, dalam Survei CMO Februari 2019, hanya satu dari tiga pemimpin marketing melaporkan bahwa mereka merasa peran mereka “sangat jelas.” Jika mereka merasa bahwa peran mereka terlalu ambigú, menurut Moorman dan Kirby, seorang marketer lebih fokus kepada prioritas jangka pendek dibanding strategi jangka panjang dengan tujuan mendapatkan kemenangan instan dan melindungi apa yang dapat mereka kendalikan.

Struktur kompensasi  pemasar: Dalam survei Februari 2019, marketer melaporkan bahwa 18,9% dari kompensasi mereka adalah bonus kinerja, dengan rata-rata tambahan 8,2% dalam ekuitas perusahaan. Ketidakseimbangan ini dapat mengarah pada fokus pada keberhasilan jangka pendek dalam metrik keuangan untuk mencapai bonus kinerja, daripada berfokus pada tujuan strategis jangka panjang yang terkait dengan membangun ekuitas di perusahaan.

Jadi, apakah yang harus dilakukan jika sebuah perusahaan terjebak dalam empat hal tersebut dan tim marketing bahkan tidak memiliki waktu atau sumber daya yang cukup untuk mempersiapkan masa depan? Moorman yang merupakan profesor senior Administrasi Bisnis Duke’s University berpendapat bahwa ada beberapa hal yang dapat membantu seorang marketer agar bisa fokus kepada masa depan.

Alokasikan waktu setiap minggu untuk berpikir jangka panjang perencanaan strategis harus menjadi bagian dari pemikiran harian bahkan minggua tim pemasaran, bukan hanya terjadi setahun sekali. Pola pikir jangka panjang ini dapat ditanamkan dari proses pembangunan merek sampai hubungan terhadap customer. Hal ini dapat dilakukan bahkan pada saat dibuatnya keputusan jangka pendek dengan melihat implikasi yang diberikan dalam waktu kedepannya.

marketer dapat mendorong terbentuknya pola pikir seperti ini dengan cara bertanya kepada pimpinan setiap tim mengenai bagaimana keputusan jangka pendek dapat berkontribusi pada strategi pemasaran dalam jangka panjang.

Investasikan dalam kapabilitas pemasaran: pengetahuan dan keterampilan yang terdapat dalam perusahaan menjadi salah satu faktor pendorong kesuksesan. Hal ini dapat mempengaruhi proses kesuksesan dan dapat mengidentifikasi cara untuk menjadi lebih produktif, mengurangi kesalahan, dan melembagakan praktik.

Berdasarkan hasil survey CMO, para marketer melaporkan bahwa mereka melakukan pendekatan terhadap pengembangan kemampuan karyawan sebagian besar dengan cara merekrut karyawan baru dengan keterampiln atau pelatihan karyawan yang sudah ada (59,8 %). Selain itu, merekea juga mengandalkan pembelajaran dari agensi (14,5 %) dan konsultan (12,2 %) untuk melengkapi karyawan dengan kemampuan baru dan menanamkan budaya kerja mereka.

Moorman menyarankan untuk mengidentifikasi kemampuan dan membangun apa yang menjadi kunci bisnis perusahaan. Kemudian, hal yang dapat dilakukan adalah berusaha untuk menciptakan budaya pembelajaran berkelanjutan, di mana karyawan dapat memperoleh keterampilan baru secara teratur.

Membuat keputusan berdasarkan data: berdasarkan survey, para marketer hanya membuat keputusan menggunakan analytics pemasaran hanya 39,3% dari waktu. Menurut Moorman, memasukan analytics ke dalam keputusan marketing dapat menghasilkan pendekatan berbasis data yang lebih kuat dan menghindari keputusan yang terlalu reaktif terhadap peristiwa jangka pendek.

Fokus pada pertumbuhan: dalam survey CMO februaru 2019 marketer melaporkan bahwa “mendorong pertumbuhan” merupakan sesuatu yang menjadi tantangan utama mereka. Moorman  berpendapat bahwa hal itu dapat digunakan untuk menjadi alat untuk mempertahan fokus mereka terhadap masa depan. Menurut definisi, pola pikir pertumbuhan menekankan pada pasar baru, produk dan layanan baru, serta mitra baru. Seorang marketer juga harus bisa puas dengan senior yang mengambil resiko, namun masih sejalan dengan pertumbukan perusahaan. (*)

Komentar Anda