Pengusaha Minta Penertiban Fast Boat Ditinjau

DIKELUHKAN: Kebijakan Pemprov NTB yang mengharuskan kapal cepat bersandar di Pelabuhan Bangsal, dikeluhkan lantaran tidak dibarengi dengan fasilitas memadai (HERY MAHARDIKA/RADAR LOMBOK)

TANJUNG-Kebijakan Pemprov NTB yang mengharuskan kapal cepat dari  Bali bersandar di Pelabuhan Bangsal, menjadi dilema bagi Asosiasi Kapal Cepat Indonesia (Akacindo).

Pasalnya, kebijakan ini tidak dibarengi dengan fasilitas dermaga yang dianggap tidak sesuai dengan standar layak sandar kapal cepat. “Kami belum bisa menerima keputusan tersebut. Karena cukup ril untuk bisa dikaji kembali oleh pemerintah,” ungkap Ketua Akacindo Bali-Lombok, Sugita, Senin  kemarin (5/12).

Ada beberapa persoalan yang harus dipertimbangkan Pemprov NTB. Yakni kondisi dermaga apung Bangsal hanya mampu untuk empat boat kecil secara bersamaan. Kemudian jeti beton dermaga terlalu tinggi, sehingga wisatawan harus lompat saat turun dan  dikhawatirkan membuat penumpang terpeleset. Selain itu, tidak tersedia ruang tunggu yang layak dan soal regulasi masuk kawasan. “Wisatawan akan merasa tidak nyaman karena perpindahan dari fast boat ke speed boat dengan alasan tidak menghemat waktu,” keluhnya.

Semestinya pemerintah kembali ke tugasnya untuk melayani kepentingan masyarakatnya. Menurutnya, dimanapun ada kegiatan pelayaran maupun transportasi laut, tugas pemerintah bisa menyediakan fasilitas yang memadai, layak dan mampu memberkan pelayanan kesyahbandaran. “Di Trawangan karena penempatan tidak cocok kami tidak bisa memanfaatkannya. Begitu pula di Gili Meno. Kalau dengan alasan merusak terumbu karang saya kira itu mengada-ada karena fast boat Bali-Gili sudah dirancang untuk bisa landing di pantai,” bebernya.

Belum lagi, aturan pelabuhan yang terlalu rumit, lanjut dia, apabila wisatawan tidak naik cidomo harus jalan kaki dan jaraknya cukup jauh. Selanjutnya, soal kebijakan menggunakan speed boat ke masing-masing pulau, sangat bertentangan dengan alasan keamanan dan kenyamanan karena lalu lintas laut menjadi sangat krodit dan rawan kecelakaan. “Pada prinsipnya kami tunduk dengan peraturan pelayaran NKRI, asal sesuai dengan aturan yang ada. Kami siap dan patuh, namun jikalau kami dipaksa tanpa dasar hukum yang jelas kami akan melakukan langkah-langkah hukum sesuai dengan undang-undang pelayaran yang berlaku di NKRI,” tegasnya.

Sementara Ketua Asosiasi Pengusaha Gili Trawangan (APGT), Aco Zaini Baso mengutarakan, kekhawatirannya atas kebijakan ini akan berdampak pada kelangsungan kunjungan wisatawan. Bagaimana nanti, ketika  pihak Akacindo mengalihkan jasa transportasinya dan mengalihkan ke daerah lain selain ke NTB. Karena selama ini wisatawan tidak ingin ribet dengan pola-pola yang diinginkan pemerintah, seperti  alih penumpang apalagi sampai menunggu lama.  Oleh karena itu, pihaknya akan mengadakan hearing dalam waktu dekat ke pemprov maupun ke pemerintah Lombok Utara. “Sebaiknya pemerintah mengkaji kembali kebijakan itu. Patut dikhawatirkan juga apabila Akacindo mengalihkan rutenya ke daerah lain. Tentu akan berdampak pada angka kunjungan juga. Saya yakin kalau sampai itu dilakukan Akacindo, maka 50 persen angka kunjungan ke lombok ini akan hilang,” tandasnya.

Serupa yang dikatakan, Ketua Koperasi Karya Bahari Sabarudin mengungkapkan, dari segi usaha pihak sangat menguntungkan, tapi dari sisi lain pengusaha di tiga gili akan dirugikan. Karena tamu belum tentu datang seperti saat ini dan masih banyak kecewa. Mereka sudah dari boat besar, dibongkar lagi ke boat kecil, bongkar muat penumpang. “Di tiga gili belum ada jeti, bongkar muat,  waktu yang dibutuhkan 30 menit maksimal. Dari sejumlah kapal yang beroperasi ini akan menunggu, dan tamu akan capek menunggu. Kami secara usaha tidak berpengaruh, selama kami tetap mengangkut,” katanya. 

Kalau jelas, fast boat yang datang dari Bali turun di pelabuhan Bangsal. Yang jelas pihaknya sangat diuntungkan, karena bisa menambah penghasilan ke tiga gili. Dari sisi lain, pengusaha fast boat mereka sangat dirugikan karena dijual dan dipromosikan ke tiga gili sehingga turun ke tiga gili. Pada hari ramai kapal cepat yang menyeberang bisa mencapai 32 unit dengan ribuan penumpang, masing-masing kapal cepat berisikan 100 orang. “Tidak menjual ke Lombok,” tandasnya.

Menurutnya, sebaiknya kapal cepat tetap seperti saat ini ke tiga gili langsung. Untuk ke pelabuhan sekedar mengambil Surat Persetujuan Berlayar (SPB) sekaligus tamu yang berkunjung ke Lombok bisa juga langsung turun. Yang membuat mereka khawatir di gili saat ini, kalau fast boat ini pindah haluan bongkar muat ke objek wisata Senggigi, maka kunjungan wisata ke Lombok Utara sangat berpengaruh. “Karena pengusaha besar-besar fast boat lebih baik menjual ke objek wisata lainnya. Mereka (pengunjung) sangat suka fast boat, karena sampai ke tiga gili tidak ada gangguan calo, guide. Kalau mereka lewat Teluk Nara atau Bangsal, mereka akan diganggu banyak calo,” bebernya. 

Kepala Dishubkominfo Lombok Utara, Sinar Wugiyarno dikonfirmasi terpisah mengatakan, kapal-kapal belum siap dan termasuk juga menghadapi tahun baru. Sehingga harus disesuaikan dengan waktunya, termasuk juga infrastruktur belum sepenuhnya siap. Terkait adanya dua pilihan itu sistem penyeberangan yang memiliki kewenangan pihak Syahbandar. “Tetap kami laksanakan. Kita tunggu surat gubernur, baru memanggil pengusaha. Jangan sampai kita memaksa, yang penting kelancaran arus,” terangnya.

Sementara itu, Kepala Kantor Syahbandar Pemenang Mahdi mengakui, ada dua versi yang masih belum ada keputusan. Versi pemprov menginginkan kapal cepat yang datang dari Bali harus bersandar di pelabuhan Bangsal, dan penumpang harus turun. Baru selanjutnya penumpang naik lagi menggunakan  boat kecil atau perahu yang beroperasi di Syahbandar.

Sementara versi Syahbandar menginginkan kapal cepat tetap berlabuh di gili, baru selanjutnya ke Bangsal untuk mengambil Surat Persetujuan Berlayar (SPB). Karena fasilitas yang ada di Bangsal belum memadai mulai dari dermaga, ruang tunggu, dan kondisi kawasan pelabuhan yang masih amburadul. Sedangkan untuk persiapan pengambilan SPB pihaknya telah menyiapkan 14 blok di kantor Syahbandar mengurus SPB tersebut. “Kalau dinas kami tidak bisa bertindak dan tidak bisa melarang. Kami tidak ingin mematahkan semangat pihak provinsi. Tapi kami serahkan ke Provinsi,” pungkasnya. (flo)