Pengusaha Keluhkan Sulitnya Pengajuan Relaksasi Kredit Perbankan

SEPI : Salah satu gerai toko oleh-oleh di Pasar Seni Senggigi yang sepi dari pembeli, akibat tidak adanya wisatawan.( DEVI HANDAYANI/RADAR LOMBOK)
SEPI : Salah satu gerai toko oleh-oleh di Pasar Seni Senggigi yang sepi dari pembeli, akibat tidak adanya wisatawan.( DEVI HANDAYANI/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan kebijakan keringanan atau relaksasi bagi nasabah perbankan dan finance yang usaha mereka terdampak langsung penyebaran wabah virus Corona (Covid-19), secara nasional. Hanya saja, proses dan syarat pengajuan untuk mendapatkan keringanan atau program relaksasi dari perbankan dirasa masih sulit dan berbelit-belit.

Padahal program tersebut dibuat untuk membantu para pelaku usaha yang terdampak virus Corona (Covid-19). Terlebih, di tengah situasi saat ini kebijakan yang diberikan pemerintah haruslah tepat. Pasalnya, kondisi dunia usaha berpacu dengan waktu untuk dapat bertahan.

“Sekarang misalnya dari perbankan mau memberi relaksasi undur pembayaran cicilan selama dua bulan. Dua bulan kedepan itu siapa yang bisa menjamin usaha bisa kembali lancar,“ kata Ketua Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) NTB Awan Aswinabawa, Selasa (21/4).

Ia menilia, jika tidak disertai realisasi yang tepat, maka dikhawatirkan program ditawarkan justru semakin memberatkan pelaku usaha. Berdasarkan laporan diterima dari anggota Astindo NTB, beberapa lembaga perbankan mengharuskan pembayaran administrasi agar relaksasi pajak dapat diberikan.

“Malah ada dikenakan semacam biaya untuk mendapatkan program relaksasi  dengan cara pembayaran iuran selama dua bulan, yang notabene lebih besar,” keluhnya.

Pada situasi saat ini diperlukan keseriusan dari seluruh pihak agar masa sulit yang disebabkan Covid-19 dapat terlewati. Sehingga diharapkan menjadi atensi pemerintah dan pihak perbankan. Mengingat kebijakan keringanan kredit telah mendapat arahan langsung dari Presiden RI, namun realisasi di tingkat perbankan justru tidak sederhana yang disebutkan.

“Kita sekarang sedang menunggu, tapi mana bisa menunggu kalau seperti ini,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NTB, Farid Faletehan mengatakan, dalam proses pengajuan relaksasi kredit nasabah diharuskan mengajukan surat pada pihak perbankan. Di tengah kondisi saat ini banyak nasabah yang dapat mengklaim bahwa dirinya terdampak.

“Kalau usahanya terdampak akan diberikan relaksasi, tapi yang tidak terdampak jangan pura-pura terdampak,” katanya.

Dijelaskannya, jika nasabah mengajukan relaksasi kredit mendapatkan kesulitan dapat melaporkan ke Lembaga Jasa Keuangan (LJK). Jika tidak ada tanggapan dari LJK maka dapat diteruskan ke OJK.

“relaksasi kredit yang diberikan tidak otomatis. Nasabah harus melakukan pengajuan untuk mendapatkan manfaat dari program tersebut. Kalau sudah lapor ke LJK nanti tembusannya ke OJK,” jelasnya.

Nantinya, bentuk relaksasi yang diberikan tidak harus berupa penundaan angsuran, melainkan dapat juga berupa keringanan kredit lainnya. Setiap permohonan tersebut akan dianalisis oleh LJK, kemudian akan menentukan juga bentuk keringanan yang akan diberikan sesuai dengan kemampuan pihak LJK maupun nasabah.

“Karena masing-masing kemampuan dan masalahnya beda-beda. Jadi disini masih banyak masyarakat yang salah paham,” imbuhnya. (dev)

Komentar Anda