Pengusaha Hotel Minta Pembebasan Pajak Sampai Desember

BEBAS PAJAK
DEVI HANDAYANI/RADAR LOMBOK SEPI PENGUNJUNG : Salah satu hotel di kota Mataram yang sudah beroperasi beberapa bulan lalu, namun hanya mengandalkan tamu lokal.

MATARAM – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB meminta keringanan berupa pembebasan pajak bagi pengusaha hotel, restoran dan parkir hingga Desember mendatang. Pasalnya, jika penarikan kembali pajak mulai Oktober ini dilakukan di tengah kondisi hotel terpuruk, maka pengusaha belum sanggup untuk membayar pajak tersebut.

“Harapan kami sampai Desember ini jangan dulu di otak atik teman-teman pengusaha hotel untuk penarikan pajak ini. Kasihlah kami bernafas sedikit, jangan dihantam sama Covid-10, dihajar lagi sama pajak. Ini bisa mati nanti usahanya,” kata Ketua Kehormatan PHRI NTB I Gusti Lanang Patra, Minggu (4/10).

Lanang mengakui jika penarikan pajak untuk September sudah dimulai ditarik oleh pemerintah daerah, tetapi pihak hotel belum ada yang membayar. Menurut Lanang, pengusaha hotel bukan tidak mau membayar, hanya saja kondisinya sekarang ini usaha hotel dan restoran lagi terpuruk, karena sepinya tamu, maka tidak memungkin pengusaha hotel untuk membayar pajak di tengah kondisi yang serba sulit sekarang ini. Belum lagi harus menanggung biaya operasioal, gaji pegawai. Sementara pendapatan jauh sangat minim. 

“Biar kaya apa ditagih, uang pakai bayar itu yang tidak ada. Mau maintenance hotel, belum ini biaya-biaya lainnya walaupun tidak beroperasi harus di rawat hotel,” jelasnya.

Diterangkannya, saat ini hotel mulai menata kembali usahanya. Pasalnya beberapa bulan lalu sempat tutup, mulai kembali beroperasional karena melihat kondisi berangsur membaik dengan menurunnya kasus penyebaran Covid-19. Meskipun belum sepenuhnya kembali normal, namun ada harapan bagi pengusaha bisa bertahan, meski masih dalam kondisi terpuruk.

“Sedikit teman teman mulai menata hotelnya, memperbaiki apa yang rusak, berikan karyawan sedikit upah. Nah ini pemerintah harus paham kondisi yang begini, jangan langsung menekan,” ucap General Manajer (GM) Hotel Lombok Raya tersebut.

Dijelaskan, okupansi hotel yang sudah buka hanya berkisaran 40 persen, mulai adanya pergerakan pada tingkat okupansi saat ini. Para pengusaha hotel dipakai untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang sebelumnya.

“Mereka kan masih nombok atau mungkin pinjam di bank sebagai tambahan modal. Artinya di pilah-pilah gitu, ini mereka hanya sekedar bisa hidup,” ungkapnya.

Lain dengan General Manajer (GM) Hotel Santika Mataram Baharudin Adam mengatakan, pemeritah daerah sudah memberi keringanan tidak memungut pajak sejek Juni, Juli hingga Agustus. Tentunya di kondisi Sepetember sudah harus ada penarikan pajak lagi.

“Kalau hotel dan resto sepi, berarti pajaknya juga dikit. Hotel tutup berarti tidak ada pajak yang di pungut,” ujarnya.

Pada periode Juni, Juli hingga September banyak usaha tetap buka, tetapi tidak ada dilakukan penarikan pajak. Itulah bentuk subsidi yang diberikan pemda kepada pengusaha agar bisa bertahan beberapa bulan lalu.

“Seharusnya yang minta keringanan pajak itu adalah pembeli, bukan pengusaha,” terangnya.

Menurutnya, dengan mulai kembali dilakukan penarikan pajak ini dari pihak hotel tidak masalah. Bahkan dari pembebasan pajak sendiri sudah habis sejak Agustus lalu, maka berlaku penarikan pajak mulai Oktober ini.

“Betul (tidak masalah, red) kasihan pemda tidak ada sumber PAD,” tandasnya. (dev)

Komentar Anda