Penghentian Kasus Pelecehan Mahasiswi Diprotes

UNJUK RASA: Puluhan mahasiswi dan dosen hukum Universitas Mataram (Unram) yang tergabung dalam aliansi anti kekerasan seksual (Alaska) melakukan untuk rasa di depan Mapolda NTB. (ROSYID/ RADAR LOMBOK)

MATARAM — Penghentian penyelidikan kasus dugaan pelecehan terhadap puluhan mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Kota Mataram, ternyata belum sepenuhnya diterima berbagai kalangan. Salah satunya adalah Pusat Bantuan Hukum Mangandar (PBHM), yang menilai kasus tersebut seharusnya dinaikkan ke tahap penyidikan, dan bukannya diberhentikan.

“Sepatutnya kasus itu dinaikkan statusnya ke tingkat penyidikan, dan bukan dihentikan hanya karena korban cabut laporan,” kata Ketua PBHM NTB, Yan Mangandar, Kamis (23/3).

Seperti diberitakan, pelecehan itu diduga dilakukan oleh oknum dosen gadungan berinisial FA (65), asal Kota Mataram.

Polda tetap diminta untuk membuka kembali kasus itu, karena pada dasarnya kasus yang ditangani tersebut, sudah ditemukan bukti adanya tindak pidana pada tahap penyelidikan. Mulai dari keterangan para korban, juga didukung pengakuan terduga. “Keterangan ahli dan hasil visum juga menguatkan bahwa sebuah tindak pidana itu ada,” sebutnya.

Polda menghentikan kasus, dengan alasan korban mencabut laporan, dan pasal yang disangkakan bukan delik aduan, melainkan delik biasa. “Jelas penghentian ini bukti Polda NTB menyalahi ketentuan hukum dan tidak memiliki empati terhadap korban kekerasan seksual,” bebernya.

Sebelumnya, Selasa lalu (21/3), puluhan mahasiswa dan dosen hukum Universitas Mataram yang tergabung dalam aliansi anti kekerasan seksual (Alaska), melakukan aksi unjuk rasa di  Mapolda NTB. Dalam aksi demonstrasi jilid ke tiga tersebut, juga ditulis dalam surat terbuka yang ditandatangani di atas materai 10.000.

Baca Juga :  Tiga Tersangka Korupsi Pasir Besi Diperiksa

Terpisah, Plh Kabid Humas Polda NTB, Kombes Pol Lalu Muhammad Iwan Mahardan menjelaskan, bahwa kasus dugaan pelecehan tersebut, bukan diberhentikan. Hanya saja tidak bisa dilanjutkan karena pelapor mencabut laporannya.

“Berarti kan tidak ada yang diperiksa. Tidak ada yang mau dilanjutkan ke tahap penyidikan, termasuk nantinya misalkan diteruskan ke jaksa penuntut umum. Seperti itu masalahnya,” jelas Kabid Humas Polda NTB.

Dalam kasus dugaan pelecehan itu, sekitar 10 orang mahasiswi yang menjadi korban. Akan tetapi yang diperiksa hanya 4 orang saja, sementara 6 korban lainnya tidak berkenan. “Dari 4 orang itu, satu orang yang membuat laporan, karena tidak harus semuanya membuat laporan,” katanya.

Namun dalam perjalanannya, lanjut Iwan, korban yang melapor mencabut laporan. Artinya, penyidik tidak bisa melanjutkan lagi laporan itu ke tahap penyidikan. “Padahal waktu itu, perkara itu mau ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan,” ungkap dia.

Menurutnya harus ada yang melapor terhadap perkara tersebut. “Apabila ada korban yang melapor lagi, Polda akan konsisten dan akan memberikan perhatian serius untuk membuat kasus itu terang benderang. Yang dibutuhkan polisi, kerja sama yang baik antara korban maupun pelapor dengan penyidik. Tanpa itu, tidak akan bisa,” tegas Iwan.

Baca Juga :  Korupsi di RSUD Praya Kembali Diusut, dr. Langkir Diperiksa

Kasus dugaan pelecehan ini mencuat, setelah para mahasiswi yang menjadi korban mengadu ke Biro Konsultan dan Pengaduan Hukum (BKPH) Universitas Mataram (Unram), dan selanjutnya melaporkan ke Polda NTB, Maret 2022 lalu.

Dalam laporan tersebut, pihaknya mencantumkan pasal tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Namun pihak kepolisian kesulitan memenuhi unsur pidana TPPO dalam kasus tersebut. Sehingga korban yang didampingi  BKPH Unram melayangkan laporan untuk kedua kalinya. Kedua ini, laporannya berisikan terkait dengan tindak pidana pemerkosaan dengan kondisi korban tidak berdaya, sebagaimana diatur dalam pasal 286 KUHP.

Dari sepuluh korban yang mengadu ke BKPH, lima diantaranya sudah disetubuhi oleh terduga. Bagi korban yang sudah disetubuhi ini, terduga pelaku sudah melakukan hingga empat kali kepada salah satu korban.

Aksi yang dilakukan terduga mulai dari bulan Oktober 2021 hingga Maret 2022. Dalam menjalankan aksinya, ada dugaan unsur-unsur hipnotis dan sejenisnya yang digunakan terduga. Sehingga bisa mengarahkan korban dan mau menuruti permintaan terduga. (cr-sid)

Komentar Anda