Pengentasan Buta Aksara Bukan Kewenangan Pemprov

H Rusman
H Rusman.( AZWAR ZAMHURI/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Angka buta aksara di Provinsi NTB sangat tinggi mencapai 12,58 persen untuk usia di atas 15 tahun. Persentase tersebut merupakan tertinggi kedua di Indonesia setelah Provinsi Papua. Bahkan khusus untuk penduduk usia 45 tahun ke atas, angka buta aksara sudah mencapai 32,72 persen dan menempati peringkat pertama tertinggi dari seluruh Provinsi. 

Beberapa waktu lalu, Pemprov NTB mewacanakan untuk memberikan perhatian lebih serius lagi atas masalah tersebut. Pasalnya, angka buta aksara merupakan salah satu instrumen penghitungan indeks pembangunan manusia (IPM). 

Wacana pemberantasan angka buta aksara, hingga saat ini masih sekadar pepesan kosong. Selama beberapa tahun terakhir, pemprov tidak pernah mengalokasikan anggaran. Termasuk untuk tahun 2020 mendatang, tidak ada sama sekali alokasi anggaran. “Intervensi pemberantasan buta aksara di Dikbud Provinsi tidak ada. Pemprov hanya urus SMA/SMK/SLB. Karena kalau bicara kewenangan, itu kewenangan kabupaten/kota,” ucap Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Provinsi NTB, H Rusman kepada Radar Lombok, Kamis (7/11).

Rusman sendiri mengaku belum mendapatkan data pasti tentang angka buta aksara. Padahal beberapa waktu lalu, data tersebut diungkap secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB. “Saya belum dapat data angka buta aksara. dulu di Dikbud menangani fungsional keaksaraan. Tapi sekarang buta aksara ditangani kab/kota,” tegasnya. 

Menurut Rusman, pemprov tidak lagi mengurus penduduk buta aksara setelah pembagian kewenangan dengan kabupaten/kota sejak 2017 lalu. “Jadi kewenangan itu kab/kota, tapi tanggung jawab kita semua ada untuk itu. Nanti kita koordinasi dengan kab/kota bagaimana mengentaskan persoalan itu. Seperti apa caranya nanti kita bicarakan teknisnya,” kata mantan Kepala Biro Hukum ini. 

Dulu, tutur Rusman, pemprov memang memiliki program pengentasan buta aksara. Salah satu sumber anggarannya dari pemerintah pusat. Masyarakat yang tidak bisa membaca diajarkan mengenali aksara. Persoalannya, anggaran dari pusat sudah tidak ada lagi. Masyarakat yang telah mampu membaca dan menulis, juga kembali menjadi buta aksara setelah program tuntas. “Yang berikan kontribusi besar kan di atas usia 45 tahun. Sudah diajari, bisa baca tulis, setelah selesai program, kembali lagi jadi buta aksara,” ungkapnya. 

Ditegaskan, anggaran dari APBD provinsi untuk pengentasan buta aksara tidak ada. Oleh karena itu, apabila ingin menghidupkan kembali semangat pengentasan buta aksara, tentu saja harus berkoordinasi dengan kabupaten/kota selaku yang memiliki kewenangan. 

Kepala BPS Provinsi NTB, Suntono mengatakan, tidak mudah memberantas angka buta aksara. Bahkan jika saat ini masyarakat yang buta aksara dididik, suatu saat nanti akan kembali buta aksara lagi. “Walaupun sudah dientaskan, tapi orang tua rawan kembali buta aksara,” terangnya. 

Di sisi lain, data BPS juga menunjukkan tidak adanya progres penurunan angka buta aksara secara signifikan sejak tahun 2011 lalu. Hal itu berbeda dengan daerah-daerah lain yang cukup mampu menurunkan angka buta aksara. 

Pada tahun 2011, angka buta aksara usia 15 tahun ke atas sebesar 17,35 persen dan usia 45 tahun ke atas 42,55 persen. Untuk usia 15 tahun ke atas, pada 2012 menurun menjadi 17,08 persen. 

Berikutnya tahun 2013 menjadi 15,33 persen untuk usia 15 tahun ke atas. Tahun 2014 menjadi 13,04 persen, tahun 2015 menjadi 13,03 persen, tahun 2016 menjadi 12,94 persen, 2017 menjadi 12,86 persen dan data terakhir tersisa angka buta aksara sebanyak 12,58 persen.

Penduduk NTB berumur 15 tahun ke atas yang tidak dapat membaca maupun menulis huruf, terbanyak berada di Kabupaten Lombok Tengah sebesar 18,58 persen. Perempuan lebih banyak yang tidak bisa membaca dibandingkan laki-laki. Sedangkan angka buta aksara terendah ada di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) sebesar 4,97 persen.

Menurut Suntono, cukup sulit menemukan pola menurunkan angka buta aksara. Pasalnya, tidak mungkin orangtua akan dimasukkan ke sekolah lagi. “Kalau usia  segitu mau diapain, masuk sekolah sudah tidak mungkin lagi kan,” katanya.

Untuk diketahui juga, tingkat pendidikan masyarakat NTB, sebagian besar hanya sampai sekolah dasar (SD). Berdasarkan data BPS, sebanyak 51,01 persen penduduk Provinsi NTB berpendidikan SD ke bawah. Kemudian 18,77 persen berpendidikan SMP, dan 30,22 persen yang berpendidikan SMA ke atas.

Anggota DPRD Provinsi NTB H Ruslan Turmuzi mengaku malu atas data buta aksara yang masih tinggi di NTB. “Malu kita kalau angka buta aksara tertinggi kedua di Indonesia. Kenapa kalau yang jelek-jelek peringkat kita selalu atas,” sesalnya. 

Wakil rakyat lima periode ini masih ingat Pemprov NTB pernah memiliki program unggulan untuk pengentasan buta aksara. Pada periode pertama TGB M Zainul Majdi menjadi gubernur NTB, pernah digaungkan program Angka Buta Aksara Nol (Absano). 

Ruslan menilai, tingginya angka buta aksara karena program Dikbud NTB tidak berkelanjutan. Seharusnya, Dikbud tetap ada program menurunkan angka buta aksara. “Sangat lemah kita ini kurangi angka buta aksara. Makanya saya bilang harus ada langkah radikal. Masalahnya kan Dikbud ini programnya tidak ada keberlanjutan. Beberapa tahun terakhir misalnya, mana pernah kita dengar program menurunnya buta aksara. Padahal dulu sangat digaungkan,” ucap Ruslan. (zwr) 

Komentar Anda