BARANGKALI kita masih ingat ungkapan Think Globally Act Locally (Berpikir Global Bertindak Lokal). Ungkapan tersebut pertama kali dinyatakan oleh Patrick Geddes pada tahun 1915. Patrick Geddes adalah seorang ahli perencanaan, biologi dan konservasi berkebangsaan Skotlandia.
Ungkapan tersebut mendorong orang untuk mempertimbangkan dampak global dari tindakan lokal mereka sekaligus memperhitungkan kebutuhan komunitas lokal mereka. Geddes percaya bahwa bekerja secara bertahap pada suatu isu, mulai dari yang kecil, dan berkembang perlahan, adalah cara untuk membuat perbedaan.
Sampai saat ini ungkapan tersebut telah digunakan dalam berbagai konteks, termasuk lingkungan hidup, bisnis, dan perencanaan kota. Pada tahun 1970-an, ilmuwan dan filsuf Rene Dubos menggunakan frasa tersebut untuk mendorong orang untuk meningkatkan peran mereka terhadap lingkungan.
Di bidang bisnis, ungkapan tersebut digunakan untuk mendorong perusahaan mengadaptasi produk, layanan, dan praktik mereka dengan cara berbisnis di aras (level) lokal, namun bukan saja menembus pasar lokal tetapi juga menembus pasar dunia.
Dalam perencanaan kota, ungkapan tersebut digunakan untuk mendorong perusahaan agar memahami bagaimana komunitas global terdampak saat mereka memasuki lokasi baru.
Tulisan ini hanya akan fokus pada upaya bagaimana mengembangkan ekonomi lokal yang tidak hanya menembus pasar lokal, akan tetapi juga menembus pasar nasional, bahkan dunia.
Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL)
Banyak definisi tentang PEL yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga dunia seperti World Bank maupun ILO, dan para pakar di bidang tersebut. Menurut Sugeng Budiharsono (2022) dalam bukunya Teori Pengembangan Ekonomi Lokal, menyatakan bahwa PEL adalah kegiatan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal dan organisasi masyarakat madani secara partisipatif dan kolaboratif dalam suatu kemitraan untuk mengembangkan ekonomi pada suatu wilayah secara berkelanjutan dan berkeadilan yang sebagian besar hasilnya dimanfaatkan oleh masyarakat lokal.
Definisi PEL tersebut di atas sudah memperhatikan aspek: (1) sumber daya lokal (sumber daya alam dan lingkungan, manusia, sumber daya buatan, dan kestrategisan lokasi); (2) pelibatan seluruh stakeholder kunci (pemerintah, dunia usaha, masyarakat madani dan masyarakat lokal) secara partispatif dalam suatu kemitraan; (3) untuk mengembangkan ekonomi wilayah; (4) berkelanjutan; (5) berkeadilan; dan (6) pemanfaatan hasil pembangunan oleh masyarakat lokal. Definisi tersebut walaupun dianggap sudah lengkap, namun tentunya masih mengandung kelemahan.
Selanjutnya Budiharsono menyatakan bahwa pendekatan PEL berbeda dengan pendekatan pembangunan ekonomi tradisional. Pendekatan PEL fokusnya adalah kewilayahan, namun bukan berarti mengabaikan pendekatan sektoral. Selain itu, pendekatan PEL lebih mengutamakan kepada bottom-up, walaupun tentunya juga tidak mengabaikan proses top-down, juga mendorong terjadinya kemitraan antara dunia usaha dan pemerintah serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal.
Mengapa PEL Penting?
PEL sangat penting karena dengan pengembangan ekonomi lokal yang memanfaatkan sumber daya lokal, akan banyak memberikan keuntungan, yaitu:
Pertama, pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan lokal untuk PEL akan meningkatkan backward linkages, apalagi jika dilakukan proses pengolahan (industrialisasi), maka akan meningkatkan nilai tambah. Selanjutnya akan meningkatkan efek pengganda pendapatan (income multiplier effects) dan berdampak pada penurunan kemiskinan.
Kedua, menyerap tenaga kerja lokal. Penyerapan tenaga kerja lokal juga akan meningkatkan pendapatan masyarakat, yang ujungnya akan mengurangi kemiskinan.
Ketiga, peningkatan kesempatan berusaha. Pengembangan ekonomi lokal akan meningkatkan kesempatan berusaha, khususnya UMKM. Walau tidak tertutup adanya kemitraan yang saling menguntungkan dengan usaha besar.
Keempat, adanya kebanggaan terhadap produk lokal. Produk-produk lokal akan semakin berdaya saing di aras lokal sampai internasional apabila dilakukan dengan memanfaatkan kreativitas, dan inovasi yang dibalut dengan budaya.
Apalagi budaya lokal dari NTB sangat kaya. Namun seringkali malah budaya lokal ini ditinggalkan, karena dianggap kuno. Terakhir, meningkatkan pajak. PEL akan meningkatkan pajak pertambahan nilai maupun penghasilan. Dengan pajak yang semakin besar maka PAD juga semakin besar sehingga Pemda dapat membangun sarana dan prasarana lebih baik.
Berkembangnya PEL menjadikan masyarakat dapat berusaha dan bekerja di daerahnya. Demikian juga apabila sarana dan prasarana semakin baik, tentu akan membuat masyarakat semakin betah dan nyaman tinggal di daerahnya. Tidak perlu bermigrasi ke luar daerah apalagi ke luar negeri.
Klaster Penerapan PEL yang memiliki pendekatan kewilayahan adalah melalui pembangunan klaster. Klaster adalah pengembangan komoditas unggulan pada suatu unit geografi dari mulai hulu (produksi bahan mentah), pengolahan, sampai pemasaran, yang terkait dengan komoditas unggulan lainnya. Dalam pengembangan klaster dilakukan kolaborasi antara pelaku usaha, pemerintah, perguruan tinggi atau BRIN, dan organisasi masyarakat madani.
Unit geografi yang dimaksud adalah bisa terdiri dari beberapa desa/kelurahan yang saling berbatasan dan terkait secara fungsional. Sebagai contoh desa A memiliki objek wisata yang bagus, dapat digabungkan dengan desa B yang punya potensi kuliner, maupun dengan desa Y yang punya potensi usaha suvenir dan oleh-oleh serta desa Z yang punya homestay.
Dengan demikian, maka wisatawan bisa tinggal lebih lama di klaster tersebut, dan semakin besar pula uang yang dibelanjakannya.
Selama ini PEL di NTB belum dikembangkan dengan pendekatan klaster. Hal ini dapat kita ambil contoh sebagai berikut:
1.Wisata Desa Sade. Wisatawan ketika mengunjungi Desa Sade hanya menghabiskan waktu sekitar satu dua jam, karena hanya melihat pertunjukan seni, kemudian belanja kerajinan. Namun jika dikaitkan dengan desa setelahnya yang punya potensi berbeda, misalnya ada wisata kuliner khas Sasak, atau warung/kafe kopi, juga objek wisata lainnya, dan ada homestay yang murah dan asri.
Maka, kemungkin wisatawan akan lebih lama tinggal di klaster tersebut.
2.Desa Sukarare sentra produksi tenun tradisional Sasak. Karena tidak dikaitkan dengan kegiatan lain yang dimiliki oleh desa lain. Maka setelah wisatawan membeli tenun langsung pulang.
3.Kunjungan ke sentra kerajinan emas dan mutiara di Kecamatan Sekarbela. Karena tidak ada keterkaitan dengan kelurahan lain, maka setelah wisatawan membeli kerajinan emas/perak tersebut akan langsung pulang.
Lain halnya kalau dikaitkan dengan kelurahan lainnya yang punya potensi yang berbeda, tentu bisa berkolaborasi.
Pembangunan klaster dengan dasar kolaborasi antara desa/kelurahan harus didasari rasa saling membutuhkan. Jangan sampai desa yang sudah dikenal saat ini memiliki posisi lebih tinggi daripada desa yang lainnya.
Pembangunan klaster ini perlu difasilitasi oleh fasilitator PEL yang handal dan berpengalaman luas. Pemda perlu memfasilitasi fasilitator tersebut, menyediakan sarana dan prasarana, meningkatkan kreativitas masyarakat, penerapan inovasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, mempromosikan dan ikut memasarkan produk barang dan jasa dari klaster tersebut. Terakhir namun tidak kalah penting adalah adanya perhatian dari Pemerintah Daerah, untuk mengadakan pertemuan rutin sebulan sekali untuk saling sharing.
Dengan semakin berkembangnya PEL di NTB, diharapkan akan muncul produk-produk yang menasional dan bahkan mendunia, kesejahteraan masyarakat pun semakin meningkat, dan perekonomian daerah semakin maju. (*)