
MATARAM — Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), menilai pengelolaan kawasan Gili Tramena (Trawangan, Meno, Air) sudah amburadul. Masalah seperti pencemaran lingkungan, ekosistem rusak, jumlah wisatawan yang berlebihan, serta erosi sepadan pantai akibat aktivitas manusia semakin memperparah kondisi kawasan tersebut.
“Kalau secara umum pengelolaan di Gili Trawangan sudah semerawut. Meskipun sudah bertaraf internasional, jika semua pihak memiliki kepentingan sendiri dan tidak mau diatur, maka akan sulit diperbaiki,” ujar Kepala BKKPN Kupang, Imam Fauzi, S.S., M.Eng, saat ditemui di Mataram, kemarin.
Fauzi mengungkapkan bahwa telah ditemukan beberapa kasus penyu di Gili Trawangan yang mengidap tumor. Setelah berkonsultasi dengan dokter hewan, diketahui bahwa penyakit ini disebabkan oleh tekanan dari lingkungan perairan yang tercemar.
Kondisi ini diperparah dengan limbah yang berasal dari darat, yang kemungkinan besar bermuara ke laut. Banyaknya pipa pembuangan air limbah dari usaha wisata dan kotoran kuda yang terbawa ke laut saat hujan menjadi penyebab utama pencemaran lingkungan.
“Saya melihat banyak saluran pembuangan langsung ke laut di depan Gili Trawangan. Hasil uji laboratorium juga menunjukkan bahwa kadar E. Coli di perairan ini cukup tinggi, yang berarti ada pencemaran signifikan,” ungkapnya.
Pencemaran lingkungan di perairan Gili Trawangan tidak hanya berdampak pada kesehatan penyu, tetapi juga bisa menyebabkan penyebaran penyakit dan kematian satwa laut lainnya. Selain itu, kajian laboratorium juga menunjukkan tingkat pencemaran yang tinggi akibat limbah cair yang tidak terlihat secara langsung.
“Masalah ini sangat krusial. Meskipun limbahnya tidak terlihat secara kasat mata, dampaknya sangat besar bagi ekosistem laut,” tambah Fauzi.
Beberapa kali pihak berwenang telah menangkap penyu yang sakit untuk diberikan perawatan oleh dokter hewan. Namun, sebagian besar akhirnya mati akibat penyakit yang sudah menyebar. Oleh karena itu, upaya penanganan harus lebih menyeluruh dengan menyelesaikan akar penyebabnya.
Fauzi menekankan bahwa pihaknya tidak bisa bekerja sendiri dalam menangani masalah ini. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) serta Pemerintah Kabupaten Lombok Utara perlu turun tangan dalam mengatasi limbah di Gili Trawangan.
Selain itu, solusi juga harus diberikan kepada pelaku usaha mengenai cara pengelolaan limbah mereka. “Kerusakan lingkungan di Gili Trawangan sudah sangat parah. Kita harus menelusuri akar permasalahannya dan segera mengambil tindakan,” tegasnya.
Meskipun air darat di kawasan tersebut sudah mulai tercemar, masih bisa digunakan untuk mandi atau mencuci, tetapi tidak layak untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, perlu kajian lebih lanjut untuk menentukan kualitas air di kawasan ini.
Masalah lain yang dihadapi di Gili Trawangan adalah banyaknya bangunan usaha yang berdiri di sepadan pantai tanpa izin resmi. Fauzi mempertanyakan kapasitas pemerintah daerah dalam mengatur izin pendirian usaha di kawasan yang seharusnya bebas dari pembangunan.
“Banyak hotel dan restoran yang mendirikan bangunan tanpa memperhitungkan dampaknya. Padahal, aturan melarang adanya bangunan di sepadan pantai. Jika terjadi cuaca buruk dan gelombang tinggi, mereka yang pertama terkena dampak,” ujarnya.
Ia meminta Pemerintah Daerah untuk segera melakukan penertiban terhadap bangunan yang tidak sesuai aturan. Pasalnya, selama 10 tahun terakhir, garis pantai di Gili Trawangan terus terkikis akibat abrasi, yang diperburuk oleh pembangunan di sekitar pantai.
“Pola arus laut berubah akibat pembangunan yang tidak terkendali. Ini menyebabkan sepadan pantai semakin tergerus,” jelasnya.
Fauzi juga menyarankan agar jumlah wisatawan yang berkunjung ke Gili Trawangan dibatasi untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Saat ini, jumlah wisatawan yang masuk setiap hari mencapai ribuan orang, yang secara signifikan meningkatkan produksi sampah dan limbah.
“Setiap orang menghasilkan sampah dan limbah. Jika jumlah wisatawan terus bertambah tanpa regulasi yang jelas, pulau ini bisa tenggelam akibat eksploitasi berlebihan,” katanya.
Ia menyarankan agar Gili Trawangan diubah menjadi destinasi wisata eksklusif, di mana hanya wisatawan yang benar-benar ingin menikmati alam dengan tanggung jawab yang diizinkan berkunjung.
“Saat ini, tidak ada batasan jumlah wisatawan yang masuk. Seharusnya, kita mulai membatasi kunjungan agar lingkungan tetap terjaga,” sarannya.
Kepala Bidang Rehabilitasi, Rekonstruksi, dan Kerjasama PB BPBD Provinsi NTB, Ilham Ardiansyah, ST. MT, mengungkapkan bahwa garis pantai di kawasan Gili Trawangan telah mundur sejauh 50 meter dalam 10 tahun terakhir. Hal ini meningkatkan risiko abrasi yang lebih besar.
“Bencana banjir rob dan cuaca ekstrem juga menjadi ancaman akibat naiknya permukaan air laut serta kerusakan terumbu karang,” kata Ilham.
Data dari WALHI NTB pada 2024 menunjukkan bahwa seluas 2.364 m² terumbu karang di Gili Trawangan telah mengalami kerusakan. Selain itu, pengelolaan limbah dan infrastruktur di kawasan ini masih belum memadai, meningkatkan risiko kebakaran akibat penumpukan sampah.
“Alih fungsi lahan di sepadan pantai akibat pembangunan hotel dan kafe telah mengganggu ekosistem pesisir. Jika tidak segera ditangani, dampaknya bisa semakin parah,” pungkasnya. (rat)