Pengasuhan dan Rasa Bersalah yang Berlebihan

Linda Listiani Mahasiswi Jurusan PIAUD UIN Mataram. (IST/RADAR LOMBOK)

Oleh Linda Listiani Mahasiswi Jurusan PIAUD UIN Mataram

Seperti yang kita ketahui di era media sosial sekarang ini, banyak tekanan yang diterima orang tua terkait pola pengasuhan yang ideal. Semakin orang tua merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi ekspektasi, maka semakin meningkat pula stres dan kecemasan. Kemudian Semakin orang tua membandingkan pengasuhannya dengan standar sosial, maka semakin sikap itu mengikis kepercayaan dirinya.

Berbicara tentang pengasuhan, pada akhirnya memang berbicara keseimbangan, atau mungkin berbicara implikasi. Artinya bagaimana kita seimbang dalam muhasabah dan upaya perbaikan. Bagaimana kita semangat belajar dan membelajarkan. Serta bagaimana kita mampu menuntut diri kita sendiri sebelum kita menuntut anak-anak kita.

Tanpa sadar, kita pernah atau bahkan sering terjebak pada sebuah klaim atau argumen atau informasi yang kita sendiri belum menelusuri atau mengonfirmasinya lebih jauh. Sebagai contoh, marak dalam perbincangan atau dalam tulisan-tulisan terkait rusaknya bagian otak anak sebab perlakuan kasar orang tua.

Di kampung saya sendiri banyak orang tua yang mengabaikan argumen dari anak-anaknya yang menyebabkan anak-anak tersebut takut untuk bercerita atau memberi tahu orang tuanya tentang apa yang mereka alami. Entah itu di sekolah atau di lingkungan bermain. Tak sedikit pula orang tua yang kemudian berujung pada paranoid (cemas) dengan sikap dan perlakuan salah kepada anak.

Baca Juga :  Pengasuhan dan Pendidikan di Masa Pandemi

Berkenaan dengan hal tersebut, Wastell dan White (2012) menyampaikan argumennya dalam sebuah jurnal, bahwa otak anak sebetulnya tidak mudah rusak, di mana keberadaannya dilindungi oleh organ-organ pelindung. Bahkan, dengan terlalu berhati-hatinya kita berbicara dengan anak, cukup kontroversi dengan upaya kita dalam menegaskan kedisiplinan. Rasa bersalah dan rasa malu terlihat dalam perilaku seseorang, terutama ketika berinteraksi dengan orang lain. Perasaan tersebut juga mudah terlihat dalam hubungan orang tua dan anak.

Selanjutnya, berbicara kerusakan otak anak, salah satunya bisa kita hubungkan dengan konteks child abuse (pelecehan anak). Child abuse memang ada dan bukan mengada-ngada. Artinya, ragam kejadian di mana anak disiksa secara fisik maupun psikis, itu memang terjadi.

Bahkan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur juga semakin banyak di zaman sekarang ini, yang menyebabkan orang tua cemas terhadap pengasuhan yang mereka berikan. Apakah pengasuhan tersebut sudah benar atau salah.

Mencerna konteks “penyiksaan” di atas, cukup logis korelasinya terhadap perkembangan mental anak. Adapun ciri yang dapat di indera secara kasat mata yaitu berupa sikap minder, gugup, ragu, cemas, takut dan sejenisnya. Namun penting juga untuk kita khusunya sebagai orang tua memahami bahwa anak yang merupakan korban “salah asuhan” itu sebetulnya bisa disembuhkan. Walaupun tentu saja butuh upaya yang tak sederhana. Minimal kita bisa merangkul atau menerima anak tersebut dengan penuh kasih sayang. Kita terima keberadaannya, kita berikan asupan optimisme, kita berikan padanya ruang untuk berkarya. Oleh karena itu, upaya-upaya tersebut juga butuh waktu, karena seorang anak dengan pengalaman yang menyakitkan tentu, memikul dampak yang tak biasa. Tetapi, ini salah satu upaya yang ideal yang berbanding lurus dengan keyakinan.

Baca Juga :  Indahnya Ramadan di Kota Tarim

Adapun hubungannya dengan konteks pengasuhan yang dihadapi oleh orang tua, contoh “ekstrem” di atas tidak dalam rangka meremehkan kesalahan kita sebagai orang tua dalam proses mengasuh sang buah hati, melainkan bagaimana kita fokus pada solusi yang akan kita gunakan untuk memecahkan kecemasan kita. Bukan pula menjadi sebuah pembolehan untuk kita mengulangi kesalahan asuhan, melainkan bagaimana kita mampu seimbang dalam menyikapinya.

Artinya, kita sepenuhnya sadar mengakui apa yang salah dengan apa yang telah kita lakukan kepada buah hati kita. Menjadi orang tua memanglah tugas yang sangat berat yang tak mudah diemban. Sekalipun kita sudah menyiapkan mental dan pengetahuan yang banyak sebagai orang tua, ada saja perasaan merasa bersalah sebagai. Maka dari itu, mari kita sama-sama mengubah pola pikir kita sebagai orang tua, agar dalam pengasuhan terhadap anak bisa membedakan pola pengasuhan yang baik dan tidak baik untuk kita gunakan atau terapkan terhadap anak. (**)

Komentar Anda