Memasuki awal tahun 2025, Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan klasik dalam pengelolaan keuangan negara yakni, rendahnya penerimaan pajak dan semakin lebarnya defisit anggaran. Situasi ini bukan hanya mencerminkan tekanan pada APBN, tetapi juga menunjukkan adanya persoalan struktural yang belum terselesaikan dalam sistem perpajakan nasional.
Data resmi dari Kementerian Keuangan mencatat bahwa penerimaan pajak hingga akhir Februari 2025 hanya mencapai Rp187,8 triliun, merosot sebesar 30,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, defisit anggaran tercatat sebesar Rp31,2 triliun atau 0,10% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Penyebab utama dari turunnya penerimaan pajak ini tidak dapat dilepaskan dari kombinasi berbagai faktor internal dan eksternal yang memengaruhi kinerja ekonomi secara keseluruhan. Secara eksternal, perlambatan ekonomi global berdampak signifikan terhadap kinerja ekspor dan investasi di dalam negeri. Ketika permintaan global menurun, maka pendapatan dari sektor-sektor ekspor yang menjadi sumber pajak juga ikut tertekan.
Di sisi lain, kebijakan fiskal pemerintah yang cenderung berhati-hati dan populis, seperti pembatalan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara menyeluruh, justru mengurangi potensi penerimaan negara. Padahal, penerapan tarif PPN 12% yang direncanakan sebelumnya berpotensi menambah pemasukan negara hingga Rp75 triliun per tahun. Ketidaktegasan dalam mereformasi sistem perpajakan menyebabkan ruang fiskal semakin menyempit.
Dampak terhadap stabilitas ekonomi terlihat dari melebarnya defisit anggaran, bukan hanya menjadi masalah dalam pembukuan negara, melainkan juga berdampak langsung pada stabilitas makroekonomi. Ketika defisit membengkak, pemerintah terpaksa mencari pembiayaan tambahan, baik dari penerbitan surat utang maupun pinjaman luar negeri. Hal ini berisiko memperbesar beban pembayaran bunga utang dan mempersempit ruang fiskal untuk belanja sosial dan pembangunan.
Penelitian yang dilakukan oleh Bado et al. (2024) dalam jurnal Economics and Digital Business Review menyimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara meningkatnya defisit anggaran dan utang luar negeri Indonesia. Keterikatan ini berbahaya apabila tidak diimbangi dengan produktivitas penggunaan utang tersebut.
Akibat dari defisit yang melebar dan rendahnya penerimaan pajak yakni tergerusnya belanja negara di sektor-sektor krusial. Ketika anggaran terbatas, maka belanja sosial, pendidikan, kesehatan, dan subsidi bisa menjadi sasaran pemotongan. Masyarakat berpenghasilan rendah menjadi kelompok yang paling terdampak.Belum lagi risiko inflasi yang mengintai jika defisit dibiayai dengan pencetakan uang atau ekspansi moneter berlebih. Jika harga barang naik namun pendapatan masyarakat stagnan, maka daya beli rakyat akan tertekan. Hal ini menjadi bom waktu sosial yang bisa merusak stabilitas nasional.
Pemerintah perlu melakukan introspeksi terhadap arah kebijakan fiskal yang diambil. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak kebijakan populis yang memberikan manfaat jangka pendek namun tidak memperkuat basis penerimaan negara. Misalnya, program bantuan sosial yang bersifat konsumtif namun tidak disertai dengan upaya penguatan ekonomi produktif.
Padahal, dengan tingkat tax ratio Indonesia yang masih berada di kisaran 10-11%, jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Jelas, ada potensi besar yang belum tergali. Reformasi pajak tidak bisa ditunda. Perlu ada keberanian untuk memperluas basis pajak, memperbaiki sistem administrasi, dan menindak tegas penghindaran pajak oleh korporasi besar.
Untuk menghindari jebakan fiskal kronis, pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah strategis. Pertama, perbaiki sistem perpajakan dengan digitalisasi yang menyeluruh. Teknologi harus dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan dan meningkatkan kepatuhan. Kedua, lakukan evaluasi terhadap kebijakan insentif pajak yang selama ini diberikan kepada investor besar. Jika tidak memberikan dampak ekonomi yang signifikan, maka insentif tersebut sebaiknya dihentikan. Ketiga, arahkan belanja negara pada sektor yang mampu menghasilkan efek ganda (multiplier effect) terhadap perekonomian, seperti UMKM, pendidikan vokasi, dan infrastruktur dasar. Ketahanan ekonomi dibangun dari bawah, bukan semata lewat proyek besar berbiaya tinggi. Keempat, tingkatkan transparansi fiskal. Partisipasi publik dalam perencanaan dan pengawasan anggaran harus diperluas. Masyarakat berhak mengetahui ke mana pajak mereka digunakan.
Turunnya penerimaan pajak dan membesarnya defisit anggaran bukan hanya masalah angka dalam laporan keuangan negara, melainkan sinyal serius tentang ketidakseimbangan dalam pengelolaan fiskal Indonesia. Situasi ini mencerminkan adanya celah besar antara potensi ekonomi nasional dan kemampuan negara dalam menggalinya secara optimal melalui sistem perpajakan yang adil dan efektif.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan ini yaitu, penyebab utama dari defisit yang melebar berasal dari lemahnya basis penerimaan pajak, inkonsistensi kebijakan fiskal, serta ketergantungan terhadap utang yang terus meningkat. Dan apabila kondisi ini tidak segera diperbaiki, maka bukan hanya pembangunan yang akan terhambat, tetapi juga kesejahteraan masyarakat yang menjadi taruhannya.
Sebagai wujud tanggung jawab kolektif, beberapa usulan yang dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki kondisi fiscal saat ini. Pertama, kepada pemerintah diperlukan adanya langkah nyata dalam melakukan reformasi pajak secara menyeluruh, baik dari sisi regulasi, perluasan basis pajak, hingga digitalisasi sistem administrasi perpajakan. Selain itu, kebijakan belanja negara harus lebih diarahkan pada sektor yang produktif dan berdampak langsung bagi rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi lokal. Kedua, kepada masyarakat diperlukan peningkatan kesadaran dan kepatuhan dalam membayar pajak. Pajak bukan sekadar kewajiban hukum, tapi kontribusi nyata terhadap pembangunan dan kemajuan bangsa. Di samping itu, masyarakat juga perlu aktif dalam mengawasi penggunaan pajak agar transparansi dan akuntabilitas anggaran negara dapat terjaga.
Mengelola keuangan negara bukan pekerjaan satu pihak. Diperlukan kerja sama lintas sektor, keberanian dalam mengambil kebijakan yang tidak populis namun berdampak jangka panjang, serta komitmen kuat terhadap transparansi dan keadilan. Dengan begitu, Indonesia bisa keluar dari jebakan fiskal kronis dan membangun ekonomi yang lebih kuat, adil, dan berkelanjutan.