Pemprov Telah Dipanggil Kejari Selong

M Agus Patria (AZWAR ZAMHURI/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Kasus Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan hutan lindung Sekaroh masih dalam tahap penyelidikan di Kejaksaan Negeri (Kejari) Selong. Untuk segera menuntaskan kasus tersebut, belum lama ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB telah dipanggil oleh Kejari Selong untuk dimintai keterangan.Asisten I Pemprov NTB, M Agus Patria mengungkapkan, dirinya selaku Koordinator Tim Kecil Pemprov NTB telah memenuhi permintaan Kejari Selong. “Kita tidak koordinasi, tapi mereka (Kejari) yang minta keterangan ke kita,” terangnya kepada Radar Lombok, Senin kemarin (19/12).

Disampaikan Agus, keterangan yang diminta Kejari terkait dengan hasil kajian tim yang dibentuk Pemprov NTB. Mengingat masalah hutan memang telah menjadi kewenangan provinsi paska diterapkannya Uundang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Dihadapan penegak hukum, Agus mengungkapkan semua hasil kajian tim. Termasuk kesimpulan yang menegaskan bahwa penerbitan SHM adalah cacat administrasi. “Kita sampaikan kesimpulan kita, bahwa itu cacat administrasi dan BPN harus membatalkan SHM itu,” lanjutnya.

Dalam penjelasannya, dikatakan bahwa hutan Sekaroh berstatus sebagai hutan lindung sejak tanggal 12 Oktober tahun 1982. Penetapan tersebut melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian Nomor 756/Kpts/Um/10/192, tentang penetapan hutan lindung.

Baca Juga :  Kasus PDAM dan Padepokan Silat Dihentikan

Kewenangan Negara menentukan status hutan Sekaroh dilaksanakan langsung oleh Negara melalui Kementerian Pertanian dengan Nomor 756KptsUm/10/192 tanggal 12 Oktober 1982. Dengan begitu, keberadaan hutan Sekaroh menjadi hutan lindung tidak bisa diganggu gugat lagi.

Berikutnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sebelum diterbitkan setifikat, suatu lembaga yang diberi kuasa untuk itu, dimana dalam hal ini adalah BPN diwajibkan terlebih dahulu meneliti akan kebenaran data yuridis dan data fisik dari tanah yang dimohonkan sertifikat tersebut.

Kemudian pada pasal 4, 106, 107 dan 119 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional mengamanahkan, pemohon harus mengusai tanah yang dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik. Mengingat pemohon tidak mengusai dan tidak memiliki data yuridis maka permohonan penerbitan sertifikat tidak syah.

Cacat administrasi dalam UU dijelaskan dalam pasal 106, yaitu kesalahan prosedur, kesalahan subjek hak, kesalahan objek hak, kesalahan jenis hak, kesalahan perhitungan luas, terdapat tumpang tindis hak atas tanah, data yuridis atau data fisik tidak benar atau kesalahan lainnya yang bersifat hukun administratif.

Menurut Agus, pasal tersebut dipertegas lagi oleh pasal-pasal 119, bahwa pembatalan hak atas tanah yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dilaksanakan apabila diketahui adanya cacat hukum administratif dalam proses penerbitan keputusan pemberian hak atau sertipikatnya tanpa adanya permohonan. Makanya kita juga tidak akan bersurat secara resmi ke BPN, karena ini sudah cacat administrasi dan sudah kita kasitahu mereka. Sekarang tinggal mereka apakah sama pendapatnya dengan kita,” ujar Agus.

Baca Juga :  Kasus Landscape Masih Berjalan

Sampai saat ini, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Wilayah NTB belum juga memberikan jawaban atau keputusan. Komunikasi terakhir dengan Pemprov, pihak BPN meminta waktu untuk melakukan kajian internal juga terkait kasus SHM tersebut. “Perbedaan pendapat itu kita hargai, posisi kita saat ini menunggu hasil perundingan mereka. Kan pemerintah pusat juga sudah memberikan pendapat, gubernur juga sudah, tinggal mereka sekarang mau tidak batalkan,” katanya.

Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Kantor Wilayah BPN NTB, Slameto Dwi Martono masih belum bisa memberikan jawaban. Slameto lebih memilih bungkam dibandingkan memberikan kejelasan atas sikap BPN terkait hasil kajian Tim yang menyebut cacat administrasi dan petugas BPN tidak cermat. (zwr)

Komentar Anda