Pemprov Serahkan Masalah Penertiban Sekaroh ke Perusahaan

URUSAN INVESTOR : Dinas LHK Provinsi NTB menyerahkan masalah hutan lindung Sekaroh ke pemegang izin.(AZWAR ZAMHURI/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Rencana penertiban kawasan hutan lindung Sekaroh Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur, ternyata tak bisa dilakukan. Pemprov NTB yang sebelum ngotot ingin melakukan penertiban justru sikapnya berubah sekarang ini.

Baru-baru ini, PT Eco Solution Lombok (ESL) mengeluhkan maraknya masyarakat yang bercocok tanam secara ilegal. Apalagi zona perairan yang akan dibangun dermaga kapal pinisi dan kapal cepat, sudah digarap perusahaan budidaya mutiara tanpa izin. Pemprov NTB sendiri acuh tak acuh terhadap persoalan ini dengan menyerahkan langsung kepada PT ESL. “Penertiban di areal izin merupakan kewajiban pemegang izin (PT ESL),” kata Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LHK) Provinsi NTB, Madani Mukarom yang dimintai keterangannya terkait polemik di kawasan hutan Sekaroh.

PT ESL telah mengantongi Izin Usaha Penyediaan Jasa Lingkungan Wisata Alam (IUP-JLWA) untuk 339 hektare sejak tahun 2013. Persoalannya, PT ESL hingga saat ini belum melakukan pembangunan apapun. Alasannya karena banyak lahan dikuasai oleh masyarakat. Padahal, nilai investasi yang direncanakan cukup besar.
Menurut Mukarom, tugas pemerintah hanya membantu dalam hal koordinasi saja. Sementara untuk menertibkan masyarakat dan gangguan lainnya, tanggung jawab perusahaan. “Itu kewajiban perusahaan. Tugas kami membantu koordinasi,” tegasnya.
Pantauan Radar Lombok di lokasi belum lama ini, hutan lindung seluas 2.834 hektar tersebut kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Tanaman jagung ada dimana-mana. Belum lagi adanya bangunan milik warga.

Baca Juga :  Curi HP Lalu Minta Tebusan Rp 1 Juta, Tiga Nelayan Ini Ditangkap

Mukarom sendiri menuturkan, UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Rinjani Timur tidak pernah tinggal diam. Patroli terus dilakukan. Namun tentu saja kemampuannya terbatas. “UPTD KPH Rinjani Timur tetap melakukan patroli di seluruh kawasan hutan. Tapi kalau aparat sipil gak akan mampu,” ujarnya.

Lalu bagaimana solusinya? Mukarom menyarankan agar perusahaan meminta bantuan aparat penegak hukum (APH). “Perusahaan bisa meminta bantuan APH,” katanya.
Mengapa Pemprov bersikap seperti itu? Menyerahkan masalah investasi kepada perusahaan? Menurut Mukarom, sikap Pemprov tersebut tidak hanya kepada PT ESL, namun juga kepada perusahaan lainnya. “Kami akan perlakukan sama seperti terhadap pemegang izin lain misalnya HTI Sadana, PT AMNT, dan lain-lain,” terang Mukarom.
Sementara itu, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi NTB, H Muhammad Rum yang dihubungi Radar Lombok, juga belum bisa banyak bicara. “Senin Selasa saya akan workshop. Setelah itu saya akan sampaikan secara detail dan gamblang,” jawabnya.

DPMPTSP NTB sebelumnya telah berkunjung ke kawasan hutan Sekaroh. Setelah mendengar masalah yang ada, DPMPTSP akan menggelar workshop untuk mencari solusi terbaik. “Ini menjadi tugas pemerintah daerah untuk menfasilitasi agar persoalan tuntas,” katanya.
Metode pendekatan akan dilakukan dengan lebih hati-hati. Mengingat persoalan di wilayah Sekaroh rentan terhadap konflik. Baik antara masyarakat, pemerintah maupun investor. “Tentu pemerintah tidak menginginkan adanya tindakan yang merugikan masyarakat dan investor. Tapi Pemerintah tidak dapat membiarkan adanya penggeregahan lahan oleh masyarakat secara ilegal. Ini harus dituntaskan. Sebab kalau tidak, bagaimana investor bisa tertarik untuk berinvestasi di daerah kita,” ujarnya.

Baca Juga :  Nelayan Tanjung Luar Ini Ditemukan Selamat dengan Kondisi Sampan Terbalik

Asisten Direktur ESL, Sri Wartini dalam kesempatan tersebut menyampaikan keluhan terkait zonasi perairan yang akan segera dimanfaatkan ESL untuk pembangunan dermaga kapal pinisi dan kapal cepat (boat, red). Namun zona itu telah digarap PT Autore untuk memperluas wilayah budidaya mutiara, tanpa kantongi izin dari pemerintah. ESL juga mengeluhkan kendala soal para petani yang menggarap kawasan untuk menanam jagung secara ilegal. Masalah itu kerap berujung pada konflik sosial. “Lahan yang digarap secara ilegal telah menyebabkan erosi dan merusak panorama dan keindahan alam tanjung ringgit. Padahal, keindahannya merupakan asset utama yang diandalkan,” keluhnya.

Misalnya saja destinasi wisata Pantai Colong. Rencananya, ESL akan membangun 50 unit villa di tahap pertama pembangunan. Kenyataannya, tidak ada satu villa pun yang berhasil dikerjakan, karena konflik yang terjadi dengan para petani illegal. Alam juga sudah rusak. Masalah lainnya, adanya peternak kerbau. Termasuk di kawasan pantai Pink. ESL sendiri berharap pemerintah tidak tinggal diam agar investasi bisa direalisasikan. (zwr)

Komentar Anda