Pemprov akan Layangkan Somasi Kedua ke PT GTI

HL Gita Ariadi (Faisal Haris/radarlombok.co.id)

MATARAM-Kasus penelantaran aset Pemerintah Provinsi NTB oleh PT Gili Trawangan Indah (GTI) selaku investor hingga saat ini belum ada titik terang.

Meski sebelumnya Pemprov NTB telah layangkan surat somasi pertama tapi jawaban dari investor, belum dianggap sesuai harapan. Sekda selaku ketua tim penyelesaian aset di Gili Trawangan, HL Gita Ariadi menerangkan, bahwa pihaknya sudah melakukan supervisi dan evaluasi terkait dengan penanganan kasus PT GTI saat melakukan pertemuan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Ini kita sudah melakukan supervisi, evaluasi dari KPK, laporan tentang bagaimana proges penanganan PT GTI,”ucapnya saat ditemui awak media sesuai melakukan video conference dengan KPK, Senin (26/10/2020).

Dalam pertemuan tersebut lanjut Sekda, pihaknya melaporkan bahwa penyelesaian kasus PT GTI masih jalan terus. Apalagi pihaknya sudah melayangkan surat somasi yang pertama kepada investor yang tidak melaksanakan kewajibannya itu. “Kita sampaikan bahwa progresnya maju terus. Kemarin kita sudah berikan surat somasi satu, kemudian kita sudah melakukan kajian tentang konten jawaban somasi satu. Kemudian dari evaluasi kita akan berikan somasi kedua, segera kita berikan. Ini sudah kita siapkan yang kita berikan kepada PT GTI,”katanya seraya menujukkan surat somasi yang akan dilayangkan.

Jawaban PT GTI terhadap somasi pertama, masih dianggap belum sesuai harapan. Hal ini juga menjadi alasan Pemprov melayangkan isomasi kedua. “Jawaban dari somasi satu, masih kita anggap belum sesuai yang kita harapkan. Belum ada kesesuaian apa yang menjadi solusi, masih kepada posisi stagnan. Jawabanya masih normatif,”ujarnya.

Dengan diberikan somasi kedua, lanjutnya, tentu pihaknya akan melihat seperti apa respon dari PT GTI. “Mudah-mudahan ada hal-hal yang positif dan produktif dari respon pada somasi kedua. Bila tidak, maka kita akan ikuti proses-proses hukum, ada somasi akhir,”tegasnya.

Sekda juga tegaskan, bahwa somasi terakhir
yang akan dilakukan sebagai upaya menjalankan mekanisme hukum. Bahkan somasi akan dilakukan hingga tiga kali jika pada somasi kedua tidak diindahkan. “Mungkin tiga kali akan kita lakukan somasi, jika tidak ada respon. Kita ingin solusi yang lebih progresif, lebih produktif dan bisa akomodir semua,”ucapnya.

Ditanya langkah Pemprov NTB tidak memutuskan kontrak kerjasamanya, menurut sekda, hal itu tentu ada mekanisme dan kajian hukumnya. “Itukan ada mekanismenya kajian dari hukum. Kita melalui proses hukum,”jawabnya tak jelasnya.

Dalam masalah ini, KPK sendiri tidak hanya melihat dari sisi progres, berdasarkan apa yang disampaikan pemprov. Tetapi supervisi akan tetap dilakukan langsung ke lapangan. “Jadi KPK tidak hanya melihat progres berdasarkan virtual yang kita lakukan hari ini (Senin,red). Tetapi supervisi lapangan dia (KPK) akan datang nanti,”katanya.

Dari sejak awal pemprov ingin kerja sama pemanfaatan aset daerah ini agar menguntungkan. Jika sampai daerah dirugikan, maka itu adalah kerja sama yang tidak sehat dan keluar dari ketentuan. “Nah kita itu evaluasi selama ini apa?. Kita belum mendapatkan nilai keekonomian dan lain-lain. Dan kita kaji berbagai hal dan lain sebagainya. Namun satu lagi kita tetap menghormati ada perjanjian,”sambungnya.

Namun pihaknya juga tidak bisa keluar dari perjanjian yang sudah disepakati. Apalagi pemerintah daerah butuh investasi dan lain sebagainya. Serta pihaknya juga tidak bisa abai dari fakta yang ada. “Hari ini masyarakat sudah ada di sana, tentu kita mencari solusi-solusi terbaik,”tutupnya.

Seperti diketahui, kasus penelantaran aset oleh PT GTI telah berlarut cukup lama. Aset Pemprov di Trawangan seluas 75 hektar, seharusnya memberikan kontribusi besar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun kontrak perjanjian kerja sama yang ditandatangani sejak 1995 itu, pendapatan yang diterima pemprov sangat kecil. Perjanjian kerja sama awalnya ditandatangani oleh Gubernur NTB, Drs H Warsito dengan Direktur Utama  PT GTI Drs Ec Winoto. Jangka waktu kerja sama selama 70 tahun. Dari kerja sama tersebut, PT GTI harus menyetor uang kontribusi sebesar
Rp 27 juta per tahun. Tapi dari sisi kontribusi yang sangat kecil itupun
tidak dipatuhi oleh PT GTI. Padahal,
nilai aset yang dikuasai PT GTI sekitar Rp 2,3 triliun. Hal itu berdasarkan hasil appraisal yang dilakukan
DJKN Bali dan Nusa Tenggara pada
tahun 2018 lalu. Nilai investasi masyarakat saja yang sudah melakukan kegiatan usaha secara illegal di lokasi tersebut mencapai Rp 24 miliar per tahun. Sementara daerah hanya mendapatkan kontribusi Rp 22,5 juta per tahun dari GTI. (sal)

Komentar Anda