GIRI MENANG – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lombok Barat diminta untuk bersikap tegas dan tidak tunduk pada kepentingan pengembang, khususnya dalam polemik pemanfaatan sempadan pantai di Dusun Montong Buwuh, Desa Meninting, Kecamatan Batulayar.
Permintaan ini disampaikan langsung oleh Gabungan Komisi DPRD Lombok Barat melalui Wakil Ketua DPRD, H. Abu Bakar Abdullah, dalam rapat dengar pendapat (hearing) bersama sejumlah instansi terkait seperti Dinas PUTR, DPMPTSP, BPN, DLH, DKP, Kepala Desa Meninting, serta Camat Batulayar.
Abu Bakar menyoroti tindakan PT Bumi Mandalika Sejahtera yang melarang para nelayan menggunakan sempadan pantai sebagai tempat bersandar perahu. Padahal, kawasan tersebut merupakan ruang publik yang seharusnya bisa diakses masyarakat.
“Pemkab jangan kalah dari pengembang. Kepentingan masyarakat, apalagi nelayan, harus jadi prioritas. Jangan sampai mereka terpinggirkan di kampungnya sendiri,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa hearing ini digelar sebagai respons atas keluhan warga nelayan yang kehilangan akses terhadap fasilitas penting bagi aktivitas ekonomi mereka. DPRD, katanya, hadir untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah.
Menurutnya, pengelolaan sempadan pantai harus merujuk pada aturan yang berlaku, di antaranya UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 1 Tahun 2014 sebagai perubahan atas UU 27/2007, Perda No. 11 Tahun 2011 tentang RTRW dan Perbup Lobar No. 28 Tahun 2020 tentang Pedoman Penetapan Izin Mendirikan Bangunan di Sempadan Pantai, Jalan, Sungai, dan Irigasi.
“Ini cukup sebagai dasar untuk menertibkan pihak pengembang. Kami akan undang kembali pihak pengembang dan masyarakat agar tidak terjadi konflik berkepanjangan,” jelasnya.
Ketua Komisi II DPRD Lobar, H. Husnan Wadi, juga menegaskan bahwa pengelolaan sempadan pantai adalah kewenangan Pemkab, bukan pengembang.
“Pengelolaan tetap di tangan Pemkab Lobar. Kita harus kembali ke khitah Perbup Nomor 28 Tahun 2020,” tandasnya.
Senada dengan itu, Ketua Komisi III DPRD Lobar, Fauzi, menyebutkan bahwa persoalan ini sebenarnya sudah jelas secara aturan, tetapi diburamkan oleh pengembang.
“Tidak ada hak pengembang melarang nelayan bersandar. Apalagi muncul dua sertifikat SHM yang patut dicurigai. Bahkan, muncul lahan baru sekitar 55 are di antara SHM Nomor 22 dan 23. Wajar saja kalau ‘ombak juga disertifikatkan’,” kritiknya tajam.
DPRD menegaskan komitmennya untuk terus mengawal kasus ini hingga ada kepastian hukum dan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat.
Sementara itu, Kepala Dinas PUTR Lobar, Ahad Legiarto, menyampaikan bahwa pihaknya akan melakukan sosialisasi terkait Perbup No. 28 Tahun 2020 baik kepada masyarakat maupun pengembang.
“Kita pastikan semua aturan yang dibuat tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya. Solusi awalnya, kita panggil pengembang agar mengetahui dan memahami isi peraturan ini,” tandasnya.(adi)