Pemda, Pemdes dan Warga Rebutan Tanah

TANJUNG-Pemkab Lombok Utara, Pemdes Karang Bajo Kecamatan Bayan berebutan tanah seluas 81 are.

Tanah yang berlokasi di Dusun Ancak Desa Karang Bajo ini, diperebutkan dengan ahli waris bernama Amaq Sutanep. Ironisnya lagi, perebutan tanah ini sudah terjadi sejak tahun 2004. Di mana waktu itu, Desa Karang Bajo mekar dari desa induk Bayan.

Perebutan tanah ini tak sebatas saling klaim saja, tapi Amaq Sutanep mengaku memiliki bukti kepemilikan tanah tersebut. Yaitu, bukti tanda pendaftaran hak milik tanah Indonesia atau disebut ‘rincik’ tahun 1958, dan surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) tahun 1997 atas nama Amaq Sutanep. Sedangkan Pemkab Lombok Utara dan Pemdes Karang Bajo, sama sekali tak memiliki dasar mengklaim tanah tersebut. “Perkara ini terjadi sejak tahun 2004,’’ ungkap Kuasa Hukum Amaq Sutanep, Agus Salim waktu meminta bantuan mediasi di Komisi I DPRD Lombok Utara, Selasa (8/11).

Dijelaskan Agus, persoalan sengketa ini juga sempat dimediasi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lombok Utara, beberapa waktu lalu. Mediasi ini dihadiri langsung Pemkab Lombok Utara diwakili Kecamatan Bayan, Pemdes Karang Bajo, dan ahli waris. Waktu itu, Agus telah menunjukan beberapa bukti sebagai tanda pemilikan terhadap lahan yang dijadikan sebagai lapangan sepak bola, lapak, pasar desa, masjid, dan pustu itu. ‘’Sementara pemda dan pemdes tidak punya alat bukti sama sekali,’’ sebutnya.

Dituturkan Agus, pemda hanya mengaku memiliki bukti hasil jual-beli tanah pada tahun 1970 dengan harga Rp 19 juta seluas 80 are. Ketika ditanya pembuktian kuitansi, pihak pemda hanya mengaku terbukti inventaris aset daerah. Bahkan, beberapa waktu lalu pemda sempat mengajukan permohonan pembuatan sertifikat ke BPN, namun pihaknya langsung mengajukan surat pencegahan ke BPN. Alhasil, BPN sampai saat ini belum berani memenuhi permintaan tersebut. “Tidak boleh membuatkan sertifikat karena status tanah ini masih dalam status sengketa,” tegasnya.

Baca Juga :  3.248 Bidang Tanah di Mataram Belum Bersertifikat

Lebih lanjut dibeberkan Agus, Pemdes Karang Bajo sendiri mengklaim tersebut dengan alasan sudah mengusai secara terus-menerus. Ini dibuktikan dengan kegiatan masyarakat, seperti pembangunan masjid, pustu, lapak pasar desa, dan lapangan sepak bola. Bahkan, dalam proposal pemekaran desa tanah itu tidak tercantum sebagai aset desa. “Ketika ditanya bukti tertulis, Pak Kades pun tidak bisa membuktikannya,” cetusnya.

Untuk diketahui, terang Agus, tanah tersebut memang sempat pinjam pakai antara pemilik dengan Pemdes Bayan, sebelum dimekarkan. Seiring waktu, tanah ini dibiarkan untuk dimanfaatkan. Ahli waris baru menindaklanjuti setelah ada pemekaran. ‘’Tapi ada yang menghalangi proses mediasi ini. Pinjam pakai ini memang tidak tertulis, tapi ada saksi-saksi yang telah dibuatkan surat pernyataan kesaksiannya,” tegasnya.

Pihaknya sampai saat ini masih berniat menyelesaikan persoalan dengan cara baik-baik. Apabila pemerintah tetap ngotot, maka baru selanjutnya pihaknya akan menempuh jalur hukum. Dalam penyelesaian perkara ini, pihak ahli waris memberikan kemurahan. Yaitu, ketika tanah ini diserahkan, maka masjid yang dibangun di atas tanah itu akan diwakafkan. Kalaupun itu tidak bisa, pihak ahli waris meminta kepada pemda untuk membebaskan lahan tersebut. Sempat dalam mediasi akan dilakukan pembagian tanah itu, namun pihaknya tidak menginginkan seperti itu. “Lebih baik pemda membayar semua lahan sesuai nilai standar, maka perkara selesai,” harapnya.

Ketua Komisi I DPRD Lombok Utara, Ardianto mengakui, telah menerima kuasa hukum dari ahli waris Amaq Sutanep untuk difasilitasi dengan pemda untuk menuntaskan sengketa lahan tersebut. Menindaklanjuti aspirasi warga ini, pihaknya akan berkoordinasi dengan Bagian Aset dan Bagian Hukum Setda Lombok Utara. “Nanti kita akan koordinasikan dengan bagian hukum dan aset,” tandasnya.

Baca Juga :  Dewan Tawarkan Mediasi, Pemda Tetap Litigasi

Sementara Kasi Sengketa BPN Lombok Utara, Abdul Rasyid yang dikonfirmasi terpisah mengakui, pihaknya telah memediasi kedua belah pihak. Hasilnya, pemdes meminta tanah seluas 81 are dibagi, sepertiga untuk pemerintah desa dan seperdua untuk ahli waris. “Memang secara hukum tanah itu sudah sah dimiliki ahli waris. Tetapi kami belum berani menyebut siapa pemilik sah lahan tersebut,” jelasnya.

Kepala Desa Karang Bajo, Kertamalip menuturkan, lahan itu sebenarnya dulu pada tahun 1960 perbukitan bukan kebun. Tapi, masyarakat bergotong royong meratakan tanah itu untuk membangun masjid, pustu, lapak, dan lapangan sepak bola. Atas dasar itu, pihaknya menolak memberikan tanah itu dikuasai oleh pihak ahli waris.

Terkait bukti kepemilikan itu, menurutnya masih ada keraguan dan kekhawatiran, karena bukan berbentuk sertifikat. “Lapangan ini sudah dibebaskan masyarakat Bayan dulu, tapi kami tidak buktinya,” tuturnya.

Masalah pinjam pakai oleh Pemdes Bayan sebelum dimekarkan, pihaknya tidak mengetahuinya. Pada dasar tanah ini tidak ada persoalan, tapi tiba-tiba persoalannya muncul, sehingga masyarakat menolaknya. Kalaupun tetap diambil, maka pihaknya mengajukan permintaan lahan yang belum terbangun seluas 50 are dibagi menjadi dua. Yaitu 20 are ke pemerintah desa dan 30 are ke ahli waris. Sedangkan, 30 are sudah terbangun lapak, pasar, masjid, dan pustu. “Secara pribadi tidak mengharapkan tanah, tapi ingin selesai dengan masyarakat,” pungkasnya. (flo)

Komentar Anda