Passing Grade UKG Terkesan Persulit Kelulusan Guru

MATARAM—Batas minimal nilai atau passing grade sebesar 80 poin yang diterapkan pada Uji Kompetensi Guru (UKG) sejak 2016 lalu dinilai mempersulit guru. Pemerintah melalui Kemendikbud RI diminta seharusnya perhatikan keberagaman pengetahuan dan akses Iptek setiap guru yang mengikuti UKG tersebut.

“Minimal 60 poinlah nilai yang diterapkan. Kalau sampai 80 ini kan kesannya cukup mempersulit para guru kita,” kata pengamat pendidikan sekalgus Wakil Rektor I Universitas Mataram (Unram), Prof. Dr. Lalu Wiresapta Karyadi, Kamis (30/3).

[postingan number=3 tag=”guru”]

Disebutnya, sekitar 1.633 guru yang akan mengikuti UKG ulang di tahun 2017 ini di NTB. Menurutnya jumlah tersebut adalah korban dari keambisiusan pihak pusat karena menaikkan passing grade. Karena proses UKG sebelum 2016 lalu, passing grade yang ditentukan pemerintah hanya 42 poin.

Baginya ini memang cukup rendah, namun bukan berarti melonjak menjadi 80 poin. Peningkatan ini juga melebihi batas kewajaran yang seakan tidak ada tahapannya. 

Kondisi tersebut baginya cukup drastis, peningkatannya hampir mencapai 50 persen. Sehingga bagi Wire, kalaupun akan diadakan UKG ulang seperti yang akan terlaksana dalam waktu dekat ini. Kecil kemungkinannya, akan banyak guru yang lulus.  Terlebih guru yang mengajar atau berasal dari pelosok, yang secara pengetahuan tentu cukup jauh ketinggalan dibanding peserta yang dari wilayah perkotaan.

Baca Juga :  SMP Sederajat Gelar Ujian Sekolah Serentak

Setidaknya kondisi keberagaman pengetahuan dan fasilitas ini dijadikan pertimbangan oleh pihak pusat. Dengan begitu baru memastikan kenaikan passing grade yang akan diterapkannya. Artinya mutu atau kualitas guru yang menjadi peserta UKG ini tidak semuanya memiliki kemampuan yang sama, melainkan ada keberagaman pengetahuan di setiap masing-masing guru.

“Fasilitas yang diberikan terhadap guru yang ada di pelosok dengan perkotaan kan tidak sama, jadi tidak fair dong kalau passing gradenya disamaratakan,” lanjutnya.

Keadaan yang nyata semacam ini, terangnya, seyogyanya disadari oleh pihak pusat. Dengan harapan bisa dipertimbangkan lagi apa yang menjadi keputusan saat ini.

Menurutnya ini  sangat perlu untuk tidak menghasilkan ketimpangan pada pelaksanaan formal semacam UKG. Baginya tidak ada salahnya membuat nilai tinggi, tapi minimal harus diperhatikan kondisi guru di setiap daerah.

Baca Juga :  Sistem Seleksi Mandiri Tidak Kompak

“Karena semakin ke timur, maka jelas fasilitas guru akan semakin rendah. Semoga saja pemerintah bisa pertimbangkan keadaan yang riil ini,” harapnya.

Terpisah, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) NTB, H. Ali Rahim mengatakan, passing grade UKG memang cukup tinggi jika dilihat dari pembinaan dan pelatihan guru yang sangat singkat. Selama ini guru hanya dilatih dan dibina cuma 5 sampai 6 hari saja.

“Semestinya harus berbulan bulan, baru bisa guru yang sebagai peserta lulus sebagai guru profesional,” terangnya. 

Ali juga menambahkan, kemudian dalam hal pelaksanaan harus juga tim pelaksana UKG memberikan komponen silabus yang sesuai dengan rumpun mata pelajaran yang diampu oleh setiap peserta atau guru. Ini bertujuan supaya titel guru profesional benar-benar diraih oleh setiap guru. (cr-rie)

Komentar Anda