Partisipasi Perempuan dalam Transisi Energi Masih Minim

WORKSHOP: Kegiatan workshop merancang kampanye berbasis kelokalan tentang transisi energi berkeadilan dengan pendekatan GEDSI di NTB.(IST/RADAR LOMBOK)

MATARAM  – Partisipasi perempuan dalam transisi energi di Indonesia, termasuk di Nusa Tenggara Barat (NTB), masih sangat minim, meskipun potensinya besar. Buktinya, hanya 19 persen perempuan yang terlibat dalam sektor energi, dibandingkan dengan 42 persen laki-laki.

Koordinator Proyek WE FOR JET NTB, Nurjanah, menyampaikan bahwa ketimpangan ini menunjukkan perlunya upaya serius untuk menciptakan inklusivitas di sektor yang sangat penting ini. “Mengelola energi bukanlah peran yang mudah, terutama ketika perempuan harus menjalankan tugas reproduksi bersamaan dengan bekerja dan mendampingi anak-anak sekolah,” ujar Nurjanah, kemarin.

Ia menambahkan, bagi rumah tangga dengan daya listrik rendah, persoalan energi menjadi semakin kompleks. Dalam banyak kasus, ibu rumah tangga (IRT) terpaksa memprioritaskan siapa dan kegiatan apa yang lebih membutuhkan listrik, namun sering kali mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan energi tersebut.

Menurut Nurjanah, ada beberapa hambatan utama yang dihadapi perempuan dalam berkontribusi pada transisi energi. Antara lain kurangnya akses pendidikan dan pelatihan. Banyak perempuan tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti program pelatihan terkait sektor energi.

Baca Juga :  Jawab Tuntutan Warga Gili Trawangan, Pemprov akan Koordinasi ke ATR

Tidak hanya itu perempuan juga sering kali tidak memiliki akses ke jaringan profesional yang dapat mendukung pengembangan karier mereka di sektor ini. “Stereotip gendern persepsi bahwa sektor energi adalah domain laki-laki menghalangi perempuan untuk terlibat,” ujar Nurjanah.

Untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam transisi energi, Nurjanah mengusulkan beberapa langkah. Mulai dari pemberian pelatihan yang dirancang khusus untuk perempuan agar dapat mengembangkan keterampilan mereka. Disamping mengedukasi masyarakat tentang pentingnya peran perempuan dalam energi terbarukan. Berikut membangun kemitraan dengan organisasi yang fokus pada pemberdayaan perempuan. “Dengan langkah-langkah ini, diharapkan sektor energi dapat menjadi lebih inklusif dan berkelanjutan,” harapnya.

Pendekatan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) dinilai penting dalam mendorong transisi energi yang adil. Transisi energi harus mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan setiap kelompok masyarakat, terutama kelompok rentan, sesuai prinsip no one left behind (tidak ada yang tertinggal).

Baca Juga :  Viral Siswi SMPN 1 Sukamulia Meninggal karena Dugaan Bully, Ini Faktanya

Meskipun ada kemajuan dalam transisi energi, laporan menunjukkan bahwa beberapa kelompok masyarakat masih mengalami ketidakadilan dalam pelaksanaannya. GEDSI dapat mencegah dampak negatif dari transisi energi, seperti hilangnya pekerjaan akibat program pemensiunan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.

GEDSI dapat mencegah dampak negatif dari transisi energi, seperti hilangnya pekerjaan akibat program pemensiunan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. “Program pemensiunan dini PLTU, misalnya, dapat menyebabkan pengangguran bagi pekerja tambang atau operator pembangkit listrik,” kata Nurjanah.

Dengan penerapan GEDSI, diharapkan seluruh tahapan transisi energi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi dapat menjamin akses, kontrol, pengaruh, dan manfaat yang adil bagi seluruh kelompok masyarakat. “Transisi energi bukan hanya solusi untuk perubahan iklim, tetapi juga peluang untuk menciptakan keadilan sosial di sektor energi,” tutupnya. (rat)