Open BO Marak, Ada Kakak Jual Adik Sampai Hamil

Joko Jumadi

MATARAM – Transaksi seksual anak tingkat SMP, SMA semkin marak di Kota Mataram. Hal ini menjadi sorotan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram. Beberapa kasus baru ditemukan LPA Kota mararam dan sedang ditangani serius. Dari tren peningkatan kasus kekerasan terhadap anak yang semakin mengkhawatirkan. Salah satu fenomena yang menjadi perhatian mendesak adalah maraknya praktik open BO (booking order) di kalangan pelajar tingkat SMP dan SMA di Mataram.

Ketua LPA Kota Mataram, Joko Jumadi mengungkapkan, praktik ini bukan hanya mencederai masa depan anak, tetapi juga mencerminkan krisis sistemik dalam lingkungan sosial dan keluarga. “Banyak anak usia sekolah, bahkan SMP dan SMA, yang terlibat dalam praktik open BO. Ini menjadi pekerjaan rumah besar. Setelah ditelusuri, akar masalahnya sering kali bermula dari keluarga broken home, anak korban perkawinan dini, atau yang dibesarkan kakek-nenek karena orang tua tidak hadir,” ungkap Joko kepada Radar Lombok, Selasa (13/5).

Joko juga menyoroti salah satu kasus ekstrem yang saat ini sedang ditangani LPA, yakni dua kakak-beradik yang menjadi korban eksploitasi seksual. Ironisnya, sang kakak yang sebelumnya dijual, kemudian menjual adiknya sendiri kepada pria hidung belang. “Awalnya kami dapat laporan dari rumah sakit. Ada anak di bawah umur melahirkan, tanpa BPJS, dan tercatat sebagai siswa SD. Setelah ditelusuri, ternyata kasusnya sangat kompleks,” ujarnya.

Menurutnya, pelaku langganan hanya satu orang yang kini sedang dalam pelacakan. “Namanya Om Andi. Dia pelanggan satu-satunya, dan dari satu orang ini, korban langsung hamil,” tambahnya.

Saat ini, kondisi kedua korban sangat memprihatinkan. Sang adik yang masih di bawah umur kini dirawat intensif pasca melahirkan. Bayinya berada di RSUD Provinsi NTB dan dirawat oleh tim LPA dengan metode skin-to-skin seperti kanguru untuk pemulihan. “Ibunya bekerja sebagai PMI di Malaysia, ayahnya tidak diketahui keberadaannya. Mereka hidup tanpa pengawasan orang tua. Ini menjadi cermin kegagalan sistem perlindungan keluarga,” ungkapnya.

LPA saat ini menangani puluhan kasus kekerasan terhadap anak. Joko menegaskan bahwa tren tahun ini tergolong “ngeri-ngeri” dengan ragam kasus seperti sodomi anak, inses, hingga pelecehan seksual dalam lingkup keluarga dan sekolah. “Fenomena ini bukan hanya soal moral individu, tapi soal sistem sosial yang gagal melindungi anak-anak. Keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan negara harus hadir secara aktif dan konsisten,” tegasnya.

LPA Mataram mendorong semua pihak, khususnya orang tua, untuk memperkuat pengawasan dan komunikasi dengan anak. Menurut Joko, anak-anak tidak hanya butuh sekolah dan makan, tapi juga butuh rasa aman, perhatian, dan arahan moral yang konsisten. “Kalau kita diam, maka generasi kita akan hancur pelan-pelan,” singkatnya.

Sekretaris Komisi IV DPRD Kota Mataram, Nyayu Ernawati menyampaikan keprihatinan mendalam. Ia menilai fenomena open BO di kalangan pelajar sebagai alarm keras bagi seluruh pemangku kepentingan. “Kondisi ini sangat memprihatinkan. Kita bicara soal anak-anak yang mestinya sekolah, bermain, dan tumbuh sehat, tapi justru terjebak dalam praktik eksploitasi seksual,” ujarnya.

Ia menegaskan, penyelesaian persoalan ini tidak bisa hanya dibebankan pada LPA atau sekolah semata. “Semua pihak harus terlibat orang tua, tokoh masyarakat, sekolah, aparat, dan pemerintah daerah. Harus ada gerakan kolektif dan sistematis untuk menyelamatkan anak-anak kita dari lingkaran kekerasan dan eksploitasi,” tegasnya.

Politisi PDI Perjuangan, mendorong Pemkot Mataram agar memperkuat regulasi, meningkatkan anggaran perlindungan anak, serta membuka ruang edukasi publik secara masif. “Anak-anak adalah aset masa depan. Jika hari ini kita abai, maka kota ini akan membayar mahal di masa depan,” singkatnya. (dir)