MATARAM – Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebutkan Provinsi NTB urutan ke-13 tingkat kasus kekerasan dan kejahatan terhadap anak di Indonesia.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait mengatakan, dari kejadian kekerasan tersebut sekitar 58 persen kasus kekerasan seksual. Mulai dari pemerkosaan, pencabulan, pedofilia hingga kekerasan seksual sedarah (incest)." NTB berada di urutan ke-13 kekerasan terhadap anak," paparnya saat ditemui di Mataram untuk menghadiri puncak Hari Anak Nasional (HAN) 2016, Jumat kemarin (22/7).
Aris menyebutkan, karena tingginya kasus kejahatan terhadap ini cukup tinggi di Provinsi NTB, maka pemerintah pusat memilihnya sebagai lokasi puncak Hari Anak Nasional (HAN) tahun 2016." Ini kejahatan yang mendominasi dan data ini sinkron dengan data dari Kemensos," paparnya.
Dalam kesempatan itu, Komnas PA menyerukan menghentikan gerombolan pemerkosa yang diistilahkan dengan #gengRAPE. Jumlah kasus ini dalam rentang waktu April 2015 hingga Juni 2016 sangat mengejutkan. Berdasarkan data yang dihimpun telah terjadi sebanyak 42 kasus pemerkosaan bergerombol di Indonesia.
Aris Merdeka Sirait menyebutkan dari jumlah kasus tersebut terdapat sebanyak 90 persen pelaku merupakan remaja lelaki dengan 100 persen korbannya merupakan remaja dan bahkan anak perempuan.
Dari Tahun 2010 sampai 2014 pelaku kejahatan seksual dominan dilakukan oleh personal, namun dari Ttahun 2015 sampai dengan Juni 2016 pelakunya bukan lagi personal tapi gerombolan pemerkosa atau yang disebut dengan #gengRAPE.” Pelaku pemerkosa bukan lagi sendiri, tetapi sudah bergerombol,” tegas Aris.
Hampir 16 persen pelakunya adalah anak berusia 14 tahun, 3 persen berusia 10 – 12 tahun. Sedangkan 15 persen korban kejahatan seksual berusia 12 tahun atau lebih muda, dan 29 persen korban berusia 12 – 17 tahun. Satu contoh kasus kejahatan seksual yang dilakukan secara bergerombolan masih hangat terasa ketika seorang anak di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu YY (14 tahun) siswi SMP 5 satu atap Kecamatan Padang Ulak Tanding diperkosa oleh 14 orang anak dan remaja, April 2016 lalu. Setelah diperkosa, korban dibunuh.
Dikatakan Aris, berdasarkan data yang terhimpun, terjadinya fenomena #gengRAPE adalah akibat dari minuman keras, narkoba, dan menonton tayangan pornografi.”Kalau dibirakan gerombolan ini sangat mengancam kehidupan anak-anak di seluruh Indonesia,” paparnya.
Saat ini kondisi kehidupan anak di seluruh iIdonesia ternyata tidak menjadi lebih baik. Ancaman terhadap anak pada saat ini baik ancaman fisik, mental, maupun sosial ternyata lebih serius dibanding pada waktu-waktu yang lalu. Jika sebagai warga bangsa dan juga pemerintah sengaja membiarkan fenomena #gengRAPE ini maka dapat dipastikan bahwa masa yang akan datang Indonesia akan semakin terpuruk khususnya dalam hal pembangunan manusia. '' Diperlukan sebuah komitmen dari seluruh elemen masyarakat dan pemerintah baik di tingkat nasional, sampai kelapisan paling bawah untuk menyikapi gerombol pemerkosa ini,'' jelasnya.
Untuk menyikapi fenomena ini, maka perlu kiranya di setiap provinsi, kabupaten atau kota dan bahkan sampai di tingkat desa untuk sungguh-sungguh menyikapi fenomena #gengRAPE ini. Meskipun banyak regulasi yang telah dibua t namun dirasakan tidak maksimal dalam implementasinya.Seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Intruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak dan bahkan PERPPU Nomor 1 Tahun 2016 Tentang hukuman kebiri dan atau pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual. “ Ini membuktikan bahwa masih belum selarasnya pemahaman dan perilaku kita sebagai bangsa tentang pentingnya memberikan perlindungan terhadap generasi masa depan bangsa,” ungkapnya.
Aris menambahkan, pada peringatan HAN Tahun 2016 di Kota Mataram ini diharapkan dapat mewujudkan Indonesia yang bebas dari dari segala bentuk kekerasan terhadap anak.
Namun ia sedikit menyayangkan HAN 2016 ini dirasakan tidak optimal sebagaimana tujuan dan komitmen. Dikatakan, seyogyanya menggabungkan kegiatan Forum Anak Nasional (FAN) dan Kongres Anak Indonesia (KAI) dengan pembagian waktu dua hari untuk FAN dan dua hari untuk KAI. Ini sesuai pertemuan dirinya dengan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ibu Prof. Yohana Yembise pada bulan April 2016 lalu di kantor kementerian. “ Namun ternyata hal ini tidak dilakukan dan ini yang membuat saya kecewa,” terang Aris.
Di lain kesempatan akademisi yang juga seorang peneliti Dr Muazzar Habibie menyebutkan dalam kasus kekerasan seksual NTB masuk katagori zona merah. Ini didasarkan dari hasil sebuah riset yang dilakukan oleh Ikatan Istri Doker Indonesia (IIDI) yang dilakukan secara menyeluruh di seluruh Indonesia antara bulan Juni sampai Desember 2015
Dikatakan Muazzar,meskipun sudah masuk zona merah, namun dirinya belum melihat perhatian yang serius dari pemerintah daerah di NTB untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan terhadap anak ini. " Pemerintah harus segera menangananinya dengan tepat dan jeli melihat ancaman ini,'' sarannya.
Dirinya melihat peran dari pemerintah masih minim terutama untuk memberikan pelajaran tentang seks (seks education) sehingga sampai saat ini masih muncul kekerasan seksual yang menimpa anak-anak, bahkan setiap hari ada saja kasus-kasus kekerasan seksual yang ditayangkan dimedia. Pelakunya adalah orang-orang terdekat seperti orang tua korban.
" Ini menjadi acaman besar untuk anak-anak di NTB," paparnya.
Muazzar khawatir, jika ini dibiarkan dan anak-anak yang sudah menjadi korban tidak diberikan pendampingan, maka ini akan menjadi benih-benih munculnya penyakit Lesbian, Gay Beseksual dan Trangender (LGBT) atau jenis yang lainya. Sebab ketika sudah terjadi kepada anak-anak mereka tidak mudah melupakannya.
" Pemerintah dan semua pihak harus menanganinya secara jeli dan tepat agar tidak menjadi trauma bagi anak-anak,"pintanya.(ami)